Perempuan dalam Teater Bung Karno
Dalam naskah-naskah teaternya, Bung Karno banyak menyelipkan tokoh sentral perempuan walaupun dimainkan oleh aktor-aktor laki-laki.
PEREMPUAN bagi Sukarno merupakan makhluk Tuhan yang sepatutnya dimuliakan. Bung Karno sadar sebagai pemimpin harus jadi teladan bagi rakyatnya untuk menghormati perempuan. Tidak hanya kepada pengasuh masa bocahnya, Sarinah, atau ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai, ia acap menampilkan spirit tentang perempuan dalam naskah-naskah sandiwaranya.
Dalam diskusi live di Youtube dan Facebook Historia.id bertajuk “Drama Bung Karno”, Selasa (30/6/2020), disebutkan Bung Karno punya minat berskala besar terhadap teater di masa pembuangannya di Ende dan Bengkulu dengan mendirikan Toneel-club Kelimoetoe dan kelompok sandiwara Monte Carlo. Dari tak kurang 17 naskah yang dibuatnya, Bung Karno acap menghadirkan tokoh-tokoh perempuan naskah-naskahnya.
“Seperti di naskah Chungking-Jakarta. Ini cerita menarik tentang spionase. Di ending cerita ini salah satu spionnya ada muncul sosok Tionghoa perempuan yang menjadi tokoh lumayan sentral. Di (naskah) Rainbow, ada tokoh Putri Kencana Bulan,” tutur seniman teater Faiza Mardzoeki dalam diskusi itu.
“Jadi, tokoh-tokoh perempuan di sini cukup aktif. Itu saya pikir spirit Bung Karno (tentang perempuan) cukup terasa di situ. Tapi saat itu Bung Karno tak menampilkan aktor-aktor perempuan, memang, tapi tokoh perempuannya dimainkan laki-laki. Padahal kalau kita lihat Teater Darnadella, misalnya, kan perempuan sudah ikut masuk,” lanjutnya.
Soal ini budayawan Taufik Rahzen punya pendapat lain. Menurutnya, Bung Karno memunculkan tokoh perempuan tetapi dimainkan aktor laki-laki karena gaya teater Bung Karno merupakan percampuran teater modern-tradisional. Di satu sisi naskah-naskahnya begitu kosmopolitan, di sisi lain Bung Karno terinspirasi dari ludruk.
“Kenapa aktor perempuan enggak main di tonil-tonil Bung Karno? Itu mengikuti tradisi ludruk sebenarnya. Jadi ludruk di Surabaya itu hanya laki-laki yang main, tokoh perempuan ya yang memainkan laki-laki. Sementara perempuan siap di belakang meja dengan Bu Inggit sebagai penata produksinya,” kata Taufik.
Inspirasi ludruk begitu kuat dalam karya-karya teater Bung Karno lantaran ketika bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) di Surabaya, Bung Karno sering ikut pementasan drama yang terinspirasi gaya ludruk.
“Sukarno muda sering terpilih memerankan wanita. Peran wanita cocok untuknya. Wajahnya begitu tampan sehingga terkesan ayu seperti perempuan. Untuk tampak seperti payudara perempuan, Sukarno menyumpalkan dadanya dengan dua potong roti manis. Dengan bedak, lipstick, dan gaun yang dikenakan, dirinya tampak bak gadis jelita,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen.
Baca juga: Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno
Totalitasnya memerankan perempuan sering membuatnya dapat komentar-komentar positif dan acungan jempol. “Untung saja dalam adegan aku tidak perlu mencium laki-laki,” kata Bung Karno, dikutip Walentina.
Namun sehabis memerankan perempuan, Bung Karno tak mau rugi kehilangan dua buah roti manis yang digunakannya sebagai pengganjal dada. Meski sudah gepeng dan bercampur keringat dan aroma tubuhnya, tetap saja dua roti itu dilahapnya usai pentas.
Inspirasi Inggit dan Fatmawati
Menurut Taufik, peran perempuan dalam teater Bung Karno lebih banyak untuk urusan-urusan teknis di belakang layar. Di sinilah letak besarnya peranan Inggit. Ia membantu Bung Karno dalam membuat pamflet dan spanduk promosi, pembuatan kostum, hingga tata rias.
“Baju-bajunya dia jahit tuh untuk karakter-karakternya. Betapa kita bisa bayangkan aspek produksinya sangat detail. Itu peran Inggit ya. Inggit juga selalu melakukan penataan make up untuk seluruh pemain,” sambung Faiza.
Baca juga: Sukarno dan Seni
Inggit sejatinya punya makna besar dalam pembentukan ide naskah-naskah teater Bung Karno. Peran Inggit, dikatakan Taufik, membuat Bung Karno bebas bertualang dengan pemikiran-pemikirannya.
“Peranan perempuan begitu besarnya di Bung Karno ini, itu Inggit. Ini periode. Bung Karno dibebaskan untuk berkelana dari sudut ide, dan itu dilindungi, dijaga, dipelihara, dirawat, diruwat oleh Inggit. Ketika Bung Karno dipenjara di Bandung, Inggit itu menggantikannya sebagai hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Majalah Persatoean Indonesia. Inggit juga yang membangun dunia Bung Karno melalui bacaan-bacaan yang dikirimkannya,” papar Taufik lagi.
“Enam puluh tokoh kutipannya dia gunakan dari ratusan buku dan itu peran Inggit. Tokoh-tokoh itu dibawa (dalam naskah teater) dengan simbol baru. Jadi kosmopolitannya Bung Karno awalnya dipengaruhi ayahnya, ibunya, baru kemudian oleh bacaan-bacaannya dan itu dimungkinkan oleh Inggit,” tambahnya.
Baca juga: Teater Zonder Lentera Karya Sastrawan Peranakan
Taufik menyebut kebersamaan Bung Karno dengan Inggit dalam sandiwaranya sebagai periode negara teater. Dalam periode ini Bung Karno mengkreasikan naskah-naskahnya dengan beragam imajinasi tinggi dengan inspirasi apapun yang dibacanya. Itu berubah ketika Bung Karno sudah bersama Fatmawati di Bengkulu bersama Teater Monte Carlo, gaya naskah Bung Karno mulai berubah ke periode teater negara.
“Kalau enggak ada Fatma, mungkin enggak ada Sukarno yang realistis. Adanya yang idealis, membangun mimpi-mimpi atas dunia teater. Kalau Inggit adalah ibu bangsa, maka Fatmawati itu ibu negara. Dia yang membuat Sukarno realistis. Gagasannya sudah bicara kooperasi dan nonkooperasi. Sukarno menjadi orang yang sangat responsif, tergoda menjawab situasi zamannya,” sambung Taufik.
Di periode teater negara itu, Bung Karno juga sering mempromosikan tokoh-tokoh perempuan. Salah satunya dalam naskah Rainbow, yang terinspirasi dari Tambo Bangkahoeloe, cerita rakyat daerah aslinya Fatmawati. Tokoh utama dalam naskah Rainbow, Putri Kencana Bulan, terinspirasi dari cerita rakyat itu dengan tokohnya Putri Gading Cempaka.
“Perjalanan-perjalanan Bung Karno yang berhubungan dengan idelogi, agama, masyarakat, itu responsif sekaligus kreatif. Dan perjalanan bangsa kita mengikuti mentalitas Bung Karno ini. Peranan perempuan di dalam Sukarno itu amat besar di seluruh karya-karya dia. Jadi sripanggungnya itu memang tanpa (aktor) perempuan, tapi justru sebenarnya nilai dasar perempuan yang dimunculkan dalam karya-karya Bung Karno,” tandas Taufik.
Maka selepas dari pembuangan hingga kemudian menjadi presiden, sikap Bung Karno dalam memuliakan perempuan mulai dinyatakan lebih terang. Tak lagi dalam karya-karya naskah teaternya, namun lewat buku Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjuangan Republik Indonesia. Buku tentang pengasuhnya itu dibuatnya sejak 1947 dan rampung pada 1951.
Pada 1959, Bung Karno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu untuk menghormati para perempuan yang berjuang di luar ranah domestik. Penghargaan Bung Karno pada kaum perempuan kemudian dilanjutkan pada 1964 dengan mengangkat sejumlah tokoh perempuan sebagai pahlawan nasional berbarengan dengan penetapan Hari Kartini setiap 21 April. Selain RA Kartini, yang diangkat menjadi pahlawan ialah Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia.
Baca juga: Kartini Martir, Bukan Pelakor!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar