Kartini Martir, Bukan Pelakor!
Kisah Kartini adalah inspirasi sekaligus ironi kaum perempuan pada sebuah negeri di masa lalu. Api semangatnya terus menyala.
SETIAP hari Kartini tiba, selalu saja ada perdebatan. Itu bagus tentu saja, namun beberapa di antara perdebatan itu berbumbu olok-olok, mengejek Kartini: dia pejuang perempuan penentang poligami namun pasrah diperistri seorang bupati berbini tiga. Lantas meme beredar, pesan WA berantai disebar kemana-mana. Intinya mau mengatakan bahwa perjuangan Kartini sia-sia karena perempuan tetaplah perempuan yang pada akhirnya harus jadi istri, beranak, dan mendekam di dapur seumur hidupnya.
Ada juga narasi lain yang terkesan menyudutkan Kartini sebagai seorang yang memandang sebelah mata agama Islam –namun akhirnya insyaf setelah bertemu Kyai Soleh Darat. Dia digambarkan seakan-akan seorang mualaf tobat yang akhirnya menemukan jalan menuju Tuhannya, setelah tiada henti-hentinya mempertanyakan agamanya sendiri. Itu terjadi karena Kartini hanya diwajibkan membaca Alquran tanpa pernah diajari apa arti di baliknya.
Sementara itu sebuah pesan WA yang mengedarkan artikel tentang “Sisi Lain Sosok RA. Kartini,” mengutip pendapat sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah. Menurut artikel itu ada sisi lain Kartini yang selama ini ditutup-tutupi oleh “pihak Barat” dan “kaum sekuler”, yakni perlawanan Kartini terhadap praktik “kristenisasi” dan “westernisasi”.
Kesimpulan tersebut ditarik dari surat Kartini kepada Ny. Van Kol bertitimangsa 21 Juli 1902. Dalam suratnya, seperti juga dikutip dalam tulisan tersebut, Kartini bersiteguh untuk tetap memeluk agama Islam setelah (konon) Ny. Van Kol menawarkan agar Kartini memeluk agama Kristen.
Dalam surat kepada Abendanon, 31 Januari 1903, Kartini memang mengkritik misi zending yang terlalu vulgar dalam usahanya menyebarkan agama Kristen di Jawa. Artikel yang sama menafsirkan kritik Kartini kepada zending Kristen itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kristenisasi yang berkelindan dengan kolonialisme Belanda.
Membaca surat-surat Kartini tanpa memahami konteks situasi zaman memang berpeluang menghasilkan penafsiran yang terpenggal. Soal agama, sikap Kartini jelas. Dia mengkritik otoritas agama yang sering di(salah)gunakan dalam praktik permaduan (poligami). Dalam suratnya kepada Stela Zeehandelar, 23 Agustus 1900, Kartini menggugat praktik tersebut. Menurutnya banyak perempuan saat itu yang mengutuk, namun tak bisa berbuat apa-apa karena aturan agama Islam memperbolehkannya.
Mengenai zending Kristen, Kartini menghargai upaya misionaris menyebarkan kasih dan kepeduliannya kepada rakyat Jawa. Namun dia mengharapkan agar kebaikan itu dilakukan atas nama kemanusiaan, bukan karena tujuan mengganti agama yang sudah dianut orang. Kartini menganjurkan agar agama menjadi jalan untuk mengenal Tuhan yang maha penyayang, pengasih dan hendaknya Tuhan diperkenalkan sebagai “Bapak semua makhluk, orang Kristen maupun dia orang Islam, Budha, Yahudi dan sebagainya,” ujarnya kepada Abendanon.
Dari surat tersebut kita bisa memahami betapa luasnya pengertian Kartini terhadap agama. Menurut Kartini agama hendaknya membawa berkah, “supaya memperkaribkan semua makhluk Allah, yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat perempuan ataupun laki-laki agama mana yang dipeluknya.”
Upaya menggerus peran Kartini sudah dimulai sejak 1979 saat Harsja Bachtiar, seorang sosiolog, yang mendelegitimasi ketokohan Kartini dalam artikelnya, “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Dia menggugat kultus Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia, karena curiga ada muatan kepentingan Belanda di dalamnya. Kartini terkesan “dipromosikan” oleh orang Belanda sebagai sosok perempuan berpikiran maju yang beritikad mendobrak tradisi kolot yang mengungkung masyarakatnya.
Cara pandang Harsja memunculkan pengertian kalau Kartini adalah produk kolonial, narasi liyan yang kurang cocok diaku sebagai narasi sejarah produk Indonesia. Sehingga ada kesan membela Kartini artinya berada di posisi yang sama dengan kaum kolonial Belanda.
Harsja menawarkan tokoh perempuan lain yang menurutnya jauh lebih jelas peran dan perjuangannya ketimbang Kartini yang hanya menulis surat. Mereka adalah Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari kesultanan Aceh dan Siti Aisyah Wa Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Harsja mungkin mengabaikan jasa terbesar Kartini, yang bukan terletak pada kepalan tangan menggenggam senjata atau duduk di tampuk kekuasaan. Api semangat pada setiap lembar suratnya jadi sumber inspirasi perjuangan banyak perempuan generasi berikutnya. Surat-surat Kartini, sebagai buah pikiran dan cerminan situasi batin kaum perempuan sezamannya, sumber otentik yang tak bisa tergantikan oleh legenda atau dongeng keperkasaan perempuan di masa lalu.
“Di tahun 1922 aku mulai berkenalan dan sangat kagum kepada gagasan R.A. Kartini melalui bukunya,” ujar Sujatin Kartowijono, tokoh pionir gerakan perempuan Indonesia, dalam biografinya Mencari Makna Hidupku: Bunga Rampai Perjalanan Sujatin Kartowijono.
Enam tahun setelah membaca surat-surat Kartini, Sujatin turut menggagas penyelenggaraan kongres perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928. Kelak kongres tersebut dirayakan sebagai hari ibu setiap tahunnya, wujud konkret usaha perempuan Indonesia untuk membawa keluar kaumnya dari jeratan tradisi kuno dan kungkungan peran domestiknya.
Maka alih-alih merendahkan atau bahkan mengabaikan peran dan pengaruh Kartini, ada baiknya memperkaya deretan kisah perjuangan perempuan Indonesia dengan beragam kisah inspiratif dari beragam tokoh perempuan di masa lalu. Bukan dengan saling menyisihkan peran perempuan satu sama lain.
Yang paling mengerikan dari era media sosial ini adalah meme ejekan terhadap Kartini yang lahir sebagai anak dari istri ketiga dan dipersunting oleh seorang bupati yang telah pula beristri lantas disebut sebagai contoh “ibu teladan dalam poligami.” Mungkin para pencela itu lupa. Kartini menerima pinangan bupati Rembang karena dia seorang duda ditinggal mati istri pertamanya.
Penderitaan baru datang ketika Kartini yang sedang hamil muda mengetahui suaminya memelihara dua gundik. Sejak itu Kartini tak lagi menulis surat, memilih menyendiri, menolak untuk tidur bersama suami sebagai bentuk perlawanannya. Kartini wafat empat hari setelah melahirkan Soesalit. Ada dugaan kematiannya disebabkan oleh preeklamsia, tekanan darah yang melonjak tinggi disertai kejang-kejang.
Kisah Kartini adalah inspirasi sekaligus ironi dari sebuah negeri: dia melawan tradisi kolot yang menindas perempuan namun gugur sebagai kurban dalam jeratan praktik permaduan.
Baca juga:
Anak Kartini Jenderal Kiri
Jalan Kartini Temukan Islam
Pengembaraan Sosrokartono, Kakak Kartini
Ketika Kartini Menggugat Snouck Hurgronje
Tambahkan komentar
Belum ada komentar