De Oost dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka Lama
Film perang Belanda ala film laga Amerika di Vietnam tanpa Rambo di dalamnya. Sukses menciptakan debat publik tentang sejarah agresi Belanda ke Indonesia.
Ada tiga pendekatan untuk memahami film. Pertama, sebagai sebuah karya seni yang mempresentasikan realitas secara estetis. Kedua, sebagai diskursus publik karena film memvisualisasi ragam aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan historis, kultural, sosial maupun ideologis. Ketiga, makna dan peran kehadiran film tersebut di tengah masyarakat.
Sebagai sebuah karya seni, film De Oost karya sutradara Jim Taihutu layak mendapat apresiasi karena berhasil memvisualisasikan karakter manusia dalam kemelut sejarah rekolonisasi Belanda atas Indonesia. Namun disadari atau tidak, penggambaran Timur yang eksotis melalui citra perempuannya, alunan bunyi gamelan serta indahnya alam Indonesia, cerminan pandangan orientalis yang masih melekat erat dalam benak orang Barat.
Persis dengan apa yang pernah disampaikan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalisme bahwa “Timur” (Orient) memang nyaris merupakan temuan Eropa, dan sejak zaman kuno telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik, kenangan-kenangan yang manis, pemandangan yang indah dan pengalaman yang mengesankan.
“De Turk” mungkin jauh lebih pas menjadi judul film ini daripada De Oost. Hampir separuh lebih cerita dari film ini mengisahkan tentang Raymond “De Turk” Westerling, serdadu legendaris yang pernah mengatakan kepala Sukarno lebih murah dari harga sebutir peluru dan bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan bahkan mungkin ribuan jiwa rakyat Indonesia yang berhasrat mempertahankan kemerdekaannya.
Baca juga: Perang Westerling di Timur Jauh
Sekilas, film De Oost mirip film laga perang Vietnam minus Rambo di dalamnya. Sebagian besar lakon film De Oost diperankan oleh orang Barat. Kecuali sebagai figuran, hanya kurang dari lima jari aktor Indonesia yang memainkan peran sentral dalam film ini.
Di antara penggambaran “Timur” yang indah dan eksotis itu, film ini juga menampilkan sisi kelam sejarah sebuah negeri yang dilanda aksi kekerasan karena keinginan Belanda untuk kembali merekolonisasi Indonesia setelah lepas kendali selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang. Untuk tujuan itu, pemerintah Belanda memobilisasi anak-anak muda Belanda dengan dalih membebaskan Indonesia dari cengkeraman Sukarno, si boneka fasis Jepang. “Indie Moet Bevrijd,” kata mereka berpropaganda.
Dalam film ini anak-anak muda tersebut diperankan oleh Martin Lakemeier (Johan De Vries), Jonas Smulders (Mattias Cohen), dan Coen Bril (Eddy Coolen). Jiwa muda yang penuh avonturisme dibungkus semangat pembebasan, mendorong mereka pergi ke Indonesia. Namun satu hal yang mereka tak sadari: sebelum 15 Mei 1940 Belanda adalah negeri merdeka, sementara Indonesia sebelum invasi Jepang Maret 1942 adalah koloni Belanda.
Dalam satu sisi, film ini berhasil menampilkan kompleksitas sejarah Belanda usai Perang Dunia II. Gambaran itu terlihat pada sosok karakter Johan De Vries, anak seorang tokoh Nationaal Sosialistische Bond (NSB) kolaborator Nazi, pergi ke Indonesia untuk membebaskan koloni Belanda dari cengkeraman fasisme Jepang. Sebuah ironi yang tak mungkin dipungkiri.
Baca juga: Pengakuan Sang Jagal Westerling
Di sisi lain, kompleksitas sejarah di Indonesia pada masa akhir pendudukan Jepang tidak terlihat dalam film ini. Tak ada satu pun adegan tentang kehidupan para perempuan, orang tua dan anak-anak kecil Belanda serta Indo yang baru saja dibebaskan setelah melewati tiga tahun masa penderitaan di dalam kamp interniran. Inilah periode paling traumatik bagi mereka, sehingga bisa dimengerti mengapa sebagian warga Belanda bereaksi keras atas film De Oost ini.
Satu-satunya adegan tentang Jepang dalam film ini tampak saat seorang rakyat jelata dianiaya tiga serdadu Jepang dan kejadian itu berakhir setelah Raymond “De Turk” datang memaksa serdadu Jepang itu pergi. Gambaran lain tentang Jepang tercermin dari pidato komandan tentara Belanda, “racun Jepang telah menyebar luas ke seantero koloni kita yang indah.” Kalimat ini mencerminkan cara pandang Belanda yang simplistis dalam melihat hubungan Jepang dengan gerakan nasionalisme Indonesia.
Kekalahan Belanda atas Jepang pada 9 Maret 1942 menandai runtuhnya negara Hindia Belanda. Dalam 3,5 tahun pendudukan Jepang, gerakan nasionalis Indonesia menemukan momentum kebangkitannya. Pemimpin gerakan nasionalis Indonesia seperti Sukarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir dibebaskan dari penjara kolonial. Kecuali Sjahrir yang memilih berjuang di bawah tanah, Sukarno dan Hatta menggunakan momentum politik tersebut untuk memperkuat kesadaran kebangsaan Indonesia.
Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno
Selalu ada harga yang harus dibayar demi kemerdekaan dan selalu ada implikasi dari sebuah keputusan politik. Kerja sama dengan Jepang di satu sisi membuka jalan menuju kemerdekaan Indonesia, di sisi lain mendatangkan korban jiwa yang tak sedikit dalam hal Romusha, Jugun Ianfu, dan kekerasan terhadap warga sipil Belanda dan Indo.
Sementara itu, seperti yang ditunjukan dalam film ini, kehadiran Belanda pascakekalahan Jepang juga tak diinginkan oleh rakyat Indonesia. Itu terlihat secara nyata dalam grafiti “Dutch Go Home” dan secara simbolis saat anak-anak kecil melempari truk yang ditumpangi Johan De Vries ketika tiba di Indonesia.
Ejekan “monyet” yang beberapa kali keluar dari mulut para serdadu Belanda dalam film ini juga menarik untuk diperhatikan. Umpatan monyet merupakan bentuk rasisme yang berakar jauh ke masa awal kedatangan Belanda ke Indonesia. Mereka percaya bahwa manusia Nusantara tak lebih dari makhluk belum sempurna melalui proses evolusinya. Pandangan ini seolah mendapatkan legitimasi saintifik dari para etnolog dan antropolog fisik Eropa yang marak berkembang pada abad ke-19.
Baca juga: Rasisme Sejak dalam Pikiran
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 telah membuyarkan mimpi indah pada kolonialis dan imperialis Belanda. Bayangan tentang Timur yang eksotis dan penuh keindahan semakin jauh di depan mata. Maka datanglah Raymond “De Turk” ke Timur demi menjaga keberlangsungan mimpi indah itu, kendati kehadirannya jadi mimpi buruk bagi rakyat yang jadi korban kebrutalannya.
Ketika saya diminta menulis tanggapan –dari perspektif Indonesia– mengenai film De Oost ini, saya teringat kembali pada kisah guru saya, sejarawan Anhar Gonggong yang harus kehilangan ayah, dua kakak lelaki, serta seorang pamannya yang tewas dibunuh serdadu Westerling di Sulawesi Selatan. Dia tak menuntut pembalasan apapun atas kematian orang-orang yang dicintainya itu. Menurutnya, mereka sudah menunaikan tugasnya demi kemerdekaan Indonesia.
Film De Oost membawa kembali bayangan masa lalu peristiwa itu, membuka luka lama bagi kedua bangsa. Namun demikian film ini harus pula dimaknai sebagai bentuk keberanian menghadapi masa lalu yang penuh luka dan air mata, demi menyingkirkan beban sejarah yang menghalangi langkah damai menuju masa depan.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Belanda di koran NRC edisi 17 Juni 2021.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar