Kisah Revolusi Kemerdekaan Indonesia dalam Pameran
Pameran “Revolusi Kemerdekaan Indonesia” yang akan digelar di Amsterdam pada 2022 dan Jakarta 2023 akan menghadirkan banyak benda seni sarat cerita. Termasuk kisah Tania Dezentjé.
KENDATI sudah lewat tujuh dasawarsa, revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) masih menyisakan banyak cerita yang tercecer di balik narasi besar konflik antara republik yang baru berdiri dan Belanda yang ingin menancapkan lagi kuku-kuku kolonialismenya. Benar apa yang dikatakan pujangga Sutan Takdir, bahwa periode empat tahun revolusi itu tak hanya hadir dalam bentuk kekerasan, pertumpahan darah, atau pembumihangusan kota/desa, melainkan juga merupakan revolusi jiwa pemuda Indonesia itu sendiri dalam banyak aspek.
Oleh karenanya, sejak 2018, Amir Sidharta dan Bonnie Triyana dari Indonesia berkolaborasi dengan Marion Anker dan Harm Stevens dari Belanda menyusun rencana Pameran “Revolusi Kemerdekaan Indonesia”. Selain tim kurator, Aminuddin Th Siregar, dosen FSRD ITB yang kini tengah menempuh studi doktoral di Universiteit Leiden dan sejarawan Remco Raben turut bergabung sebagai penasihat. Rencananya, pemeran akan dihelat di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda pada 11 Februari-6 Juni 2022 dan di Jakarta pada 2023 walau waktunya masih tentatif.
Menjawab pertanyaan wartawan mengenai kaitan penyelenggaraan pameran dengan proyek riset dekolonisasi yang didukung dana pemerintah Belanda, kurator Harm Stevens mengatakan pameran ini tidak ada hubungan dengan proyek tersebut dan merupakan inisiatif Rijksmuseum sendiri.
Baca juga: Mencari Titik Temu Dua Sudut Pandang Sejarah
Pameran ini akan menampilkan banyak cerita terpendam di bawah narasi besar konflik lewat objek-objek yang jarang dipamerkan atau lebih personal. Selain dokumen, album foto, dan seragam peninggalan kombatan republik, beberapa benda seni yang ada di Belanda maupun dari Indonesia turut dipamerkan. Keterlibatan orang-orang, tak hanya serdadu, tapi juga laskar, diplomat, wartawan, penulis, perempuan dan anak-anak turut ditampilkan melalui objek-objek pameran.
“Pameran ini memang akan lebih berfokus pada benda-benda. Kami juga sangat tertarik menunjukkan karya seni dari Indonesia di masa revolusi yang berperan dalam propaganda dan mewakili spirit revolusi (kemerdekaan) Indonesia dan saya pikir, hal ini akan menarik untuk bisa diperlihatkan kepada Anda, di mana ini seperti menjadi pameran pionir untuk memperlihatkan ke berbagai sudut pandang, baik Belanda, Indonesia, dan dunia internasional,” kata kurator Rijksmuseum Harm Stevens dalam konferensi pers di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (8/11/2021).
Para kurator juga sepakat bahwa kisah revolusi Indonesia akan menampilkan semangat sebuah bangsa merdeka untuk menciptakan kehidupan baru yang terbebas dari kolonialisme. Benda-benda seni mahakarya maestro Indonesia juga menunjukkan peran penting seniman dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi
Semua benda seni yang akan dipamerkan tak hanya memberi informasi mengenai bagaimana benda-benda itu bisa sampai dari Indonesia ke Belanda, namun juga mengenai kisah-kisah humanis di baliknya yang jarang termaktub dalam narasi besar era revolusi.
Itu diwakili oleh lukisan berjudul Tania Dezentje. Karya dari cat minyak di atas kanvas berukuran 101 x 68 centimeter itu dibuat oleh pelukis Sudarso dari sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) pada 1947.
“Kami senang bisa meminjam lukisan besarnya, di mana ia digambarkan mengenakan semacam seragam militer. Kita bisa bilang penggambarannya sangat maskulin. Dalam perspektif sejarah, mungkin tidak spesifik tentang kewanitaan tapi mungkin lebih universal dan itu memiliki pesan yang sangat kuat,” timpal kurator junior Rijksmuseum Marion Anker.
Pertanyaannya, siapa sebetulnya Tania Dezentjé?
Tatiana Eleonora Catharina Charlotte ‘Tania’ Dezentjé merupakan seorang aktivis perempuan dan Indonesianis. Bagi Marion, lukisan Tania membawa warna dan pesan tersendiri dalam revolusi terkait perspektif perempuan.
“Kami berpikir bagaimana melibatkan banyak cerita dan salah satu cerita yang menarik adalah tentang perempuan Indo-Eropa, Tania Dezentjé, yang memilih kewarganegaraan Indonesia dan dia menjadi diplomat bagi Indonesia dan berkeliling dunia untuk mempropagandakan revolusi,” imbuhnya.
Menilik laman de-paula-lopes.nl, Tania adalah anak dari pasangan Henri Charles Dezentjé dan Eleonora Kinzler. Tania lahir di Den Haag pada 8 Juli 1916.
Dalam tubuhnya mengalir darah Jawa. Itu didapatnya dari sang kakek, Charles Edmond Dezentjé, yang menikahi istri kedua, Rapminten alias Charlotte, yang masih kerabat Keraton Surakarta. Jika ditilik lebih jauh, Tania juga punya pertalian darah dengan Ernest Regnard Leonce Dezentjé, pelukis “Mooie Indie” ternama dan eks-anggota Bataviasche Kuntskring yang kemudian jadi salah satu seniman kesayangan Presiden Sukarno. Tania dan Ernest masih satu silsilah dari Gaston François Dezentjé (1847-1890) yang merupakan juragan pabrik gula di Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah.
Tania kemudian menikah dengan Mayor William Justus Mac Gillavry, perwira Angkatan Laut Belanda berdarah Skotlandia-Prancis kelahiran Yogyakarta. Semasa pendudukan Jepang (1942-1944), mereka diseret ke kamp interniran Balapulang, Tegal. Mayor William kemudian dieksekusi Jepang pada 1944.
“Tania berjasa pada perjuangan republik dan acap menyiarkan pidato radio dalam bahasa Prancis. Ia kemudian menjadi sekretaris Mohammad Hatta, wakil presiden Indonesia,” ungkap laman silsilah keluarga clanmacgillavry.nl.
Tania seorang poliglot. Ia fasih berbahasa Inggris, Belanda, Italia, dan Prancis. Karena itulah Tania diikutkan dalam beberapa misi diplomatik sebagai pegawai Kementerian Penerangan RI. Tania kemudian ditempatkan di Indonesia Office (Indoff/Kantor Perwakilan RI) di Singapura hingga ke Mesir pada Juni 1947. Ia ikut dalam rombongan Dr. Soedarsono yang bertolak ke India menggunakan pesawat Dakota milik pebinis India Biju Patnaik.
“Di dalam pesawat terdapat Dr. Soedarsono yang akan membuka dan memimpin kantor perwakilan RI di New Delhi dan Nn. Anneke Koesman menjadi sekretaris kepala perwakilan di New Delhi. Juga terdapat dalam pesawat itu Ny. Tatiana Dezentjé yang akan bertugas di Kairo dan Mr. Zairin Zain di Singapura,” tulis Aboe Bakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi.
Baca juga: Jasa Patnaik untuk Republik
Pesawat itu diam-diam menembus blokade Belanda dan kemudian transit di Singapura. Di Singapura, rombongan diterima kepala Indoff di Singapura Mr. Utoyo Ramelan, kakak kandung Utami Suryadarma (istri KSAU Suryadarma). Setelah ketambahan satu penumpang, seorang dokter asal Mesir, pesawat melanjutkan penerbangan ke New Delhi, India.
“Oleh Mr. Utoyo telah diberangkatkan besama dokter Mesir itu seorang pegawai perwakilan RI, yaitu Nyonya Tania Dezentjé. Alasannya nyonya ini selain pandai berbahasa Inggris, juga fasih bahasa Prancis dan Italia, dua bahasa yang sangat berguna untuk mendekati Kerajaan Mesir waktu itu. Misalnya ibu Raja Farouk tidak pandai bahasa Inggris tapi fasih berbahasa Prancis dan Italia, selain dari bahasa Arab tentunya,” kata Mayor Munir, eks opsir penghubung Panglima TNI Jenderal Sudirman dengan Panglima Komandemen Sumatra, dalam tulisannya di Majalah Sarinah, 19 Agustus 1985.
Setelah bertugas di Mesir, Tania pindah ke Berlin. Di Berlin, Tani bertemu dengan jurnalis Burhanuddin Mohammad Diah yang lalu menuliskan pertemuan itu dalam liputannya untuk Indonesia Observer pada akhir 1947. Ketika ditemui BM Diah, Tania sudah menikah lagi.
“Saya dan istri adalah manusia Indonesia (berpaspor RI) yang pertama menginjakkan kakinya di negara Eropa, khususnya Jerman yang masih hancur berantakan tahun 1947 itu. Karena dia kami mengunjungi Berlin. Tania Dezentjé kawin dengan wakil India yang ditempatkan di Berlin. Kami gembira sekali bertemu dengan orang Indonesia yang kami kenal dalam masa perjuangan fisik,” ungkap BM Diah dalam Butir-Butir Padi B.M. Diah: Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman.
Hingga pengakuan kedaulatan pada 1949, Tania tetap aktif sebagai diplomat. Ia wafat pada tahun 2000 di Jakarta.
Baca juga: Mesir dan Kemerdekaan Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar