Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional
Radius Prawiro berperan dalam penyelesaian utang luar negeri sekaligus memperoleh pinjaman baru untuk pembangunan.
SUATU hari Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin) Radius Prawiro terlibat dalam jamuan makan malam bersama Ketua Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) sekaligus Menteri Kerjasama dan Pembangunan Belanda Jan Pieter Pronk, Kwik Kian Gie, dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Sabam Siagian.
Sambil makan, Sabam bercerita tentang kekejaman operasi militer di Timor Timur dalam apa yang dikenal dengan Pembantaian Santa Cruz. Para demonstran pro-kemerdekaan ditembaki di dekat Kompleks Permakaman Santa Cruz, Dili, Timor Timur pada 12 November 1991.
Pronk yang juga politisi Partai Buruh di Belanda menyimak cerita tersebut dengan takzim. “Sepulang dari Indonesia, Pronk yang ex officio ketua IGGI menulis surat kepada pemerintah Indonesia, bahwa semua bantuan dan pinjaman ditangguhkan sampai dirinya diizinkan dan selesai melakukan inspeksi di Timor Timur,” tulis Kwik Kian Gie dalam memoarnya Menelusuri Zaman.
Ancaman itu membuat Presiden Soeharto murka. Dia memerintahkan Radius untuk membubarkan IGGI, konsorsium bantuan internasional untuk Indonesia.
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Radius panik. Pembubaran IGGI bisa mengacaukan keuangan negara. Dia membujuk Soeharto agar mempertahankan IGGI tapi mencopot Belanda sebagai ketua. Soeharto bergeming. Akhirnya diputuskan tetap membubarkan IGGI dan menggantikannya dengan sebuah konsorsium baru dengan Bank Dunia sebagai ketua.
Radius kemudian mengirim surat resmi bertanggal 24 Maret 1992 kepada Perdana Menteri Belanda Ruud Lubbers.
Dalam suratnya, Radius menyebut memburuknya hubungan kedua negara karena penggunaan bantuan pembangunan sebagai instrumen intimidasi atau alat untuk mengancam Indonesia. Diingatkan pula bahwa hubungan itu terjalin di atas tumpukan abu sejarah yang menyakitkan dari penjajahan kolonial dan kekejaman selama perang kemerdekaan Indonesia.
Maka, tulis Radius, “satu-satunya pilihan yang tersisa untuk mencegah terkikisnya hubungan antara Indonesia dan Belanda adalah dengan menghentikan sepenuhnya semua bantuan pembangunan dari Belanda kepada Indonesia.”
Peran IGGI, yang selama 25 tahun membantu Indonesia, pun berakhir.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Penjadwalan Utang
Radius Prawiro adalah orang penting di balik terbentuknya IGGI di awal-awal Orde Baru. Baik dalam kapasitas sebagai gubernur Bank Indonesia maupun anggota Tim Ahli Ekonomi Presiden yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro.
Ketika menjabat Ketua Presiden Kabinet Ampera, Jenderal Soeharto mewarisi keterpurukan ekonomi dan utang luar negeri yang jatuh tempo sebesar US$2,2 miliar. Dia menugaskan Menteri Utama bidang Ekonomi dan Keuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk melakukan lobi-lobi internasional.
Sebagai orang kepercayaan Sultan, Radius melawat ke Tokyo dengan tujuan meletakkan kerangka dasar untuk pertemuan para kreditor. “Dengan dukungan Presidium, saya bertemu Menteri Keuangan Jepang Takeo Fukuda,” ujar Radius.
Atas inisiatif Jepang, pertemuan dengan para kreditor dihelat di Tokyo pada 19-20 September 1966. Turut hadir pula tim dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Forum ini kemudian dikenal dengan Tokyo Club.
Hasil pertemuan amat positif. Kendati tanpa komitmen, Jepang dan kreaditor-kreditor Barat mendukung saran IMF bahwa penundaan pembayaran utang Indonesia disatukan dalam paket pinjaman baru. Namun, nereka ingin informasi lebih lanjut mengenai rencana stabilisasi.
Tiga bulan kemudian, pertemuan lanjutan diadakan di Paris, sehingga dikenal dengan Paris Club. Setelah berdiskusi panjang lebar, forum menyetujui penjadwalan ulang pembayaran utang Indonesia yang jatuh tempo. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI, dengan Belanda sebagai ketuanya, untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.
IGGI mengadakan pertemuan pertamanya di Amsterdam pada 20 Februari 1967. Hasil pertemuan: Indonesia mendapatkan pinjaman baru senilai 200 juta dolar. Pinjaman tersebut masuk kategori pinjaman lunak (soft loan) dengan bunga 3 persen dan rentang waktu pengembalian 25 tahun plus masa tenggang tujuh tahun. Selain pinjaman, ada pula hibah.
“IGGI dengan cepat menonjol menjadi forum akbar untuk menangani masalah utang Indonesia yang kompleks,” catat Radius.
IGGI selanjutnya menjadi penopang pembangunan Indonesia. Dari 1967 hingga 1974, IGGI mengadakan dua kali pertemuan setiap tahunnya. Seteah itu pertemuan hanya diadakan sekali dalam setahun karena perkembangan ekonomi Indonesia yang membaik.
Baca juga: Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru
Radius sendiri kemudian memegang jabatan prestisius di lembaga-lembaga keuangan internasional. Dia tercatat sebagai gubernur IMF dan merangkap wakil gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk Indonesia dari 1967 hingga 1971. Dia juga menduduki ketua Dewan Gubernur Bank Dunia (IBRD) selama 1971-1973.
Selain IGGI, Indonesia mencari sumber dana pinjaman dari negara-negara atau lembaga keuangan iternasional maupun regional yang bukan anggota IGGI seperti Timur Tengah. Sama seperti prosedur IGGI, pinjaman dari pemerintah suatu negara disalurkan melalui badan atau lembaga keuangan yang dibentuk untuk itu. Misalnya, Jepang melalui Overseas Economic Cooperation Fund (OECF).
Pada Maret 1973, Radius memimpin delegasi untuk bernegosiasi dengan OECF. Kerja keras itu tak sia-sia. Jepang bersedia memberikan 62 miliar Yen di luar kerangka bantuan IGGI.
Sebagian besar utang luar negeri Indonesia digunakan untuk program dan proyek pembangunan. Dan IGGI merupakan sumber terbesar untuk Indonesia. Menurut Radius, “IGGI merupakan contoh dari forum yang efektif untuk pengelolaan utang dan bantuan luar negeri yang sangat berjasa bagi pembangunan ekonomi,” catat Radius.
Peran IGGI berakhir akibat campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Baca juga: Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak
Pengganti yang Sepadan
Sebelum pembubaran IGGI, pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan penggantinya. Pada Januari dan Februari 1992, Menteri Luar Negeri Ali Alatas melakukan kunjungan ke Jepang dan kantor Bank Dunia untuk meminta kesediaan mereka melanjutkan keanggotaan dalam konsorsium donor yang baru.
Menko Ekuin Radius Prawiro memasang sekitar seratus mesin faks di departemennya dan mengirim pemberitahuan ke semua kedutaan besar Indonesia di dunia bahwa mereka akan menerima faks berisi surat penjelasan mengenai keputusan pemerintah pada 25 Maret 1992. Para duta besar harus segera membuat janji temu dengan menteri luar negeri di negara mereka bertugas. Diharapkan dunia internasional memahami dan tetap mempertahankan dukungan kepada Indonesia.
Menurut Radius, perangkat informasi dipersiapkan dengan baik agar keputusan Indonesia tak bocor terlebih dulu. Hal ini disampaikannya dalam wawancara dengan M.L. Vos untuk tesisnya di Universitas Amsterdam tahun 2011 berjudul “International cooperation between politics and practice: how Dutch Indonesian cooperation changed remarkably little after a diplomatic rupture.”
Pada waktu yang sudah ditentukan, faks-faks pun dikirim. Di Belanda, Duta Besar Indonesia untuk Belanda Bintoro Tjokroamidjojo segera menyerahkan surat dari Radius tertanggal 24 Maret 1992 kepada Perdana Menteri Belanda Ruud Lubbers.
Ketika ditanya wartawan kenapa isi suratnya begitu keras, Radius menjawab sambil berkelakar: “Ini kan bukan surat cinta.”
Pada saat bersamaan, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mengirim surat kepada Presiden Direktur Bank Dunia Lewis Preston. Isi surat tertanggal 24 Maret 1992 meminta Bank Dunia membentuk suatu forum khusus pengganti IGGI. Diharapkan pula Bank Dunia menggelar pertemuan guna pembentukan forum tersebut dalam tahun ini juga. “Kami telah memberitahu semua pemerintah dan organisasi internasional lainnya guna membantu Indonesia dalam hal ini,” demikian bunyi surat itu.
Dalam jawabannya pada 8 April 1992, Bank Dunia menerima permohonan pemerintah Indonesia. Terbentuknya Consultative Group on Indonesia (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia.
CGI melakukan sidang pertamanya di Paris pada 16-17 Juli 1992. Radius memimpin delegasi Indonesia. Pertemuan yang dihadiri 19 negara serta 13 lembaga keuangan dan pembangunan multilateral internasional itu menyepakati pinjaman baru untuk Indonesia sebesar US$4,9 miliar.
Selama di Paris, Radius mengadakan rapat tertutup dengan Perdana Menteri Belanda Ruud Lubbers di Hotel De Lafayette, tempat menginap delegasi Indonesia. Penjelasan Radius diterima dengan baik oleh Lubbers. Bahkan mereka keluar dari ruang rapat dan menemui wartawan dengan tertawa terbahak-bahak.
“Kita teman lama sejak kuliah di Rotterdam,” ujar Lubbers.
Sejak 1992, CGI bersidang dua kali dalam setahun. Dalam setiap pertemuan dibahas seberapa besar komitmen dukungan pendanaan (pledge) kepada Indonesia. Persyaratan pinjaman CGI tak jauh beda dari IGGI, baik mengenai tingkat bunga, masa pinjaman, masa tenggang waktu, atau persyaratan lainnya.
“CGI tetap mempertahankan spirit IGGI dan melakukan tugasnya sebagai partner Indonesia yang bernilai tinggi dalam mendukung pembangunan Indonesia,” ujar Radius.
Pada 2004, kepemimpinan CGI berpindah ke pemerintah Indonesia. CGI dibubarkan pada 24 Januari 2007 dengan kesadaran bahwa Indonesia harus melepaskan diri dari jebakan utang luar negeri.
Utang Swasta
Radius mengakhiri kariernya dengan posisi terakhir sebagai Menko Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan Indonesia. Namun, dia tak bisa benar-benar menikmati masa pensiunnya. Pengalamannya melobi dunia internasional dalam IGGI dan CGI maupun penyelesaian utang luar negeri Pertamina amat dibutuhkan.
Ketika kekuasaan Soeharto berada di ujung tanduk karena krisis moneter, Radius, yang mewakili swasta, ditunjuk sebagai anggota Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPEK) pada 1998. Tugasnya melakukan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan. Dalam pelaksanaannya, DPEK dibantu oleh pejabat tinggi IMF sebagai penasihat.
Selain itu, Radius ditunjuk sebagai ketua Tim Penanggulangan Utang Luar Negeri Swasta (PULNS). Dia dibantu oleh Anthony Salim, Rahmat Gobel, dan Thee Nin King, tiga pengusaha swasta terkemuka.
Saat itu utang swasta memiliki porsi yang lebih besar daripada utang pemerintah. Menurut Radius, total utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar US$137,424 miliar, yang terdiri atas utang pemerintah US$63,462 miliar dan utang swasta US$73,962 miliar.
Baca juga: Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus
Radius melakukan pemisahan utang swasta ke dalam utang swasta murni (nasional) dan utang swasta asing (perusahaan joint venture dan perusahaan asing di Indonesia). Utang swasta nasional sekitar US$23,069 miliar atau sekitar sepertiga dari total utang swasta. Jumlah utang luar negeri swasta yang telah jatuh tempo pada akhir 1998 diperkirakan mencapai US$34 miliar.
Untuk itulah Radius membentuk satuan tugas negosiator utang.
Pada 14-17 April 1998, Radius memimpin delegasi Indonesia dalam pertemuan di New York. Pertemuan tersebut membahas prinsip-prinsip dasar yang melandasi kerangka dasar penyelesaian utang luar negeri swasta Indonesia, tunggakan utang perdagangan dan utang perbankan Indonesia dengan perbankan luar negeri, serta masalah ekonomi Indonesia pada umumnya. Pertemuan antara lain menghasilkan kesepakatan membentuk kerangka kerja yang didasarkan pada Ficorca Meksiko tahun 1983.
Sebagai tindak lanjut, Radius menghadiri pertemuan di Tokyo pada 8-10 Mei 1998. Pertemuan menyepakati masalah utang sektor perbankan dan pendanaan perdagangan. Sementara masalah utang luar negeri swasta dibawa pada pertemuan di Frankfurt pada 1-4 Juni 1998. Pemerintah Indonesia bersama 13 bankir asing menyepakati penjadwalan ulang utang luar negeri swasta Indonesia selama delapan tahun/grace period 3 tahun.
Sekali lagi, Radius membuktikan kepiawaiannya bernegosiasi, sehingga utang luar negeri swasta bisa ditanggulangi dan ditangguhkan pembayarannya.
Namun, belum tuntas tugas Radius, Soeharto keburu lengser. Tim tersebut dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 26 Februari 2000.
Radius pun menghabiskan hari-hari tuanya dengan mengabdikan diri kepada gereja dan membantu generasi muda.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar