Sharon Stone dalam Bayang-bayang Simbol Seks
Citra simbol seks yang melekat pada Sharon Stone tak kunjung sirna. Hingga menginjak usia kepala enam ia masih jadi fantasi di kepala para penggemarnya.
FOUNDATION memang bisa sedikit menutupi kerut-kerut di wajahnya. Namun, tulang pipinya yang begitu menonjol menunjukkan usianya sudah tak lagi muda, 62 tahun. Begitulah Sharon Stone kini, yang masih tetap cantik dan ceria.
Lama menghilang dari dunia entertainment, Sharon masih dilekati citra sebagai simbol seks. Itu diakuinya ketika berbincang secara daring di program “Mola Living Live” yang dipandu aktor Reza Rahadian dan sineas Rayya Makarim di Mola TV, Sabtu, 7 November 2020.
Sharon tak kuasa menghindari citra tersebut meski sekarang tampak kurang nyaman dengannya. Itu diperlihatkannya ketika menjawab pertanyaan Rayya, bagaimana sulitnya mendapat peran lain yang tidak mendefinisikan dia sebagai simbol seks dan berapa lama imej itu mengikuti kariernya.
“Selamanya, hahahaha…,” cetus Sharon.
Citra simbol seks Sharon muncul setelah dia memerankan tokoh Catherine Tramell di Basic Instinct (1992). Peran itu pula yang membuat namanya meroket.
Tak Disetujui Orangtua
Lahir di Meadville, Pennsylvania, 10 Maret 1958, Sharon Vonne Stone merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Joseph William Stone II dan Dorothy Marie Lawson. Sharon tumbuh sebagai anak yang cerdas secara akademik.
“Saya sudah bisa duduk di kelas dua sekolah dasar pada usia lima tahun. Pada umur 15, saya kuliah di perguruan tinggi (Tes IQ: 154).” kenang Sharon yang berkuliah di jurusan Seni dan Sastra Universitas Edinboro berkat beasiswa itu.
Sebagai anak yang membanggakan kedua orangtuanya, Sharon membuat mereka terkejut ketika mulai terjun ke dunia hiburan sebagai model usai menjuarai kontes kecantikan Miss Crawford County, Pennsylvania saat masih berkuliah. Ayahnya yang seorang manajer pabrik dan ibunya yang seorang akuntan menyayangkan keputusan Sharon itu.
“Mereka (orangtua) sangat cemas dan takut. Mereka enggak bisa terima dengan baik keputusan saya. Menurut ayah saya, itu hanya menyia-nyiakan bakat dan kecerdasan saya,” sambungnya.
Baca juga: Connie Sutedja Si Ratu Vespa
Namun, orangtua Sharon pada akhirnya dengan berat hati menerima keputusan anaknya. Terlebih, keluarganya tengah diterpa prahara. Michael Stone, kakak Sharon, dipenjara akibat kasus narkoba.
“Menurut ayah saya, saya dibolehkan pergi agar saya bisa ganti suasana dan keluar dari masalah keluarga. Kakak saya menjadi bandar kokain dan ditangkap. Jadi orangtua saya merasa karena krisis di keluarga itulah mereka mengizinkan saya pergi ke New York untuk mencari pekerjaan sembari tetap kuliah,” sambungnya.
Baca juga: Connie Sutedja Si Singa Betina dari Marunda
Di New York petualangan Sharon di dunia fesyen dimulai dengan bergabung di Ford Modeling Agency pada 1977. Sharon mulai sering menjadi bintang iklan. Beragam produk, mulai sampo hingga berlian, iklannya dia bintangi.
Kemampuan ekonomi yang terus membaik seiring naiknya reputasi Sharon sebagai model juga mendorong Sharon sering berpindah tempat tinggal. Dari New Jersey, Sharon pindah ke New York, lalu Milan (Italia), dan akhirnya Paris (Prancis).
Akan tetapi, capaian itu tak membuat Sharon puas. Sebab, satu impiannya, yakni dunia seni peran, belum berhasil digapainya.
“Walau dia mulai terkenal di modeling dan punya bayaran besar dari agensi-agensi model, Sharon Stone memutuskan berhenti jadi model di usia 22 tahun dan mengejar karier yang selalu diimpikannya: akting. Faktanya keputusan itu diambil tiba-tiba setelah mengambil pekerjaan modeling di Paris,” tulis Brad Dunn dalam When They Were 22: 100 Famous People at the Turning Point in Their Lives.
Setelah mengepak koper dan kembali ke New York, Sharon mendapat kesempatan mewujudkan mimpinya dengan menjadi pemeran ekstra dalam film garapan Woody Allen, Stardust Memories. Di dua film berikutnya, Deadly Blessing dan Les Un et les Autres, Sharon juga masih jadi figuran yang namanya tak dicantumkan dalam credit.
Baca juga: Layar Lebar Chadwick Boseman
“Saya akui saat saya muda, saya tidak memilah-milah pekerjaan. Saya menemukan nilai-nilai dalam setiap pekerjaan. Saya hanya ingin bekerja dan bersyukur punya pekerjaan. Memang tidak semuanya bagus. Tapi kemudian butuh waktu lama untuk memvalidasi dan melindungi diri saya sebagai seorang profesional. Terlebih, sulit bagi perempuan saat itu untuk menolak tawaran apapun, ketika kita sangat mengharap mendapat peran,” aku Sharon.
Berkat kerja kerasnya, perlahan nama Sharon mulai dikenal. Selangkah demi selangkah dia mendapat peran pendukung yang namanya mulai dicantumkan dalam credit film. Seperti di Irreconcilable Differences (1984), Police Academy 4: Citizens on Patrol (1987), dan Total Recall (1990) yang dibintangi Arnold Schwarzenegger dan disutradarai Paul Verhoeven.
Melejit Berkat Basic Instinct
Dua belas tahun berkarier di Hollywood, nama Sharon belum benar-benar populer. Kesempatan untuk mendongkrak popularitasnya diperoleh Sharon ketika dia dipilih Verhoeven untuk memerankan Catherine Tremmel, tokoh dalam film Basic Instinct yang disutradarainya.
Jalan yang dilalui Sharon untuk bisa memerankan tokoh sosiopat atau antisosial yang kemudian menjadi pembunuh berantai itu bukanlah jalan yang mulus. Aktor utama lainnya, Michael Douglas, yang memerankan Detektif Nick Curran, sempat mengusulkan kepada sutradara dan produser agar memilih aktris lain yang namanya sudah populer ketimbang Sharon. Kim Basinger, Julia Roberts, Greta Scacchi, hingga Meg Ryan merupakan nama-nama yang direkomendasi Douglas.
“Saya butuh seseorang (aktris, red.) yang mau berbagi risiko dalam film ini. Saya tidak ingin sendirian membintanginya. Karena pasti akan ada banyak hal yang terjadi,” kenang Douglas saat diwawancara Jane Warren untuk The Express, 29 Maret 2011.
Namun semua aktris rekomendasi Douglas itu menolak setelah melihat naskah film. Pun dengan Michelle Pfeiffer, Demi Moore dan sederet nama lain yang diajukan pihak produser. Penolakan terjadi karena karakter Catherine sangat kontroversial dan akan banyak melakukan adegan “panas”.
Baca juga: Kirk Douglas, Pelaut yang Penakluk Hollywood
Maka meski telah menggelar serangkaian audisi panjang, Verhoeven akhirnya tetap menjatuhkan pilihan pada Sharon untuk film bergenre erotic thriller itu.
“Saya menjalani audisi untuk peran itu selama delapan sampai sembilan bulan. Jadi ketika mendapatkan perannya, saya sudah sangat siap. Karena saya membongkar naskahnya ribuan kali. Saya simpan naskahnya di kulkas. Jadi ketika ingin ambil makanan, naskah itu seolah berkata: ‘Tidak! Kamu tidak boleh makan karena kamu harus membuka pakaian di film itu. Jadi tutuplah kulkasnya dan pergi ke (olahraga) treadmill,’” kata Sharon.
Selain bolak-balik membuka naskah, Sharon juga mendalami perannya dengan berinisiatif melakukan observasi dan investigasi sendiri.
“Saya mewawancara para pelaku (pembunuh berantai) di penjara. Saya juga menonton kembali film-film tentang pembunuhan berantai. Lalu saya banyak membaca tentang Joan of Arc dari buku Bernard Shaw dan karakter lain di (buku Darkness Visible) William Styron. Saya ingin melihat hal-hal apa saja yang mendorong karakter-karakter di buku itu dalam segala tindakannya. Apa yang dilakukannya demi tujuan yang lebih besar atas restu kekuatan yang juga lebih besar di atas sana,” tambahnya.
Lebih lanjut Sharon mengatakan, “Saya juga ingin membangun trauma dalam karakternya (Tramell). Karena ketika melihat karakternya sangat halus, tak bercela, pasti sebenarnya mereka menutupi sesuatu. Tiada manusia yang sempurna. Jadi saya mencari pendalaman untuk karakter itu mengintimidasi lawannya,” lanjut Sharon.
Terlepas dari kontroversi akibat adegan-adegan syur dan vulgar, Basic Instinct meledak di pasaran. Sharon sendiri mendapat nominasi Golden Globe sebagai aktris utama terbaik. Reputasi Sharon seketika meroket. Dia jadi pujaan, bahkan simbol seks di mata publik.
“Efeknya besar sekali dalam karier saya. Karena pada satu hari saya hanya aktris yang sedang berjuang, tiba-tiba, boom, jadi box office. Film itu jadi perubahan besar dalam hidup saya. Sebelumnya saya berperan di Total Recall tapi tidak ada yang ingat saya. Tapi setelah Basic Instinct, orang baru ingat kembali,” ujarnya.
Baca juga: The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis
Setelah itu, Sharon merasa seperti terpenjara popularitas. Selama 10 tahun berikutnya ia sampai tak bisa ke mana-mana tanpa dikenali orang awam. Label sebagai simbol seks telah melekat pada dirinya, bahkan sampai saat ini.
“Saya 62 (tahun)! Orang-orang masih ingin melihat payudara saya. Benar-benar deh. Dewasalah! Saya sendiri tak pernah menganggap diri saya seksi. Saat berperan di Basic Instinct, saya mengeksplorasi dan bahkan berteman dengan sisi gelap saya. Saya menjadi pemberani terhadap diri saya sendiri. Saya pikir itu yang membuat orang melihat saya seksi,” cetusnya kepada Hollywood Unlocked, 16 September 2020.
Imej simbol seks itu merugikan Sharon. Publik selalu menginginkan karakter lebih vulgar dari Sharon. Imej itu juga menimbulkan kritik bagi para feminis. Akibatnya, beberapa film Sharon berikutnya gagal di pasaran. Publik seolah tak puas dengan karakter-karakter yang dimainkan Sharon di film Sliver (1993), Intersection (1994), The Quick and the Dead (1995), dan bahkan sekuel Basic Instinct 2 (2006). Di Intersection, Sharon bahkan dianugerahi Golden Raspberry Award untuk kategori Aktris Terburuk.
“Publik tidak tertarik dengan Sharon sebagai seorang aktris, namun sebagai sesosok karakter. Lalu Sharon kembali mendaratkan pukulan bagi kaum perempuan dengan menembaki seorang pria chauvinis dengan pistol besarnya,” tulis Ben Thompson dalam ulasannya mengenai film The Quick and the Dead dalam majalah Sight & Sound edisi September 1995.
Baca juga: Feminisme dalam Enola Holmes
Sharon menjadi bagian dari aktris yang dikiritik jurnalis cum feminis Suzanne Moore sehubungan dengan bermunculannya film-film yang menghadirkan simbol seks untuk mendongkrak imej perempuan di era 1990-an. Selain film yang dibintangi Sharon, film-film yang dikritik itu antara lain Pretty Woman (1990), yang dibintangi Julia Roberts; Batman Returns (1992), di mana Michelle Pfeiffer berperan sebagai Catwoman; Indecent Proposal (1993) yang dibintangi Demi Moore dan Robert Redford. Menurut Suzanne, film-film itu justru bertolak-belakang dengan nilai-nilai feminisme itu sendiri.
“Apa maksudnya yang dilakukan simbol seks di era 1990-an, saya bertanya-tanya? Menjual diri kepada Robert Redford seharga sejuta dolar? Merangkak dengan kostum lateks ala Pfeiffer atau menyerahkan diri kepada klien terkaya seperti Julia Roberts di Pretty Woman? Dalam konteks ini, tak diragukan lagi Stone berhasil hanya berdasarkan satu film. Apa yang ia jual kepada kita jauh lebih seksi daripada seks itu sendiri. Lebih seperti zat perangsang, sebuah fantasi akan suatu kekuatan,” kata Suzanne dikutip Jacinda Read dalam The New Avengers: Feminism, Feminity and the Rape-Revenge Cycle.
Sosok filantropis
Terlepas dari kariernya di dunia peran yang sudah membintangi 65 film, termasuk What About Love yang masih dalam tahap pascaproduksi (rencana rilis 2021) serta 29 drama seri televisi, Sharon merupakan sosok filantropi. Pada 2005, saat malaria merebak di Tanzania hingga UNICEF turun tangan, Sharon turut membantu dengan menggalang dana untuk membantu penyediaan jaring-jaring nyamuk rakyat Tanzania. Upayanya berhasil mendapatkan USD250 ribu.
Sharon juga vokal terhadap sejumlah isu HAM dunia. Pada Maret 2006, ia aktif mempromosikan perdamaian di Timur Tengah, khususnya terkait konflik Palestina-Israel. Sharon juga lantang memprotes China ketika pemerintah negeri itu melancarkan aksi-aksi persekusi, kekerasan, hingga penculikan menyusul demonstrasi besar di Tibet.
Pada 2013, Sharon menerima Peace Summit Award di World Summit of Nobel Peace Laureates XIII setelah berhasil menggalang dana ratusan juta dolar bersama American Foundation untuk proyek riset AIDS. Dua tahun berikutnya dia menerima Pilosio Building Pace Award akibat berhasil menggalang dana pembangunan 28 sekolah di Afrika.
Baca juga: Sineas Legendaris Bernardo Bertolucci
Proyek itu gagasannya datang tiba-tiba. Menurut Grant Schreiber dalam Real Leaders, pada 17 September 2015, sebelum penganugerahan Sharon di KTT Nobel 2013, Sharon didatangi seorang pengusaha di belakang panggung untuk diminta foto bersama. Sharon lantas menyatakan bersedia dengan syarat si pengusaha mau membangun dua sekolah di Afrika. Pengusaha itu setuju.
“Saat dia bilang bahwa namanya Joe, hal itu sangat dalam mempengaruhi saya karena itu nama dari mendiang ayah saya dan saya tahu bahwa dia ingin saya datang malam ini dan mengatakan bahwa Joe akan membangun dua sekolah,” ujar Sharon dikutip Schreiber.
Baca juga: Warna-warni Kehidupan Sean Connery
Sharon langsung mengumumkannya di atas panggung usai menerima penghargaan Peace Summit Award. Dia juga menawarkan kepada pihak lain untuk berbuat serupa Joe.
“Siapa lagi yang mau membangunkan sebuah sekolah bersama saya? Siapapun yang berjanji mau membangunkan sebuah sekolah, nantinya akan makan malam bersama saya,” kata Sharon di atas panggung.
Dalam lima menit, sejumlah hadirin pun bersedia berdonasi. Alhasil, 28 sekolah baru dibangun di Afrika dan rampung pada 2015 sebelum Sharon menerima penghargaan Pilosio.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar