Papillon Ogah Pasrah
Salah satu kisah pelarian terhebat yang diangkat dalam film. Diputar sebagai salah satu sajian Europe on Screen 2019.
HANYA dalam satu malam, hidup Henri “Papillon” Charrière (diperankan Charlie Hunnam) berubah drastis. Nasibnya berbalik 180 derajat dari hidupnya yang flamboyan dan glamor di kota Paris menjadi narapidana yang dipenjara di tempat terpencil di seberang Samudera Atlantik. Ganjalan berat juga datang dari asmaranya, Papillon sedang kasmaran dengan pacarnya, Nenette (Eve Hewson).
Nestapa itu bermula dari pengkhianatan Papillon terhadap Jean Castili, bos kriminal yang punya banyak jaringan di kepolisian. Setelah sukses mencuri sejumlah berlian dari brankas sebuah bank di Paris pada suatu malam di tahun 1931, Papillon bukannya menyerahkan semua hasilnya untuk “ditukar” dengan honornya tapi malah menyimpan sebagian guna dijadikan hadiah untuk Nenette.
Maka, setelah berfoya-foya dan bercumbu semalaman dengan Nenette, Papillon diciduk polisi di kamar hotel. Ia dijebak dengan tuduhan membunuh Roland Le Grande, seorang mucikari yang sebelumnya ia lihat di kantor bosnya sedang menanti eksekusi oleh para anak buah bosnya.
Papillon lantas divonis penjara seumur hidup di penjara terpencil di Guyana Prancis, Camp de la Transportation. Jalinan adegan itu jadi preambul yang disajikan sutradara Michael Noer dalam film bertajuk Papillon. Noer tampak tak ingin mengisahkan masa lalu sang karakter utama.
Sang sineas langsung menghadirkan kenyataan pahit yang harus dijalani Papillon bersama sejumlah napi lain dalam sebuah kapal buruk yang membawa mereka ke Guyana. Papillon segera insyaf bahwa kehidupannya akan berjalan berbeda dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang keras. Dalam perjalanan itu, ia berkawan dengan Louis Dega (Rami Malek), napi kaya yang dipidana atas kasus penipuan.
Seiring dengan nasibnya menjadi pesakitan, Papillon merencanakan pelarian dari kamp penjara yang brutal itu. Dia tak peduli ancaman yang disampaikan kepala sipir Barrot (Yorick von Wageningen) saat menyambut para tahanan baru dari daratan Prancis itu.
Baca juga: Jalan Pintas Menuju Harta, Tahta, dan Wanita
“Saya tahu kalian berpikir untuk kabur. Silakan coba! Akan selalu ada dua penjaga. Semak-semak yang akan membuat kalian kelaparan, atau bisa pilih lautan, di mana hiu-hiu selalu lapar. Jika kalian tertangkap dalam upaya pertama, kalian akan dimasukkan ke sel isolasi dua tahun. Upaya kedua, akan dihukum seumur hidup di Île du Diable (Pulau Setan),” kata Barrot.
Upaya pelarian pertama Papillon dilakoni saat diperintah ikut membuang mayat sesama napi yang dihukum pancung akibat membunuh penjaga penjara. Sial, upaya itu gagal. Dia langsung dijebloskan ke sel isolasi selama dua tahun.
Namun, Papillon tidak kapok. Upaya kedua direncanakannya selepas pulih dari kondisi memilukan setelah dua tahun mendekam di sel isolasi. Kali ini tidak hanya bersama Dega, Papillon juga berkomplot dengan napi bekas pelaut Celier (Roland Møller) dan rekannya yang acap jadi korban pelecehan penjaga penjara, Maturette (Joel Basman).
Kuartet itu memanfaatkan momen nonton bareng film King Kong yang diputar kepala sipir untuk sejumlah pejabat pemerintahan kolonial Guyana Prancis. Memanfaatkan uang simpanan Dega, mereka membayar gerombolan kolonialis sipil demi sebuah perahu. Adegan mereka kabur dari penjara hingga benar-benar lolos amat menegangkan.
Mereka bebas! Namun adegan seru tak berhenti sampai di situ. Sebuah pertikaian bermuara pada ditikamnya Celier oleh Dega berkali-kali hingga tewas. Tantangan juga kian menghebat saat ketiga pelarian yang tersisa pontang-panting bertahan dari terpaan badai.
Adegan langsung berganti kala Papillon terbangun mendadak di sebuah gubuk. Ia dirawat oleh seorang gadis Indian, Zoraima (Poppy Mahendra). Ternyata, para pelarian itu tersapu badai sampai ke pesisir Kolombia dan diselamatkan penduduk Indian pesisir. Untuk sesaat, mereka aman.
Seorang suster kepala mengadukan keberadaan mereka ke kepolisian Kolombia. Mereka pun digeruduk. Maturette ditembak di tempat, sementara Papillon dan Dega ditahan dan dibawa kembali ke penjara Guyana Prancis.
Takdir membawa keduanya ke penjara yang lebih buruk, di Pulau Setan. Lagi-lagi, Papillon menolak pasrah. Ia bersama Dega kembali merencanakan pelarian, mengingat pulau itu justru tak dijaga sipir. Kepala sipir mempercayakan keamanan kepada kondisi “alam” pulau itu dan meyakini tak satupun napi mampu lolos.
Perkiraan itu salah. Papillon berhasil mengumpulkan batok-batok kelapa dan menyatukannya dengan jaring dan karung sehingga jadi rakit yang akan membawanya ke daratan utama. Namun saat hendak kabur, Dega menolak ikut.
Adegan dramatis penuh emosio itu membawa cerita menuju bagian akhir. Dan sutradara Noer mengemas epilog Papillon dengan adegan loncat ke masa senja Papillon di tahun 1969. Di sana, Papillon melakukan hal yang tak hanya penting buatnya tapi juga bagi sejarah. Tidak ketinggalan, Noer memberi post-credit script berisi fakta tentang penjara Guyana dan Papillon.
Pilihan Europe on Screen
Papillon yang rilis pada Agustus 2018, jadi salah satu dari 14 film komersil populer yang dihadirkan dalam Europe on Screen (EoS) 2019. Film berdurasi 133 menit ini diputar secara cuma-cuma di dua lokasi: Erasmus Huis (Kedutaan Besar Belanda) Jakarta pada 21 April 2019 dan Alliance Française Denpasar, Bali, pada 27 April 2019.
Sebagaimana diuraikan oleh Festival Co-Directors EoS Nauval Yazid, tahun ini EoS ingin menonjolkan film-film yang mengandung tema tentang “Our Land” atau tanah dalam berbagai aspek.
Baca juga: Melihat Benua Biru Lewat Europe on Screen
“Tahun ini (temanya) tentang our land, tentang tanah. Kita ingin angkat isu tanah dari sisi sejarah, turisme, hukum, tanah sebagai tempat tinggal, sampai tanah yang jadi sengketa,” kata Nauval kepada Historia.
Papillon dianggap sebagai salah satu interpretasi dari tema itu mengingat film ini merepresentasikan bagaimana suatu tanah jajahan Prancis di seberang samudera berdekade-dekade dijadikan tempat pembuangan napi.
Selain itu, Papillon merupakan remake dari film serupa dengan judul sama, Papillon, yang muncul pada 1973. Kala itu karakter utama Papillon diperankan Steve McQueen. Jalan ceritanya hampir tak beda dan dalam versi 2018 juga menghadirkan aktris berdarah Indonesia, Poppy Mahendra (memerankan gadis Indian bernama Zoraima). Di versi 1973, Zoraima si gadis Indian yang memadu kasih dengan Papillon dimainkan model majalah Playboy Ratna Assan.
Hanya saja di versi 2018, Noer tak menggambarkan bagaimana kehidupan Papillon selepas merdeka dari penjara Pulau Setan.
Kedua film itu sama-sama mengangkat kisah nyata Henri Charrier yang dituangkannya lewat memoar, Papillon, yang berarti kupu-kupu. Hewan itu menjadi julukan Charrière lantaran dijadikan tato di dadanya.
Dalam memoarnya, Papillon berkisah bahwa dia mesti melaut bermil-mil dengan rakit yang terbuat dari batok-batok kelapa sampai ke pesisir Venezuela. Ia sempat ditangkap dan ditahan selama setahun sebelum dibebaskan dan diberi kewarganegaraan Venezuela pada 1945.
Diam-diam, ia kembali ke Paris untuk meminta Laffont menerbitkan kisahnya itu. Adalah Rita, istri yang dinikahinya di Venezuela, yang menyarankan Charrier untuk menulis kisahnya selama ingatannya masih kuat. Berkat kisahnya, ia sempat jadi seleb dadakan di Venezuela.
Meski statusnya dimaafkan Kementerian Kehakiman Prancis pada 1970, Papillon memilih menetap di Venezuela. Ia mengembuskan nafas terakhirnya di Madrid, Spanyol, pada 29 Juli 1973 akibat kanker tenggorokan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar