Kesaksian Putri Tentara KNIL
Martha Anthony Akihary menceritakan kisah pahit ayahnya setelah revolusi. Tinggal di kamp di Belanda dan berharap bisa kembali ke Indonesia.
Martha Anthony Akihary terdiam sejenak. Lalu bibirnya bergetar saat menceritakan tentang ayahnya, Sersan Mayor Petrus Akihary, komandan KNIL asal Maluku.
“Sepanjang revolusi… dia bahagia Indonesia telah merdeka. Dan… sebetulnya, dia ingin kembali di kepulauan Maluku sebagai purnawirawan. Tapi yang terjadi tak sesuai harapan,” kata Martha.
Baca juga: Kisah Revolusi Kemerdekaan Indonesia dalam Pameran
Kesaksian Martha tentang ayahnya itu ditayangkan di channel Youtube Rijksmuseum, saat pembukaan pameran Revolusi! Indonesia Independent di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda, pada 11-12 Februari 2022.
Martha adalah putri sulung dari Petrus Akihary, yang menjadi prajurit KNIL saat usia 18 tahun pada 1926. Petrus Akihary terdaftar sebagai prajurit KNIL dengan nomor 20574.
“Saya bangga bila membaca nomor dog-tag-nya. Sebuah pencapaian luar biasa. Seorang biasa dari desa Aboru,” kata Martha.
Martha menyimpan dog-tag berbentuk bulat bernomor 20574 dan kartu identitas prajurit KNIL dengan pasfoto ayahnya masih muda. Dua objek itu ditunjukan ke publik Belanda dalam pameran Revolusi! Baginya, kedua benda itu menyimpan kisah hidup ayahnya.
“Dua benda ini teramat berarti di hati kami. Keduanya mengingatkan kami akan riwayat ayah. Siapa dia dan jadi apa dia dulu,” kata Martha.
Martha menuturkan, ayahnya seorang militer yang dihormati dan dicintai di Sabang. Komitmennya pada pasukannya tidak main-main.
Baca juga: Tentara KNIL dalam Pusaran Masa
Rijksmuseum memberikan keterangan bahwa Petrus Akihary dipaksa bekerja membangun rel kereta api Burma (Myanmar) selama pendudukan Jepang pada 1942–1945. Tak sedikit yang menjadi korban dalam kerja paksa itu. Hingga Jepang menyerah, istrinya, Jacoba berserta kelima anaknya tidak mengetahui apakah ayahnya selamat dalam kerja paksa itu.
Akhirnya, Petrus Akihary bisa berkumpul bersama keluarganya dan pada 1949 dia melanjutkan tugas sebagai prajurit KNIL di Sabang, Aceh. Pangkatnya dinaikan menjadi sersan mayor. Dia bertanggung jawab menjaga tawanan perang para pejuang Republik.
Dia disebut memperlakukan para prajurit Republik itu dengan manusiawi. Sehingga, dia disegani dan aman dari ancaman kekerasan setelah Belanda menyerah.
“Bagi saya, revolusi adalah masa yang menakutkan. Kamu tak bisa memercayai siapa pun, tak juga bisa mengungkapkan isi hati ke siapa saja,” kata Martha.
Martha tampak emosional ketika menceritakan pengalaman hidupnya setelah revolusi. Perjumpaan dengan ayahnya, yang meninggalkannya di usia sekitar sepuluh tahun, membuat hatinya berkecamuk.
Martha dan keluarganya pergi ke Sabang dengan menumpang kapal. Saat tiba di Sabang, dia dan kedua saudara laki-laki melihat para prajurit KNIL.
“Itu di sana, itu papa!” kata Martha dengan nada tinggi menirukan adiknya yang berteriak.
“Mana papa?” tanya Martha. Para prajurit itu memakai seragam yang sama.
“Itu di sana. Dia melambai,” kata Martha mengutip kata-kata adiknya.
“Betulkah itu ayah saya? Waktu itu perasaan saya campur aduk. Saya sudah sangat terbiasa hidup bersama ibu. Kini saya juga punya ayah,” kata Martha.
“Tentu saja saya gembira, tetapi saya perlu mengenalnya lebih dulu,” kata Martha.
Baca juga: Istilah "Bersiap" yang Problematik
Sesudah Belanda dipaksa menyerah dalam perang revolusi kemerdekaan, para tentara KNIL diminta memilih: tinggal di Indonesia atau turut dalam demobilisasi ke Belanda. Pada 12 April 1951, Petrus Akihary bersama 3.000 lebih mantan tentara KNIL dan keluarganya pergi ke Belanda dengan kapal Great Bear.
Martha masih mengingat peristwa itu. Masa-masa yang mengubah gambaran dirinya terhadap ayahnya, yang dihormati sebagai tentara dan komandan KNIL namun diperlakukan sebaliknya di Belanda.
Belanda memberhentikan ayahnya sebagai tentara. Dia dan keluarganya ditempatkan di kamp konsentrasi Lunetten, Vught. Di sana, para bekas tentara KNIL tak diizinkan bekerja. Ayahnya benar-benar menjadi warga sipil.
Ketika mengingat kembali pengalaman pahit itu, Martha masih meluapkan sisi perasaan dan penderitaannya.
“Saya merasa tak berdaya saat kecil. Dan bahkan memikirkannya sekarang pun... membuat saya emosional. Gambarannya selamanya terpatri dalam ingatan saya,” kata Martha dengan bibir bergetar.
Martha menceritakan kehidupan di kamp Lunetten di mana ayahnya tak diperbolehkan mengambil pekerjaan. Saat itu, ayahnya pergi ke toko untuk belanja benang katun yang bagus, lalu dia mulai merajut jaring ikan. Ayahnya akan melanjutkan hidup bersama keluarganya sebagai nelayan.
“Begitu kita bisa kembali ke Ambon... saya nantinya harus bekerja sebagai nelayan biar dapur tetap mengepul,” kata Martha.
Baca juga: Beranilah Melihat Sejarah Bersama Kita
Menurut Martha, ayahnya menginginkan kehidupan anak-anaknya lebih baik dari dirinya. Dia melarang anak-anaknya menjadi tentara. Anak-anaknya diminta belajar agar dapat pekerjaan yang bagus.
“Lihatlah ke depan, buatlah hidupmu bermakna,” kata Martha mengutip pesan ayahnya.
“Itulah pelajaran yang diajarkan ayah saya. Berhenti merajuk, lakukan saja!” kata Martha.
Petrus Akihary bertahan hidup di Belanda hingga usia 92 tahun. Sesudah revolusi lalu pergi ke Belanda, dia berharap bisa kembali ke tanah air kelahirannya. Namun, Belanda tak memenuhi harapannya. Dia pun menghabiskan waktunya selama 70 tahun lebih tinggal di kamp hingga tutup usia pada 2000.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar