Francis Ford Coppola dan Trilogi The Godfather
Darah seninya diturunkan dari lima generasi ke atas. Meroket berkat trilogi “The Godfather”.
NAMA Francis Ford Coppola diakui sebagai satu dari sedikit senias legendaris yang sejajar dengan Martin Scorsese, Steven Spielberg, James Cameron, Roman Polański, Spike Lee, ataupun Quentin Tarantino. Bukti sahihnya adalah raihan enam Piala Oscar (Academy Awards) dan enam Golden Globe. Tiga di antaranya ia menangkan di kategori sutradara terbaik lewat film-film epiknya, trilogi The Godfather (1972, 1974, 1990) dan Apocalypse Now (1979).
Dalam rentang waktu hampir enam dekade, Coppola terlibat dalam 30 film epik, 26 di antaranya sebagai sutradara. Film merupakan hal familiar baginya. Sejak kecil ia tumbuh di lingkungan keluarga yang berkecimpung di dunia seni, baik seni peran maupun musik.
Kala berbincang dalam program “Living Live” yang ditayangkan Mola TV, Jumat (22/1/2021) malam dengan dipandu sineas Rayya Makarim dan eks-Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal, Coppola berkisah bagaimana keluarganya yang imigran Italia sampai pada generasi kelima tetap dekat dengan industri film.
“Nenek saya (Anna Giaquinto) seorang aktris sejak usianya masih 17 tahun. Ayah dari nenek saya juga seorang komposer berbakat dari Napoli, di mana ia sudah membawa nenek saya ke Amerika sejak umur 16 tahun. Menariknya, kedua kakek saya kemudian terlibat di dunia film. Kakek dari ayah saya (Agostino Coppola) jadi teknisi tata suara dan kakek dari ibu saya (Francesco Pennino) aktif di film dan teater serta membawa film-film Italia ke Amerika. Jadi saya sudah generasi kelima,” terang Francis.
Baca juga: Layar Kehidupan Robert De Niro
Francis lahir di Detroit, Amerika Serikat pada 7 April 1939 sebagai anak kedua dari pasangan berdarah Italia Pennino dan Carmine Coppola. Nama tengahnya dibubuhi “Ford” sebagaimana raja mobil Henry Ford karena dua faktor. Pertama, dia lahir di Henry Ford Hospital. Kedua, karena ayah Francis, Carmine Coppola, saat itu menjadi musisi cum asisten sutradara serial radio “The Ford Sunday Evening Hour” yang disponsori Ford Motor Company.
“Keluarga saya sangat concern dengan pencapaian saya. Ayah saya sendiri sosok yang bertalenta dalam musik. Ia peniup flute (seruling) di program Ford. Selain itu ia juga sudah banyak menggelar konser, salah satunya di Carnegie Hall, sampai punya program solo flute di NBC,” sambungnya.
Darah seni yang turun-temurun itu dilanjutkan Francis saat mendapat beasiswa musik di New York Military Academy dan Hofstra College pada 1950-an, serta UCLA School of Theater, Film, and Television pada 1960. Dua film pendek pertama karyanya, The Two Christophers dan Ayamonn the Terrible, yang bergenre horor ia hasilkan saat masih studi di UCLA.
Baca juga: Kisah Ken Miles di Balik Ford v Ferrari
Namun, dua karya pertamanya itu tak mendatangkan keberuntungan. Coppola bahkan sampai harus menggarap film-film pendek low budget bergenre komedi erotis untuk menyambung hidup sebagaimana yang dilakukan rekan-rekannya di UCLA. Maklum, film jenis itu sedang laku di pasaran. The Peeper (1960), Tonight for Sure (1962), dan The Bellboy and the Playgirls (1962) merupakan buah karyanya periode itu.
“Di UCLA saya ambil jurusan teater dan cukup lumayan kehidupan perkuliahan saya jalani selama lima bulan pertama. Tapi pada suatu pagi saya baru sadar bahwa saya tak punya uang. Hanya punya uang saku 10 dolar per minggu. Setiap malam saya hanya makan makaroni keju yang dikirim orangtua. Satu-satunya yang menghasilkan uang adalah film yang mempertontonkan tubuh telanjang tanpa adegan seks,” kenangnya.
Titik balik Coppola baru terjadi ketika film komedi yang dijadikannya tesis untuk mendapatkan gelar master di UCLA, You’re a Big Boy Now (1966), dibeli hak distribusinya oleh rumah produksi Seven Arts. Seven Arts setahun kemudian dibeli Warner Bros. Film itu lantas banyak pujian para kritikus. Aktrisnya, Geraldine Page, bahkan sampai dinominasikan sebagai aktris terbaik di Piala Oscar dan Golden Globe.
Trilogi The Godfather yang Melejit
Sejak saat itu, perlahan nama Coppola mulai melejit sebagai penulis naskah maupun sutradara. Coppola bahkan sudah menggenggam Piala Oscar pada 1971 lewat film biopik perang, Patton (1970). Coppola menang kategori skenario original terbaik. Capaian inilah yang membuat namanya masuk dalam kandidat proyek film The Godfather di bawah rumah produksi mentereng Paramount Pictures.
Film yang diadaptasi dari novel kriminal karya Mario Puzo dengan tajuk serupa itu bahkan hak tayangnya sudah dibeli Paramount Pictures kala Puzo belum merampungkan novelnya. Lantaran butuh uang, Puzo rela menjualnya 12.500 dolar. Nilainya akan bertambah menjadi 80 ribu dolar ketika novelnya difilmkan.
Novel The Godfather akhirnya rampung dan dirilis pada 1969. Di tahun itu pula Paramount ingin memfilmkannya. Di sinilah Coppola masuk daftar kandidat sutradara bersama beberapa nama lain seperti Peter Bogdanovich, Elia Kazan, Arthur Penn, Otto Preminger, Peter Yates, Richard Brooks, dan Costa-Gravas.
Nama Coppola sendiri dimunculkan Wakil Presiden Paramount Pictures Peter Bart. Alasan Bart mengusulkannya adalah karena ceritanya tentang mafia Italia-Amerika, maka sutradaranya mesti keturunan Italia-Amerika. Paramount ingin belajar dari kesalahannya ketika menggarap film mafia, The Brotherhood (1968), yang gagal di pasaran karena kurangnya otentisitas Italia-Amerika akibat disutradarai dan dibintangi aktor non-keturunan Italia.
“Suatu hari pada musim semi 1969, Peter Bart dari Paramount mengontak saya dan bilang bahwa ada kemungkinan film ini akan ditawarkan kepada saya dan novelnya akan segera dikirimkan untuk saya baca. Sebelum bukunya datang, saya melakukan riset sendiri buku-buku tentang mafia di Perpustakaan Umum Mill Valley. Ada tiga sampai empat cerita yang bagus tentang mafia Amerika sungguhan, seperti kisah tentang Joseph Valachi dan Vito Genovese,” tulis Coppola dalam The Godfather Notebook.
Namun ketika novel karya Puzo datang dan dibacanya, Coppola justru kecewa. Ia bahkan berniat menolaknya karena isi novel diwarnai banyak cerita vulgar murahan. Dilemanya adalah, sebagaimana Puzo, saat itu Coppola pun sedang butuh uang. Meski sudah punya Piala Oscar, Coppola masih bergulat dengan finansialnya. Selain harus menafkahi keluarga, di mana istrinya sedang hamil anak ketiga, rumah produksinya pun terancam disita karena terlilit utang.
“George Lucas, teman dan co-founder rumah produksi kami, American Zoetrope, menyarankan: ‘Kamu harus ambil proyek ini, kita sudah tak punya uang dan polisi bisa menyegel perusahaan kita.’ Akhirnya saya ambil tawarannya. Anehnya, banyak sutradara lain juga menolaknya, termasuk Elia Kazan, sutradara terbaik saat itu,” tambah Coppola dalam buku itu.
Baca juga: Mengenang Sineas Bernardo Bertolucci
Coppola tak mengambil mentah-mentah semua isi novel Puzo, terutama pada bagian-bagian yang menurutnya vulgar dan murahan, dalam menggarap naskahnya. “PR” berikutnya adalah pemilihan aktor utama, terutama untuk pemeran Vito Corleone sang godfather.
Paramount yang tak dipermasalahkan sebagian besar pemeran, serius dalam mencari pemeran Vito Corleone. Karena itu Paramount mengajukan banyak nama, semisal Anthony Quinn, Ernest Borgnine, George C. Scott, Orson Welles, Laurence Olivier, dan Richard Conte. Nama terakhir kelak tetap ikut dalam proyek dengan memerankan Don Barzini, bos mafia rival Vito Corleone.
Namun, Puzo yang juga bergabung dengan Coppola sebagai penulis naskah hanya menginginkan nama Marlon Brando. Coppola pun setuju. Hanya saja Paramount enggan menyetujuinya setelah melihat beberapa film Brando gagal meledak di pasaran.
“Ketika saya mengajukan nama Brando, presiden Paramount (Stanley Jaffe, red.) bilang pada saya, ‘Francis, saya katakan pada Anda bahwa Marlon tidak akan tampil di film ini. Saya melarang Anda mengajukan namanya lagi’,” kenang Francis.
Coppola dan Puzo tetap ngotot mengajukan Brando. Perdebatan pun berlangsung berbulan-bulan. Akibatnya, proses produksi tertunda. Coppola akhirnya melangkahi bos Paramount dengan langsung menemui Charles Bluhdorn, presiden Gulf+Western yang memayungi Paramount.
Baca juga: Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra
Bluhdorn memberi syarat jika Coppola tetap menginginkan Brando, Brando mesti mau ikut audisi. Syarat lainnya, Brando berkenan digaji kecil, 50 ribu dolar, dan harus mengganti rugi jika berulah yang mengakibatkan proses produksi tertunda lagi. Syarat ini dibuat karena Brando melakukannya pada beberapa film yang ia bintangi sebelumnya.
Kengototan Coppola-Puzo untuk membela Brando pun tak sia-sia. The Godfather meledak saat dilepas ke pasar global pada 1972. Dari budget hanya 7 juta dolar, mereka meraup keuntungan hingga 287 juta dolar. Coppola salah satu sosok yang tak menyangka The Godfather bisa sesukses itu.
“The Godfather adalam film yang sangat tidak dihargai saat kami membuatnya. Mereka (produser) tak senang dengan filmnya. Mereka juga tidak suka dengan pemerannya. Mereka tidak senang dengan cara syuting saya. Saya selalu dalam ancaman pemecatan,” lanjutnya.
Tapi hasil keuntungan yang berlimpah membuat produser banyak senang. Coppola pun kembali dipercaya membuat lanjutan triloginya, The Godfather Part II (1974), dan The Godfather Part III (1990). Kedua film lanjutannya cukup sukses pula meski tetap tak menghilangkan “drama” antara Coppola dan pihak rumah produksi di balik layarnya.
“Awalnya perusahaan (Paramount) tak menghendaki filmnya disebut The Godfather Part II. Mereka lebih menginginkan judul seperti The Godfather II karena mereka mau nantinya akan ada The Godfather III, IV, V dan sebanyak mungkin kelanjutannya,” ujar Coppola lagi.
Setelah menyelesaikan The Godfather Part III, Coppola dan Puzo kembali “bertengkar” dengan rumah produksi. Salah satunya karena judul. Coppola lebih menginginkan tajuk The Death of Michael Corleone karena ingin film ini jadi pamungkas dari dua film sebelumnya. Namun tetap saja Paramount bersikeras.
Untuk mengobati kekecewaannya setelah mengalah pada Paramount, Coppola merilis versi recut-nya, The Godfather Coda: The Death of Michael Corleone, secara terbatas pada 4 Desember 2020. Film ini ia buat serta edit ulang bagian prolog dan epilognya.
“Saya membuat permulaan dan penutup yang baru, serta mengatur ulang beberapa adegan dan musiknya. Dengan beberapa perubahan ini ditambah footage yang di-restored, film akan mendapatkan bagian konklusi lebih pantas sebagai final dari The Godfather dan The Godfather: Part II,” tandasnya.
Baca juga: Sharon Stone dalam Bayang-bayang Simbol Seks
Tambahkan komentar
Belum ada komentar