Mengenang Bertolucci
Salah satu sineas paling dihormati sepanjang sejarah. Dikenang Europe on Screen (EoS) tahun ini lewat pemutaran tiga karyanya.
ADA yang spesial dalam gelaran Europe on Screen (EoS) tahun ini yang dihelat 18-30 April 2019. Dari beragam program yang digulirkan, ada program retrospektif berupa pemutaran tiga karya sineas legendaris Bernardo Bertolucci: The Conformist (1970), The Last Emperor (1987), dan The Dreamers (2003). Ketiga film epik itu mewakili tiga dekade, tiga negara, serta tiga bahasa berbeda.
Namun, tema ketiganya tetap tak jauh dari seks dan politik, yang jadi ciri khas karya Bertolucci. Ia tak hanya menawarkan kevulgaran seksual namun juga fragmen-fragmen politis yang apik dengan kemasan seni.
Diangkatnya tiga karya Bertolucci yang menonjolkan bahasa Italia, Prancis dan China dalam program ini tak lain merupakan bentuk apresiasi dan untuk mengenang sosok yang menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 itu.
“Dengan menonton pilihan karya film dari seorang sutradara (Bertolucci) kita bisa belajar banyak. Saya pribadi sudah ingin memutar film-filmnya dari beberapa tahun terakhir ini. Kabar kematiannya beberapa bulan lalu makin menegaskan dan membulatkan tekad kami untuk mengadakan (program) restrospektif Bertolucci tahun ini,” tutur EoS Festival Co-Director Nauval Yazid kepada Historia.
The Conformist yang berkisah seputar seorang polisi di era fasisme Benito Mussolini, diputar di Instituto Italiano Cultura (IIC) pada 20 April dan Kineforum pada 27 April. Sementara, The Last Emperor yang mengangkat kisah kaisar terakhir China, ditayangkan di IIC pada 19 April dan Kineforum pada 28 April. The Dreamers, yang mengisahkan drama tiga aktivis muda di masa Kerusuhan Mei 1968 di Prancis, ditayangkan di IIC pada 23 April dan Kineforum pada 25 April.
Baca juga: Melihat Benua Biru Lewat Europe on Screen
“Kenapa kami tayangkan tiga film dengan tiga bahasa berbeda, karena kami ingin menunjukkan versatility atau keluwesan Bertolucci dalam membuat film. Tiga film dari tiga dekade yang berbeda ini juga menunjukkan endurance atau ketangguhan Bertolucci sebagai sutradara. Dan dari skala produksi film, semuanya epik,” imbuhnya.
Like Father, Like Son
Bertolucci lahir di Parma pada 16 Maret 1941 sebagai putra sulung seorang guru Ninetta Giovanardi dan seorang penyair, sejarawan seni cum kritikus film Attilio Bertolucci. Sejak belia, ia tumbuh jadi seorang yang gemar menulis, hingga masuk Fakultas Sastra Modern Universitas Roma pada 1958. Kelak adiknya, Giuseppe Bertolucci, serta sepupunya, Giovanni Bertolucci, juga berkecimpung di perfilman.
Sayang, pendidikan formal tak dirampungkan Bertolucci. Namun saat keluar dari kampus pada 1961, dia sudah punya mentor Pier Paolo Pasolini, yang di tahun itu juga mengajaknya menjadi sebagai asisten sutradara film Attacone. Setahun berikutnya, Bertolucci “naik kelas” dengan meracik film sendiri yang berjudul La Commare Secca. Film drama pembunuhan seorang pelacur itu terbilang sukses.
Booming film-film Italia di dunia pada 1970 turut mendongkrak ketenaran Bertolucci. Pada 1972, dia merilis Last Tango in Paris yang menggandeng aktor Marlon Brando dan Maria Schneider. Lewat film yang lebih sukses ini, Bertolucci masuk nominasi Academy Award untuk kategori sutradara terbaik dan Brando sebagai nominasi aktor terbaik.
Baca juga: Papillon Ogah Pasrah
Namun di sisi lain, film drama-erotis sarat adegan kekerasan seksual itu menuai kontroversi. Tidak hanya filmnya harus banyak disensor di beberapa negara, pun juga di Italia sendiri film ini membuahkan kasus hukum. Pada 1973, sebagaimana tersua dalam Censorship: A World Encyclopedia, film ini diperkarakan di Pengadilan Negeri Bologna. Mahkamah Kasasi lantas memvonis film itu mesti disita komisi sensor dan semua copy filmnya dihancurkan pada 29 Januari 1973. Bertolucci dan Brando pun dibui dua bulan.
Skandal itu tak membuat sineas atheis itu berhenti berkarya. Ia comeback dengan film 1900 yang dirilis pada 1976. Film yang diramaikan para aktor sohor seperti Robert De Niro, Gérard Depardieu, hingga Burt Lancaster ini mengisahkan pergulatan para petani di Emilia-Romagna pada Perang Dunia II.
Nama Bertolucci kian berkibar setelah memenangi Academy Award dan Golden Globe pada 1988 dalam kategori sutradara dan screenplay terbaik untuk film The Last Emperor.
“Bertolucci awalnya menawarkan dua proyek film kepada pemerintah China: Man’s Hope dari novel karya (André) Malraux dan From Emperor to Citizen. Tapi pada akhirnya menyingkirkan opsi Man’s Hope karena pemerintah China keberatan terkait interpretasi novel itu terhadap Revolusi Komunis di China,” tulis Peter Lev dalam The Euro-American Cinema.
Opsi yang tersisa itu lalu digarap dan diubah tajuknya berdasarkan otobiografi sang kaisar terakhir China Aisin-Gioro Puyi, menjadi The Last Emperor. Produksinya bergulir lancar lantaran pemerintah China memberi kebebasan, termasuk saat pengambilan gambar di Kota Terlarang, demi produksi film tersebut.
Film itu sukses berat dan jadi puncak karier Bertolucci, yang tetap berkarya hingga 2012 lewat film terakhir berjudul Me and You. Karya-karya Bertolucci sempat diapresiasi oleh Palme d’Or, anugerah tertinggi dalam perfilman, pada Festival Film Cannes pada 2011.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar