Katarsis Bekas KNIL yang Merindukan Tanah Kelahiran
Kolaborasi kelompok teater Belanda dan Indonesia menyuguhkan pementasan “Operasi Batavia”. Menyuarakan trauma dan luka para eks-KNIL yang selama ini terpendam.
WAJAHNYA kusam ditumbuhi jenggot rimbun tak terawat. Pakaiannya lusuh. Tidurnya pun tak pernah tenang. Moses (diperankan Alex Lekatompessy), lelaki itu, terbangun dengan keresahan. Orang-orang dalam mimpinya mulai menghilang seiring sayup-sayup terdengar lantunan lagu lawas yang memancing kerinduannya akan tanah kelahiran.
Beta ingin mau pulang, ke Amboina e.
Pulang ke kampungku di Maluku.
Beta ingin mau pulang ke Amboina e.
Di tengah lautan, lautan teduh.
Orang-orang dalam mimpinya seakan nyata. Lantunan itu pun terus terngiang meski Moses mulai tersadarkan. Akan tetapi ingatan akan kampung halamannya tak datang sendirian. Stres, depresi, dan trauma mengikutinya dan mengkristal menjadi rasa sakit yang tak terperikan.
Dar! Dor! Dar! Boom! Suara tembakan hingga ledakan menggelegar bom membuat kacau pikiran dan batinnya. Teriakan dan jeritan para korban kekerasan militer Belanda yang mengikutinya menyayat hatinya.
Ingatan yang jadi derita bagi Moses selama 70 tahun itu jadi inti cerita pementasan teater bertajuk Operasi Batavia. Pementasan di malam pembuka Festival Teater Jakarta ke-49 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Kamis (1/12/2022) malam tersebut merupakan hasil kolaborasi kelompok teater asal Belanda besutan Anis de Jong, DeltaDua, dan Teater Kubur asal Indonesia pimpinan Dindon WS.
Alur ceritanya menggambarkan trauma Moses di dunia nyata dan flashback memorinya sebagai seorang prajurit KNIL berdarah Ambon dan pernah menjadi anak buah “sang jagal” Kapten Raymond Westerling. Terlepas dari kekerasan yang terjadi, Moses hanyalah prajurit taat tugas yang kemudian malah “dibuang” usai repatriasi para eks-KNIL pasca-penyerahan kedaulatan, 27 Desember 1949, dan pembubaran KNIL pada Juli 1950.
Rasa sakit yang memengaruhi mentalnya itu makin subur mengingat pada 1951 Moses termasuk ke dalam eks-KNIL yang bukan dipulangkan ke Maluku tapi malah ke negeri Belanda. Mereka merasa dibohongi ketika kapal pengangkut membawanya ke tempat asing. Alhasil hidupnya pun terlunta-lunta. Bila di masa perang ia tinggal di tangsi, di Belanda ia dimasukkan ke kamp mirip kamp konsentrasi. Uang kompensasi yang diterimanya hanya tiga gulden per minggu.
Penderitaannya makin perih ketika ingatannya kembali menghadirkan sosok Westerling. Sang jagal melancarkan operasi pembersihan secara metafora dengan menyeret Moses ke meja operasi. Sembari mengoceh dalam bahasa Belanda bak dokter bedah, Westerling menyayat-nyayat dan mengorek luka dari tubuh Moses hingga menarik sepucuk pistol dari dalam perutnya.
Dengan laku-laku komikal Westerling juga meledek dan mengolok-olok narasi sejarah tentang Sukarno dan proklamasi 17 Agustus 1945 yang disampaikan Mister Abah dan para penduduk lokal lain. Sementara di sisi lain, Moses yang batinnya kembali diliputi kerinduan pada tanah kelahiran dan ibunya, harus menerima kenyataan bahwa KNIL dianggap percuma oleh Raja Willem-Alexander lewat pidatonya yang ditampilkan secara parodi.
Menyuarakan yang Tak Bisa Bersuara
Sebagaimana yang disampaikan sang sutradara Anis de Jong sebelumnya, Operasi Batavia menjadi kritik terhadap pemegang kekuasaan di Belanda sekaligus publik Indonesia. Karya yang sudah dipentaskan di Amsterdam, Belanda pada 2021 itu juga menyisipkan banyak fakta sejarah yang dipadukan dengan fiksi dan fantasi di kepala Moses sang karakter utama.
Lewat sekira satu jam pertunjukan itu De Jong dan Dindon memanjakan penonton dengan banyak lagu lawas yang menyentuh hati juga tarian-tarian kontemporer yang dijadikan penghias adegan-adegan metafora, plus sajian proyektor yang ditembakkan ke latar panggung sebagai pengganti latar-latar konvensional. Jadi meskipun bahasa Belanda –selain bahasa Inggris dan Indonesia– mendominasi dialognya, penonton setidaknya bisa mencerna isi cerita dan mengikuti alurnya dari klip-klip tentang kekerasan militer Belanda. Di beberapa adegan bahkan disisipkan video live lewat kameraman yang berseliweran membidikkan kamera pada tokoh-tokohnya untuk ditampilkan via proyektor.
Soal bahasa agaknya perlu dikritisi. Saat karakter Westerling berceloteh, kurang diimbangi dengan kombinasi penggunaan bahasa Inggris atau Indonesia. padahal faktanya, Westerling mulanya tak lancar berbahasa Belanda. Sejak kecil Westerling lebih lancar berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Turki yang jadi bahasa perdagangan di Istanbul. Di rumah, ia dininabobokkan ibunya dengan nyanyian berbahasa Yunani tapi dididik dengan bahasa Prancis. Pun ketika Westerling menerbitkan memoar pribadinya pada 1952, Mes aventures in Indonésie, bahasa Prancis yang digunakan. Baru kemudian dialihbahasakan ke bahasa Belanda (Mijn Memoires) dan Inggris (Challenge to Terror).
“Saat dilatih di kamp (tentara) Belanda, saya kesulitan soal bahasa. Saya bisa bicara empat bahasa Eropa tapi bahasa Belanda bukan salah satunya,” kata Westerling di memoarnya.
Baca juga: Sebelum Westerling Beraksi di Indonesia
Terlepas dari penampilan DeltaDua dan Teater Kubur yang menghanyutkan dan memukau, anomali di Teater Kecil itu justru muncul dari barisan penonton. Mereka seperti tak punya nurani dan empati. Sejumlah penonton terdengar cekikikan dan terpingkal saat Moses meratap lewat monolognya: “Di Jawa aku hidup di tangsi. Di Belanda, mendekam di kamp. Hanya diberi kompensasi tiga gulden setiap sepekan sekali sampai harus berjudi di antara sesama demi bisa hidup laik.”
Namun, secara keseluruhan Operasi Batavia apik. Yang lebih penting, ia jadi pengingat baik bagi para pelaku seninya maupun publik yang menyaksikan bahwa para eks-KNIL yang mesti hidup bak orang buangan di Belanda juga berhak dimanusiakan dan melepas beban masa lalu.
“Orangtua saya ada di sini. Ayah juga bekas KNIL. Sampai 70 tahun lalu ke Belanda tapi dia punya keinginan pulang yang kuat. Dia ingin pulang tapi keadaannya tidak kasih sampai 70 tahun. Makanya orang-orang KNIL di Belanda dulu stres tak bisa pulang ke Ambon. Kalian bisa bilang ini old wound (luka lama, red.) tapi jangan luka-luka itu bikin frustrasi. Kita bikin seni agar menjadi indah, menjadi kuat. Kalau ingat luka-luka itu terus, kita enggak bisa hidup. Karena hidup harus kreatif dan inilah kita komunikasikan dengan seni agar sama-sama bisa melangkah ke masa depan,” kata Anis dalam diskusi pasca-pementasan.
Baca juga: Operasi Batavia dan Ingatan Kemudian
Dindon WS menegaskan bahwa Operasi Batavia bukan berangkat dari sakit hati. Cerita yang diramu dengan fiksi dan dipentaskan itu justru cara para keturunan bekas KNIL berdamai dengan luka-luka yang diderita orangtua maupun kakek-nenek mereka.
“Bukan mengorek luka kembali tapi bagaimana sejarah ini kita kemas dengan indah. Enggak mesti sejarah itu dibuat dengan tidak menarik tapi bisa dengan fiksi. Moses dengan mimpi-mimpi dan fantasinya, saya kira ini juga sebagai katarsis ya, kerinduan juga terhadap masa lalu dan tanah kelahiran,” Dindon menimpali.
Karakter Moses pun tak serta-merta tercipta dari satu sosok bekas KNIL. Alex Lekatompessy yang memerankan tokoh Moses menyampaikan bahwa karakter itu tercipta dari memori kolektif para bekas KNIL yang selama ini tak bisa bersuara.
“Orang (bekas) KNIL di Belanda itu semua berasanya begini. Jadi ada traumanya tapi tidak bisa omong. Tidak bisa cerita. Itu yang susahnya buat kita punya orangtua di sana, tidak bisa cerita bagaimana orang yang pembunuhkah atau bukan. Jadi Moses itu kolektif, bukan orang satu. Dia lahir dari memori bapak-bapak KNIL yang bahkan bukan cuma (asal) Maluku,” tandas Alex.
Baca juga: Kesaksian Putri Tentara KNIL
Tambahkan komentar
Belum ada komentar