Beranilah Melihat Sejarah Bersama Kita
Dalam mengadakan pameran tentang revolusi Indonesia, seharusnya Rijksmuseum melakukan pembicaraan dengan semua kelompok yang sampai sekarang selalu tersisihkan.
Sudah bisa diperhitungkan kalau akan terjadi gaduh seputar pameran revolusi kemerdekaan Indonesia. Apalagi karena pameran itu berupaya menyorot perjuangan kemerdekaan Indonesia dari 1945–1949: salah satu periode kompleks dalam sejarah bersama kita yang mengenal banyak “kenyataan” dan “kebenaran”. Akan tetapi lebih menonjol lagi ketika sekarang justru Rijksmuseum sendiri yang membangkitkan ribut-ribut itu.
Dengan judul menarik “Hapus istilah Bersiap, karena rasistis”, terbit esai opini kurator tamu Bonnie Triyana pada harian NRC Handelblad, edisi 11 Januari 2022. Di situ dia mengumumkan bahwa “tim kurator” memutuskan untuk tidak menggunakan istilah “bersiap” sebagai penunjuk periode dalam pameran itu. Kata ini digunakan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia (disebut para pemuda), yang tak lama setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945 dan Proklamasi dua hari kemudian oleh Sukarno dan Hatta, berbalik menggunakan kekerasan terhadap orang Belanda kulit putih dan kaki tangan mereka.
Baca juga: Istilah "Bersiap" yang Problematik
Menurut Triyana istilah “bersiap” itu mengadung “nuansa rasistis”, karena konsep pemuda –yang dalam konteks ini melambangkan semua orang Indonesia– digambarkan sebagai “pelaku kekerasan yang primitif, tidak beradab”, sedangkan kekerasan yang muncul akibat kolonialisme Belanda, yang menghasilkan masyarakat berdasarkan rasisme dan pemerasan tetap tidak disebut.
Seperti sudah diduga, segera muncul reaksi. Rabu, 12 Jannuari, Hans Moll, ketua FIN (singkatan bahasa Belanda untuk Federasi Orang-orang Belanda Indo), sebuah kelompok yang jelas tidak mewakili setiap orang yang termasuk dalam “kalangan Indo”, memberi tahu situs berita nu.nl bahwa dia akan melaporkan kepada polisi hal yang menurutnya merupakan “penyangkalan ‘bersiap’ yang gila dan mengejutkan ini”. Dalam berita yang sama, Rijksmuseum datang dengan penjelasan awal untuk tidak menggunakan istilah “bersiap”, karena ingin menekankan pendekatan multi perspektif pameran ini. Melalui kisah pribadi 20 orang, pameran ini akan mencurahkan perhatian pada kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, demikian Rijksmuseum. Dengan begitu dipilih untuk “tidak menggunakan istilah khusus terhadap penderitaan yang muncul selama periode ini”.
Dua hari kemudian, pada Jumat, 21 Januari 2022, Rijksmuseum, melalui pernyataan direktur Taco Dibbits dan kurator Harm Stevens, mengoreksi pendiriannya. Istilah “bersiap” tetap digunakan dalam pameran ini. Keputusan sebelumnya untuk tidak menggunakan istilah “bersiap” tiba-tiba berubah menjadi opini “pribadi” Triyana, yang tidak digunakan lagi oleh Rijksmuseum.
Sangatlah menyakitkan bahwa Rijksmuseum yang semula menyatakan tidak menggunakan istilah “bersiap” tapi kemudian ternyata meralatnya. Bukan hanya karena tanggung jawab permasalahan istilah “bersiap” diletakkan pada Bonnie Triyana. Tapi juga karena di sini segera terlihat sebuah pola yang lagi-lagi mengabaikan kalangan Indo-Eropa, Tionghoa, kalangan Maluku, Timor, Indo-Afrika dan para prajurit KNIL keturunan Suriname dan keluarga mereka –mereka yang tidak dianggap sebagai orang Belanda atau orang Indonesia, tetapi justru istilah “bersiap” sangat menentukan, karena bulan-bulan itu pada akhirnya mengharuskan mereka pindah ke Belanda. Demikian dicatat oleh sejarawan Miko Flohr dalam blog pribadinya. Bagi saya sikap plintat-plintut Rijksmuseum terutama menunjukkan betapa suara Belanda masih selalu dominan dalam bersuara atau tidak dalam soal sejarah bersama kita, dalam hal ini revolusi Indonesia.
Jadi bagaimana? Bagaimana pula dengan gagasan multi perspektif yang ingin dimunculkan dalam pameran ini? Kalau Rijksmuseum masih ingin mewujudkan cita-cita ini, maka harus segera mulai diadakan pembicaraan dengan kelompok yang sampai sekarang, disengaja atau tidak, tidak dilibatkan dalam pembicaraan. Setelah itu istilah “bersiap” perlu disoroti oleh semua pihak yang terlibat dari semua kemungkinan perspektif dan posisi. Kemudian menempatkannya pada konteks yang lebih luas lagi yaitu kekerasan yang dilakukan Belanda terhadap orang Indonesia selama perang kemerdekaan atau perang rekolonisasi yang kemudian dikobarkan.
Menurut saya dekolonisasi juga harus berarti sama-sama (berani) melihat sejarah bersama kita, dengan begitu mengakui pengalaman dan ingatan bersama. Juga pengalaman dan ingatan mereka yang tidak dengan mudah dapat dimasukkan ke dalam kategori yang ditentukan dari luar (kolonial) seperti “Belanda” dan “Indonesia”.
Sebagai penutup saya ingin mengutip Lies Cruden, putri seorang prajurit KNIL keturunan Suriname yang pernah bertugas di Jawa. Dia adalah salah satu penutur dalam buku saya Antara Nusa: Levensverhalen van ouderen uit Indië/Indonesië (Antara Nusa: kisah hidup lansia dari Hindia/Indonesia). Katanya, “Baru kalau kita bisa berbagi dan saling kenal sejarah serta kisah hidup masing-masing yang semuanya dilakukan secara terbuka dengan saling menghargai, baru bisa kita wujudkan toleransi.”
Penulis adalah sejarawan lulusan Amsterdam School of Historical Studies (ASH), University of Amsterdam.
Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam nrc.nl pada 18 Januari 1922. Alih bahasa oleh Joss Wibisono.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar