Operasi Batavia dan Ingatan Kemudian
Kolaborasi kelompok teater Belanda-Indonesia di Festival Teater Jakarta. Mengangkat repertoir eks-KNIL dengan trauma dan fantasinya.
BERTOPI hitam dan t-shirt warna senada bertuliskan “Ambon Manise, Malintang Pata Pele Putus”, seniman berambut putih itu duduk tenang di barisan tengah kursi penonton di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Sambil menggenggam berlembar-lembar naskah, sesekali lelaki itu berbisik pada rekan seniman di sebelahnya kala memperhatikan para pemainnya di atas panggung.
“Alex! Alex!” seru Anis de Jong, lelaki tadi, memerintahkan seorang pemainnya untuk merendahkan posisi bertumpu pada lututnya di satu adegan. Adegan itu menampilkan tokoh utama yang berpakaian lusuh, Moses, yang diperankan Alex Lekatompessy, terpaku mendengar sejoli pemeran Raja Willem dan Ratu Máxima memberi pernyataan permintaan maaf kepada bangsa Indonesia atas kekerasan Belanda di masa kolonial dan Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pun di beberapa babakan lain, Anis sebagai sutradara menginstruksikan dalam bahasa Belanda bahwa ada satu atau dua pemainnya yang lupa blocking atau menempatkan properti. Sementara di dua baris di depan Anis, asisten sutradara Jacqueline Vorst terkadang juga membantu mengingatkan dialog di catatan yang dipegangnya ketika ada satu-dua pemainnya yang lupa kalimat pembuka.
Aktivitas semacam itu wajar dalam setiap persiapan pementasan. Di situ pula gunanya Anis menggelar gladi resik sebelum kelompok teater yang dipimpinnya, DeltaDua Theatre Company, menampilkan pertunjukan sesungguhnya pada Kamis (1/12/2022) malam di tempat yang sama.
Baca juga: Maaf dan Ganti Rugi Belanda atas Penjajahan di Indonesia
DeltaDua akan berkolaborasi dengan kelompok Teater Kubur pimpinan Dindon WS, seniman senior di sebelah Anis tadi, mementaskan teater musikal bertajuk Operasi Batavia. Ini kali kedua Teater DeltaDua mementaskan lakon tersebut. Sebelumnya, dua kali tampil di Jakarta, Teater DeltaDua memainkan lakon berbeda.
“Cerita ini (Operasi Batavia) kita perform tahun lalu, sudah main di Belanda juga, dan sekarang di sini dengan penonton Indonesia. Kita sudah pernah main juga di Jakarta waktu kemarin-kemarin itu dengan cerita tentang Pattimura (lakon Kruit!) di Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda di Kedutaan Besar Belanda untuk RI, red.). Kalau ke Indonesia, kita sekitar tahun 2015 ‘su’ main di Ambon dua kali di sana,” tutur Anis yang berlogat Timur campur Belanda kala berbincang dengan Historia di sela gladi resik.
DeltaDua tampil di TIM atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk menjadi penampil pembuka dalam Festival Teater Jakarta (FTJ) bertajuk “Lebaran Teater: Ingatan dan Kemudian”. Festival yang digelar pada 1-12 Desember 2022 itu rangkaian kegiatannya tersebar di empat lokasi: TIM, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), GoetheHaus, dan Salihara Arts Center.
Baca juga: Mementaskan Karya Sastrawan Peranakan yang Terlupakan
FTJ ke-49 ini bakal disemarakkan oleh penampilan 13 kelompok teater lintas komunitas yang tiga di antaranya datang dari luar Indonesia. Selain DeltaDua dari Belanda, akan tampil pula Theatercombinat (Austria) di Kolam Planetarium TIM pada 4 Desember malam dengan cerita Oracle and Sacrifice; dan Theatre Company Shelf (Jepang) dengan lakon Rintrik, or the Pierced Heart di Teater Kecil TIM pada 9 Desember malam.
“Semuanya tentu saja ada kaitannya dengan (tema) festival kita. DeltaDua akan mengangkat sejarah Indonesia. Kemudian Shelf Company mengangkat naskah karya (sastrawan) Danarto. Kalau yang (teater) Austria, ada hubungannya dengan upacara korban tapi tentu saja dibalut dengan sangat urban oleh Claudia Bosse. Menariknya ini di Kolam Planetarium, jadi ditampilkan outdoor,” terang Dewi Noviami, steering committee FTJ, dalam konferensi pers Lebaran Teater 2022 di Ruang Teater Wahyu Sihombing, TIM, Selasa (29/11/2022).
Satu hal lain yang juga ingin diusung dalam FTJ ke-49 ini adalah budaya kritis. Selain lewat lakon-lakon yang menampilkan kritik pada isu-isu tertentu oleh ke-13 kelompok teater yang pentas, budaya kritis, kata Ketua DKJ Danton Sihombing, terhadap segala isu yang terjadi di sekitar kehidupan penting untuk dipupuk baik di kalangan para pelaku teater anak hingga remaja maupun masyarakat umum.
“Poin pertama yang terpenting, menumbuhkan budaya kritis. Artinya juga membangun dialog dengan pelaku seni yang lain, juga dengan masyarakat umum dan memposisikan bagaimana sebenarnya budaya kritis itu nantinya akan menghasilkan semacam kualitas dari setiap kegiatan kesenian,” ujar Danton.
Sehubungan dengan sikap kritis, DeltaDua selaku penampil pembuka akan menghadirkan kritik dalam narasi sejarah lewat isu riset dekolonisasi oleh tiga lembaga penelitian Belanda dan permintaan maaf raja Belanda atas kekerasan militer Belanda semasa Perang Kemerdekaan Indonesia. Ingatan dari pengalaman masa itu menjadi trauma tersendiri bagi tokoh utama di lakon Operasi Batavia.
“Memang saya lihat kalau soal history, orang Belanda beda. Mereka masih ada rasa pain dari dekolonisasi. Masih ada rasa tidak enak soal mengapa membunuh, siapa yang membunuh. Beda dengan orang Indonesia. Mereka seperti no problem. Sudah selesai. Jangan pikir itu lagi. Tapi di Belanda masih harus ada riset. Cari tahu bagaimana kejadian-kejadian ini,” sambung Anis.
Ingatan Veteran KNIL dan Traumanya Kemudian
Operasi Batavia merupakan lakon spin-off dari lakon Westerling, een broederstrijd, yang sudah dimainkan DeltaDua sejak 2018. Ketika ditampilkan pertamakali di Belanda pada 2021 pun sudah berkolaborasi dengan Teater Kubur. Anis dan Dindon sudah saling mengenal sejak 1990.
“Kita sahabatannya kuat. Saya orang Maluku, dia orang Jawa, tapi sahabat. Saya punya cerita, dia punya cerita, sama-sama tentang historisnya sendiri-sendiri tapi kita bisa bikin satu cerita yang tentang perang tapi forget it. Sekarang enggak perlu perang lagi. Damai sudah. Penuh love. Ini ceritanya di situ message-nya,” urainya.
Ceritanya berpusat pada tokoh utama bernama Moses. Ia veteran KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) asal Ambon yang sebelum Perang Dunia II pun sudah mengabdi di KNIL. Setelah ditawan Jepang, Moses kembali jadi serdadu Belanda. Ia sebagai salah satu anak buah “sang jagal” Kapten Raymond Westerling.
“Tapi dia, Moses ini punya adik yang memilih TNI yang punya nama Aaron. Lepas perang 70 tahun kemudian, Aaron baru tahu ternyata kakaknya prajuritnya Westerling. Moses ini mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) selama 70 tahun. Dia punya pikiran orang-orang yang punya relasi tentang (kekerasan) itu keluar dalam mimpinya. Adiknya datang untuk peringatkan jangan stres lagi karena perang sudah selesai,” imbuhnya.
Baca juga: Kesaksian Putri Tentara KNIL
Drama dan tragedi tentang trauma Moses itu dikemas dalam dialog dengan tiga bahasa: bahasa Belanda, Indonesia, dan Inggris. Diiringi pula alunan musik pop Melayu, pop Belanda, dan tembang-tembang yang menggambarkan kerinduan seorang prajurit eks-KNIL pada tanah kelahirannya, Ambon. Anis dibantu Dindon meramu plot-plotnya dengan kombinasi antara fakta-fakta sejarah, memori-memori kolektif veteran KNIL, dan fantasi.
Komposisi itu sekaligus memuat kritik yang bukan hanya terhadap publik Belanda tapi juga Indonesia. Kritiknya terutama terkait isu kebohongan pemerintah Belanda kepada veteran KNIL Ambon maupun sensitifnya riset “Masa Bersiap”.
“Operasi Batavia saya bilang ini dokumenter musik teater. Ada fakta-fakta historisnya. Tapi cerita ini juga pakai memori, fantasi, verbeelding (fiksi). Karena saya orang seni, bukan sejarah. Nah bagaimana kita pakai fakta-fakta itu dengan fiksi bisa dicampurkan. Dokumen atau arsip kita hadirkan juga untuk kritik dan kasih tahu penonton agar kita bisa jujur tentang siapa yang jahat, siapa yang salah,” tambah Anis.
Kejujuran dan keresahan jadi kata kunci dalam karya-karya teater DeltaDua yang sudah eksis sejak 1983. Lewat format teater musikal, Anis dan istrinya, Nel Lekatompessy, menyuarakan banyak isu yang selama ini dialami orang-orang Maluku, utamanya para keturunan eks-KNIL Ambon, di Belanda dengan narasi-narasi sejarah mereka yang mengikuti hingga kini.
“Kita mendirikannya di Belanda itu karena memang historis kita. Historis Indonesia-Maluku. Dan bagaimana saya bisa bikin (drama) history supaya menarik bagi orang-orang Belanda dan bikin teater yang levelnya sama dengan orang-orang Belanda. DeltaDua juga memang spesifiknya di situ materialnya. Material tentang keterkaitan sejarah dengan Indonesia. Dengan kita dramatisasi setidaknya banyak orang yang menonton bisa membebaskan diri dari gangguan psikologis dan melepas dia punya stress semua,” tandasnya.
Tentu akan lebih seru dan menyentuh hati jika Anda saksikan sendiri pementasannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar