Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan
Dari tahun ke tahun, rendahnya penyerapan anggaran negara meningkat. Anggaran proyek-proyek pembangunan yang belum terpakai itu diatur dengan sistem SIAP. Dinilai menghambat pembangunan, Radius Prawiro menghapuskannya.
KETIKA menjabat menteri keuangan, Radius Prawiro harus menghadapi masalah klasik dalam menyusun dan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi kalau bukan rendahnya penyerapan anggaran. Memang sudah ada mekanisme untuk mengatur Sisa Anggaran Pembangunan atau disingkat SIAP. Masalahnya, setiap tahun SIAP selalu meningkat.
Dalam rapat kerja dengan Komisi APBN Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 21-23 November 1983, Radius menjelaskan penyediaan dana dalam Daftar Isian Proyek (DIP) dikaitkan langsung dengan sasaran atau target yang ditetapkan dalam DIP yang bersangkutan. Namun, dapat terjadi sasaran yang ditetapkan telah tercapai dan masih menyisakan sejumlah dana.
“Sisa dana inilah yang disebut SIAP mati,” ujarnya. “Dana-dana yang berasal dari SIAP mati berupa uang yang belum dipertanggungjawabkan itu pada akhir tahun anggaran akan masuk dalam penerimaan bukan pajak.”
Selain SIAP mati, ada apa yang disebut SIAP murni atau hidup, yang masih dapat dihabiskan. Untuk Tahun 1982/1983 terdapat peningkatan SIAP murni yang, menurut Radius, disebabkan kenaikan SIAP pada proyek-proyek Inpres sebesar 28,12%.
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Di beberapa departemen, SIAP akumulatif terbilang cukup besar. Antara lain terjadi di Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hal ini umumnya terjadi karena masalah penyediaan dan pembebasan lahan yang memerlukan waktu lama.
“Peningkatan daya serap tersebut sebenarnya dapat lebih besar lagi apabila masalah tanah dapat diselesaikan lebih cepat,” ujarnya.
Dengan adanya petunjuk-petunjuk lengkap diharapkan daya serap departemen/lembaga akan meningkat. Pemerintah juga berupaya meningkatkan koordinasi antar instansi pelaksana di pusat dan daerah, kemampuan aparatur pelaksana, serta pembinaan terhadap kontraktor pelaksana.
Namun, kenyataan berkata lain. SIAP cenderung meningkat dari tahun ke tahun, yang akan mengganggu kelancaran pelaksanaan dan penyelesaian proyek-proyek pembangunan.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
SIAP dalam Sejarah
Rendahnya penyerapan anggaran bukanlah masalah baru. Ini sudah terjadi sejak awal Orde Baru. Tapi bagaimana mengatur sisa anggaran yang berlum terpakai menjadi problem tersendiri.
Di masa lalu, hal itu diatur dalam pasal 11a Indische Comptabiliteitswet (ICW) atau Undang-Undang (UU) Perbendaharaan Negara. Pasal ini, yang dimasukkan dalam ICW pada 1929, memungkinkan untuk memindahkan anggaran yang belum terpakai dari suatu tahun ke tahun berikutnya tanpa perlu pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sistem ini dikenal dengan virement stelsel.
Namun, melalui UU Darurat No. 3/54, pasal 11a ICW dihapus. UU itu juga menetapkan perubahan virement stelsel menjadi kas stelsel.
Sistem kas stelsel kemudian dipakai dalam penyusunan APBN. Pengecualian terjadi pada akhir masa pemerintahan Sukarno tahun 1960-an. Melalui UU No. 12 Tahun 1966, kendati disadari menyimpang dari sistem kas stelsel, proyek‑proyek boleh menggunakan sisa anggaran dalam tahun 1964 yang tidak habis untuk melanjutkan pekerjaan dalam tahun anggaran 1965.
Pada akhir 1960-an muncul masalah. Gandhi, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, diberitahu oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana bahwa departemen-departemen menarik uang secara besar-besaran dari Kantor Perbendaharaan Negara. Dikhawatirkan akan timbul kerugian negara apabila pekerjaan yang dimintakan untuk dibayar itu sebenarnya belum selesai.
“Dari pemeriksaan ternyata hampir 90 persen pekerjaan yang dinyatakan telah selesai dan dimintakan pembayarannya belum selesai bahkan ada yang baru dimulai,” catat Gandhi dalam Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro suntingan Moh. Arsjad Anwar dkk.
Repotnya lagi, dana itu sudah di tangan pemborong dan di luar kendali pimpinan proyek. Banyak juga uang tunai dalam jumlah besar disimpan dalam lemari biasa, bahkan di bawah meja kerja yang hanya ditutup triplek. “Uang-uang itu diharuskan disetor kembali ke Kas Negara,” catat Gandhi.
Baca juga: Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru
Menurut Gandhi, penyebab keadaan ini adalah para pimpinan proyek khawatir ”hangusnya” anggaran. Sedangkan untuk tahun berikutnya belum tentu mendapatkan anggaran lagi untuk pekerjaan serupa. Agar kejadian ini tak terulang lagi, Departemen Keuangan mulai membicarakan sistem yang dapat menghilangkan ketakutan akan ”hangus” tersebut.
Sebagian ahli mengusulkan untuk menghidupkan kembali pasal 11a ICW. Tapi akan sulit ”menggolkan” di DPR tanpa merembet ke pasal-pasal lain atau bahkan mengganti ICW yang akan memakan waktu. Selain itu, pelaksanaannya juga tidak mudah. Sebab, sebelum anggaran tahun berikutnya diajukan ke DPR, pemerintah harus menghitung besarnya jumlah yang akan di-virement dan anggaran yang sudah dilaksanakan (kebanyakan berupa taksiran).
“Karena itu dipilih virement yang dimodifikasi, yang terkenal dengan sistem SIAP (Sisa Anggaran Pembangunan),” catat Gandhi. “Sistem ini tidak perlu mengubah ICW, cukup dengan mencantumkan dalam UU APBN setiap tahun bahwa SIAP secara otomatis dipindahkan/ditambahkan pada anggaran tahun yang berikut.”
Ketentuan mengenai SIAP pun mulai diberlakukan pada tahun kedua Pelita I (1969-1974). Kemudian mulai tahun keempat Pelita I ditambahkan ketentuan mengenai SIAP mati untuk proyek yang telah selesai.
Saat itu SIAP dapat digunakan tanpa batasan waktu tahun anggaran penggunaannya. Sejak tahun keempat Pelita III (1979-1984) penggunaan SIAP dibatasi selambat-lambatnya tiga tahun anggaran berturut-turut. Ketentuan ini diubah menjadi dua tahun sejak tahun pertama sampai dengan tahun kedua Pelita IV(1984-1989).
Menurut JB Sumarlin, ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 1983-1988, SIAP berfungsi mencegah penggunaan anggaran untuk hal-hal kurang berguna yang ditujukan hanya untuk menghabiskan anggaran tahun bersangkutan.
“Jika memang masih terdapat sisa, tentunya lebih baik apabila dimanfaatkan dalam masa anggaran berikutnya,” ujarnya, dikutip Rupiah di Tengah Rentang Sejarah terbitan Kementerian Keuangan.
Duapuluh lima persen. “Itulah SIAP yang wajar,” ujar Sumarlin. Kalaupun pada awal Pelita III jumlah SIAP membesar, “Hal itu disebabkan adanya perubahan pola perencanaan pada awal Pelita III yaitu berdasarkan usul tiap-tiap departemen yang pada kenyataannya banyak yang berlebih-lebihan.”
Masalah Tanah
Namun, SIAP masih menghantui Kementerian Keuangan di bawah Radius Prawiro. Kendati beragam cara dilakukan, jumlah SIAP meningkat. Untuk anggaran 1984/1985 saja, SIAP mencapai Rp2,7 trilyun.
Radius menyebut SIAP terjadi antara lain karena lambannya pelaksanaan proyek. Akibat susulannya terjadi kelesuan pasaran bahan bangunan produksi dalam negeri seperti semen, eternit, dan besi beton.
“Jika penggunaan anggaran pembangunan dapat dipercepat maka akan banyak barang-barang hasil produksi dalam negeri yang dapat dipasarkan, labih-lebih setiap proyek pembangunan harus menggunakan hasil produksi dalam negeri,” kata Radius dikutip majalah Pemeriksa, September 1984.
Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan Radius dan berbagai pihak termasuk dari Bank Dunia, daya serap dari berbagai proyek pembangunan di Indonesia dipengaruhi oleh masalah tanah dan pelaksanaan operasional seperti proses penyelenggaraan pelelangan, administrasi, dan sebagainya.
“Kesulitan tanah tersebut mungkin dapat diatasi lebih cepat apabila pendekatan dan koordinasi antara pengelola proyek dengan pemerintah daerah dapat disempurnakan,” kata Radius.
Untuk mengatasi masalah tanah untuk proyek pembangunan, pemerintah kemudian membentuk “Panitia Sembilan” yang bertugas menyediakan tanah untuk kepentingan proyek melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985. Namun SIAP masih tetap ada.
Baca juga: Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak
Pada 1985, Radius menghadapi tahun-tahun sulit. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, peningkatan APBN 1985/1986 sangatlah kecil. Ini kali pertama terjadi sejak Pelita I. Penyebab utamanya adalah harga minyak di pasaran dunia merosot. Padahal penerimaan negara dari minyak bumi masih merupakan yang terbesar.
Di depan Sidang Pleno DPR tanggal 28 Januari 1985, Radius menyikapi kecilnya anggaran pembangunan tersebut dengan “mempertajam prioritas”. Pemerintah juga selalu berupaya agar kegiatan pembangunan dapat berjalan sesuai rencana. Dengan demikian pada akhir tahun anggaran tidak terjadi SIAP yang terlampau besar.
Beberapa langkah yang diambil antara lain mengadakan penataran/bimbingan teknis untuk para pemimpin proyek, bendahara proyek, dan para pelaksana pembiayaan; melimpahkan wewenang kepada daerah untuk merevisi Daftar Isian Proyek (DIP) dengan pagu Rp 100 juta ke bawah, serta meningkatkan koordinasi dan monitoring.
Menurut Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, dikutip Parlementaria 16 Maret 1986, soal tanah bukan lagi satu-satunya penyebab SIAP. Ada permasalahan yang lebih mendasar dan fundamental. Antara lain kurang memadainya manajemen aparat pemerintah, koordinasi antara instansi dan pengawasannya, hingga birokrasi pemerintah. Misal, penanganan tender dan penyediaan barang harus disetujui oleh Tim Kepres 10 –yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 10 Tahun 1980 tentang Tim Pengendali Pengadaan Barang dan Peralatan Pemerintah– yang berbelit-belit.
Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia
SIAP Hapus
Dampak turunnya harga minyak masih dirasakan dalam penyusun APBN 1986/1987. Hal ini mendorong pemerintah bersikap realistis.
Dalam pembahasan di DPR pada 27 Februari 1986, Radius Prawiro menyebut dengan terbatasnya penerimaan negara, diperlukan pengendalian dalam pengeluaran rutin serta pemilihan dan penajaman prioritas pembangunan. Dengan demikian penggunaan dana yang terbatas itu menjadi lebih efektif.
Penerimaan negara yang cenderung menurun dan jumlah SIAP yang membengkak dari tahun ke tahun mendorong pemerintah untuk melakukan pembaruan dalam penyusunan anggaran. Jalan yang dipilih adalah penghapusan sistem SIAP, yang sudah diberlakukan selama 15 tahun (1970-1985).
Radius menilai SIAP menghambat pelaksanaan proyek-proyek pembangunan. Maka, Radius menyampaikan soal rencana penghapusan sistem SIAP, yang termuat dalam Pasal 4 RUU APBN 1986/1987.
Baca juga: Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional
Penghapusan SIAP diharapkan membantu langkah-langkah penghematan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran yang terbatas, serta mempertajam prioritas dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.
DPR menyambut baik rencana tersebut. Fraksi-fraksi di DPR berharap pemerintah melakukan persiapan yang matang. Penghapusan SIAP juga menuntut pemerintah untuk bekerja lebih keras lagi serta dibarengi dengan peningkatan dan penyempurnaan pengawasan.
Pembahasan RUU berjalan lancar. Pada 7 Maret 1986, Presiden Soeharto mensahkan UU No. 1 Tahun 1986 tentang APBN 1986/1987, yang kemudian mendapat tambahan dan perubahan dalam UU No 3 Tahun 1986.
Maka, dalam tahun anggaran 1986/87, SIAP tidak ada lagi. Anggaran yang tak terpakai dinyatakan hapus (hilang) dan harus diajukan anggaran yang baru.
Baca juga: Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus
Menurut Mustopadidjaja AR dalam “ZBB, Teori dan Implikasi Praktis” dalam jurnal EKI Vol. XXXI V No. 1, 1986, sistem Zero Base Budgeting (ZBB) adalah alternatif yang dipilih untuk pembaruan dalam proses penyusunan anggaran. Salah satu ciri pokok dari ZBB adalah bahwa anggaran dari suatu departemen/lembaga pemerintah non-departemen mulai dengan nol rupiah. Artinya, “tiadanya rupiah” dari tahun-tahun anggaran terdahulu yang boleh dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pada tahun yang berjalan.
“Dengan demikian SIAP dari tahun anggaran terdahulu tidak dihitung atau seluruhnya ‘mati’ mulai tahun anggaran yang berjalan. Ini memang cara yang paling efektif untuk menghilangkan SIAP.”
Namun, tambah Mustopadidjaja, penerapan ZBB hanya akan efektif apabila berbagai kelemahan kelembagaan lebih dikenali dan diatasi. “Kalau tidak, ia pun akan membawa ‘cela’ atau ‘menderita’ seperti sistem-sistem lain.”
Setelah SIAP dihapuskan, pemerintah membentuk Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri (TP4DLN) untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dengan bantuan luar negeri. Upaya penyempurnaan organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan juga terus dilanjutkan.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar