Istilah "Bersiap" yang Problematik
Ada problem apa di balik istilah "bersiap" yang lebih banyak dikenal oleh orang Belanda ketimbang orang Indonesia?
KETIKA Jepang kalah perang pada 15 Agustus 1945 dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945, Elien Utrecht, seorang gadis Belanda kelahiran Hindia Belanda tahun 1921, berjalan keluar dari kamp di Semarang bersama ibunya. Beberapa orang Indonesia menyapa secara ramah, namun Elien merasa bingung dengan banyaknya orang Indonesia yang meneriakkan sebuah kata yang tak bisa dia pahami apa artinya. “Mereka memekkikkan kata ‘Merdeka’. Aku tak mengenal kata itu, dan aku pun tidak segera mengerti artinya,” ujar Elien dalam memoarnya Melintasi Dua Jaman.
Elien satu dari sekian banyak orang Belanda yang ditahan ketika Jepang menduduki Indonesia. Deskripsinya mengenai situasi di luar kamp tahanan menunjukkan kesan betapa berjaraknya orang Belanda dengan gerakan politik kebangsaan Indonesia yang telah tumbuh sejak era 1920-an. Butuh waktu lama baginya untuk memahami apa kata “merdeka” yang sejatinya telah tumbuh menguat di dalam dada setiap orang Indonesia dua dekade sebelum Perang Dunia kedua meletus.
Dalam memoarnya, Elien juga mengenang peristiwa kekerasan yang menimpa orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari kamp tahanan Jepang. Mereka menjadi sasaran kemarahan orang-orang Indonesia yang dibakar semangat kemerdekaan. Orang Belanda yang mengalami masa-masa tersebut di Indonesia menyebutnya sebagai periode “bersiap”. Sebuah zaman saat orang Indonesia menjadi kalap dan akan menyerang warga kulit putih, Indo, Tionghoa, Ambon atau siapa pun yang mereka nilai sebagai kolaborator kolonial. Benarkah demikian?
Baca juga: Kenapa Kata "Bersiap" Memancing Amarah Besar?
Di Banten, pergolakan dimulai lebih awal. Pada 16 Agustus 1945, sehari sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia, sejumlah rakyat Banten di Cinangka, mengepung rumah camat Cinangka, Tubagus Mohamad Arsad. Mereka menuntut Arsad membagikan beras kepada rakyat. Arsad yang menolak keinginan tersebut melarikan diri dari rumahnya yang kemudian dijarah oleh rakyat yang lapar. Tak lama kemudian Arsad kembali bersama wedana Raden Sukrawardi disertai dua polisi untuk memadamkan kerusuhan. Nasib malang tak dapat ditolak, Arsad dan Sukrawardi tewas di tangan warganya.
Di pantai utara Jawa Tengah, sama seperti di Banten, kepala desa dan kelompok aristokrat jadi sasaran kemarahan. Raden Mas Harjowijono, kepala desa Cerih, Tegal Selatan, diarak keliling kampung bersama istrinya dengan seikat padi yang terkalung di leher mereka. Rakyat berjalan mengiringi mereka sambil memukul kentongan kayu dan kaleng kosong yang menimbulkan bebunyian ramai. Mereka menyebut aksi itu sebagai “dombreng”, berasal dari bunyi kentongan kayu dan kaleng kosong. Aksi tersebut dilakukan karena mereka dianggap berlaku tak adil serta mengabdi pada penjajah. Raden Ajeng Kardinah, adik kandung Raden Ajeng Kartini, pun tak luput dari aksi tersebut.
Di Sumatra Timur, Kesultanan Langkat jadi sasaran kemarahan rakyat. Tengku Amir Hamzah, anggota keluarga bangsawan yang juga terkenal sebagai penyair terkemuka, tewas dalam peristiwa revolusi sosial pada 20 Maret 1946. Semasa kolonial Belanda, Kesultanan Langkat menikmati privilese dari penguasa kolonial. Feodalisme memang dipelihara oleh kolonialisme sejak awal kehadirannya di Nusantara sebagai jalan memperlancar eksploitasi terhadap koloni. Keadaan ini digambarkan oleh Multatuli dalam Max Havelaar sebagai dua cambuk kekuasaan yang melecut rakyat untuk tunduk di bawah penguasa kolonial.
Baca juga: Polemik "Bersiap" dan Meremehkan Sudut Pandang Indonesia
Para sarjana bersepakat bahwa apa yang terjadi di ketiga wilayah di atas adalah revolusi sosial, yang berakar ke dalam ketegangan struktural sejak masa kolonial dan pendudukan Jepang. Begitu pula dengan kekerasan yang terjadi pada warga Belanda pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka dianggap sebagai simbol kolonialisme yang memang bertumpu pada hierarki ras dan relasi kekuasaan yang feodalistis. Sehingga persepsi yang membentuk identifikasi atas kawan dan lawan dalam revolusi kemerdekaan dipengaruhi oleh relasi yang memang sudah timpang sejak masa kolonialisme Belanda.
Melihat kenyataan tersebut, penggunaan istilah “bersiap” secara umum dan satu-satunya nama untuk merujuk peristiwa kekerasan yang terjadi pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia justru semakin menabalkan sentimen rasialisme. Lebih karena dalam pengertian “bersiap” selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab, tak beradab serta disulut api kebencian ras. Padahal akar persoalannya terletak pada ketidakadilan yang diciptakan oleh kolonialisme yang turut membentuk struktur masyarakat hierarkis secara rasial guna menyelubungi eksploitasi terhadap koloninya.
Selain itu ada banyak istilah yang digunakan di Indonesia untuk menamakan berbagai peristiwa era revolusi yang diliputi kekerasan itu. Di Depok pada era yang sama berlaku istilah “gedoran”, merujuk kepada aksi para pemuda Indonesia yang masuk ke rumah-rumah milik mereka yang dicurigai sebagai kolaborator Belanda, kemudian di Jawa Tengah masyarakat menyebut masa revolusi sebagai “gegeran”, di Banten dan sebagian wilayah Jawa Barat juga dikenal istilah “ngeli” merujuk kepada masa di mana banyak warga mengungsi dari desanya untuk mencari tempat yang lebih aman.
Baca juga: Masa Bersiap dan Ironi Belanda
Penggunaan istilah “bersiap” ini juga mengandung makna “over-simplikasi” dan memiliki kecenderungan memukul rata (generalisasi) atas beragamnya fakta sejarah. Sikap tersebut menjadi landasan praduga “crime by association”. Hanya karena satu-dua orang bermasalah, semua orang yang segolongannya harus menanggung beban kesalahan. Sebagai contoh rasialisme terhadap minoritas Cina masih bisa dirasakan hingga hari ini di Indonesia. Kekerasan terhadap warga minoritas Cina di Indonesia merentang sejak era VOC tahun 1740 sampai dengan masa Reformasi politik di Indonesia pada 1998.
Pada era revolusi, sejumlah warga Cina mengalami kekerasan. Mereka dipersepsi sebagai antek Belanda, pemuja keuntungan ekonomi yang akan bergantung kepada rezim manapun yang sedang berkuasa. Praduga ini menjadi alasan mengapa banyak warga Cina di Indonesia terbunuh semasa revolusi. Padahal ada begitu banyak tokoh Cina yang justru jadi garda terdepan membela kemerdekaan Indonesia.
Pola berpikir yang sama juga ada pada orang Belanda yang datang kembali ke Indonesia dalam rangka Agresi Militer pertama tahun 1947. Seperti kita tahu, pemerintah Belanda saat itu menganggap remeh eksistensi Republik Indonesia yang dinilai tak bisa mengendalikan keadaan dan dituduh berada di bawah pengaruh fasisme Jepang. Sebuah kisah yang relevan dengan pola pikir itu dituturkan oleh Tan Po Goan, seorang menteri Indonesia keturunan Cina yang bertemu dengan seorang perwira Belanda yang ditemuinya di Tegal. Letnan Perre, nama perwira itu mengatakan pada Tan Po Goan bahwa pemimpin Republik itu fasis semua. Setelah berdebat, Tan menyodorkan sebuah buku tentang Sutan Sjahrir. Selama beberapa hari Letnan Perre membaca buku itu dan tak lama kemudian dia mengubah persepsinya sendiri.
Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno
Sjahrir memang mengakui adanya kekerasan yang dialami warga kulit putih, Indo dan kelompok etnis yang dipersepsikan sebagai kolaborator kolonialis. Ini semua ditulisnya dalam sebuah brosur berjudul Perdjoangan Kita (Onze Strijd) yang terbit pada akhir Oktober 1945. Sjahrir tidak sendiri. Ada Sukarno, Hatta dan para pemimpin Republik lain yang tak pernah terindikasi menyetujui segala macam kekerasan, termasuk yang bernuansa rasialis. Soemarsono, seorang tokoh pemuda di Surabaya tahun 1945, dalam sebuah wawancara yang saya lakukan beberapa tahun lalu juga menuturkan bahwa dia tidak pernah memerintahkan tindakan kekerasan pada warga sipil Belanda.
Kekerasan terjadi di mana-mana pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Analisis atas sebab-sebabnya sudah saya kemukakan di atas. Kesaksian lain yang juga penting untuk dihadirkan di sini adalah kisah saksi mata revolusi dari wartawan Rosihan Anwar. Dalam memoarnya Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi, Rosihan menuturkan bahwa situasi cukup tenang setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketegangan mulai bermula ketika beredar kabar kedatangan kembali serdadu Belanda yang datang bersama tentara Sekutu untuk membebaskan para interniran.
Baca juga: De Oost dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka Lama
Tentara Sekutu memang akhirnya tiba di Jakarta pada 15 September 1945. Banyak pemuda menjadi was-was atas kehadiran kembali Belanda. Fakta sejarah menunjukan bahwa Belanda berupaya merekolonisasi Indonesia dengan kekuatan bersenjata. Salah satu korban dari jingoisme serdadu NICA itu adalah Sjahrir yang dianiaya namun lolos dari maut karena pistol sang serdadu macet ketika hendak ditembakkan ke kepala perdana menteri Republik Indonesia itu.
Sejarah memang tentang apa yang sudah terjadi, bukan tentang apa yang seandainya terjadi. Namun apabila analisis kontra-fakta bisa digunakan untuk melihat sejarah, sebuah pertanyaan layak diajukan: Bagaimana seandainya pemerintah Belanda saat itu tidak mengikuti hawa nafsu berkuasanya di Indonesia sehingga tak perlu datang untuk merekoloni Indonesia? Dan tentu istilah “bersiap” yang berasal dari kata-kata seruan para pemuda Indonesia untuk melawan penjajah tak akan pernah dikenal hari ini di Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar