Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Di masa perang, jiwa mudanya bergelora. Radius Prawiro ikut beragam organisasi pemuda dan pelajar. Mencari dana perjuangan. Bahkan ikut memanggul senjata demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
RADIUS Prawiro mengalami masa-masa sulit di zaman Jepang. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, hidup belum sepenuhnya normal. Belanda ingin menguasai kembali bekas koloninya. Para pemuda bergerak. Perang berkecamuk. Radius, yang duduk di bangku SMA, pun terdorong untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu ada seruan kepada seluruh pemuda yang belum maupun sudah pernah memperoleh latihan militer untuk mendaftarkan diri sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Radius pun bergabung dengan TKR dan ditempatkan di bagian sandi. Di sana, dia belajar mengenai sandi dan melayani pengiriman berita-berita ke berbagai front dari markas besar di Yogyakarta.
Selang beberapa saat, Radius dikirim ke Solo untuk mengikuti pelatihan menjadi markonis. Sayangnya, dia hanya bertahan beberapa bulan karena membela kawannya.
Ceirtanya, kawannya dihukum oleh guru karena melanggar peraturan. Radius memahami siswa yang melanggar harus dihukum, namun dia mempersoalkan hukuman yang diberikan hingga memicu perdebatan sengit. Dia disuruh “keluar”. Tak terima begitu saja, Radius menghadap direkturnya, Mayor Sarwono, untuk menyatakan keluar dari pelatihan.
“Keluar dari mana? Bukankah kamu hanya disuruh keluar kelas?” Mayor Sarwono keheranan.
“Tidak! Pokoknya saya disuruh keluar!”
Pernyataan itu sesungguhnya tak dikehendaki oleh Mayor Sarwono. Pasalnya, Radius dikenal pandai. Namun, kerasnya keinginan Radius membuat Mayor Sarwono melepaskan anak didiknya.
Selama di Solo, Radius juga menggerakkan dan memimpin Pergerakan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI) cabang. Di PPKI sendiri, dia cukup disegani karena pernah membentuk perkumpulan Pelajar Kristen Mataram (Pelkrima) dan bahkan jadi ketuanya. Menurut Soetjipto Wirowidjojo, salah seorang pendiri PPKI nasional, Radius bisa dimanfaatkan keterampilannya dalam mempromosikan organisasi pemuda Kristen, khususnya di bidang sandiwara.
“Di bidang-bidang lain, saya kurang mencermatinya lanjut,” tutur Natanael Daldjoeni, salah satu kawannya dalam Radius Prawiro: Kiprah, Peran, dan Pemikiran.
Setelah keluar dari pelatihan markonis, Radius kembali ke Yogyakarta. Dia tetap aktif di PPKI sembari melanjutkan pendidikan SMA yang sempat terhenti. Namun, niat menyelesaikan sekolah ternyata belum kesampaian. Menyusul agresi militer Belanda, sekolah-sekolah terpaksa diliburkan.
Radius memutuskan bergabung dengan Tentara Pelajar di bawah pimpinan Martono, yang kelak menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. Dia bergerilya di Yogyakarta sebelah utara, daerah Kentungan, Nganglik, hingga daerah Pakem, Kaliurang.
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Diuber Belanda
Mula-mula Radius bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), yang lahir hanya beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan. Memenuhi tuntutan anggotanya agar IPI punya pasukan tempur, dibentuklah apa yang disebut IPI Bagian Pertahanan –kelak, berubah jadi Markas Pertahanan Pelajar. Inilah awal-mula Tentara Pelajar.
Menurut Soebagijo IN dalam Perjuangan Pelajar IPI-IPPI, yang dikerjakan IPI Yogya tidak berbeda dari IPI daerah lain, yaitu mengadakan penerangan di sekeliling karesidenan, bahkan sampai ke Magelang, Salatiga, Solo, dan Boyolali. Lazimnya rombongan IPI Yogya membawa slides dalam bentuk poster-poster. Kadang mengumpulkan dana dengan cara memborong beberapa film di gedung bioskup. Setelah agresi militer Belanda I, IPI Bagian Pertahanan mulai aktif dan mempunyai markas sendiri dengan segala kegiatan terkait pertempuran. Segala tenaga pelajar dikerahkan, kendati waktu itu belum dinamakan mobilisasi pelajar.
IPI Yogya dibagi dalam dua Commissariaat besar, yakni Dalam Kota dan Luar Kota. Commissariaat Dalam Kota (CKD) dipimpin oleh Bachtiar Yahya, sedangkan Commissariaat Luar Kota (CLK) dipimpin oleh Radius Prawiro. Masing-masing mempunyai staf di kapanewon atau kecamatan sampai di pelosok-pelosok. Kegiatannya terutama di bidang sosial dan penerangan.
IPI kemudian menjadi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sebuah organisasi perjuangan tanpa warna politik apapun. Strukturnya sedikit berubah. Iljas Fathoni menjadi ketua CLK. Sedangkan Radius menduduki posisi ketua CKD.
Ketika Yogyakarta diduduki Belanda, Radius memobilisasi pelajar. Dia juga pernah melakukan aksi heroik. Dicatat Soebagijo Ilham Notodidjojo, Radius meledakkan pabrik cerutu Negresco (Taru Martini) di Baciro sehingga diburu oleh Belanda. Untuk itu, perubahan dilakukan terhadap struktur IPPI. Radius diperintahkan ke luar kota dan menjabat ketua CLK IPPI; tukar tempat dengan Iljas Fathoni.
Di masa-masa inilah Radius mendapat nama baru: Prawiro. Nama ini selalu dipakainya ketika bergerilya di luar kota maupun mengadakan hubungan dengan kawan-kawan di dalam kota yang bertugas mencari logistik dan obat-obatan. Nama Prawiro cukup membingungkan pihak Belanda, yang terus memburunya.
Sejak itu, nama Prawiro melekat pada dirinya. Nama Radius Prawiro kemudian tetap digunakan hingga akhir hayatnya.
Di CLK, Radius menunjukkan keterampilannya di bidang keuangan. Alasannya, tutur Natanael, uang yang tersedia serba pas-pasan sehingga Radius dan stafnya mencari akal dan memutar modal demi kelestarian perjuangan para pelajar yang dikerahkannya. Atas inisiatifnya, CLK membeli beberapa drum minyak tanah.
Namun, tak selalu usahanya berhasil. Hujan deras membuat drum-drum minyak tanah yang dideretkan di pinggir gedung SD kemasukan air. Pedagang Tionghoa yang semula bersedia membeli mengurungkan rencananya.
“Radius merasa terpukul oleh kerugian besar tadi,” ujar Natanael.
Saat menghadapi agresi militer Belanda II, kesatuan pelajar pejuang bersenjata dimasukkan ke kesatuan otonom dalam jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI), yakni Brigade 17 TNI. Brigade 17 TNI selanjutnya dibagi menjadi lima detasemen, yakni Detasemen I (TRIP) di Jawa Timur, Detasemen II (TP) di Solo, Detasemen III (TP) di Yogya, Detasemen IV di Jawa Barat, dan Detasemen V/Detasemen Khusus (TGP).
Radius menjabat ketua Seksi Kesejahteraan Seksi II Detasemen III Brigade 17. Suatu kali, kawan-kawannya butuh dana perjuangan. Selama berhari-hari Radius menghilang. Lalu tiba-tiba dia muncul dengan membawa uang yang dibutuhkan.
“Ia ternyata berhasil mencari bantuan uang untuk keperluan perjuangan teman-temannya pada Sri Sultan yang menaruh kepercayaan pada kejujuran pemuda Radius,” ujar Natanael.
Saat itu Radius menjadi staf Bagian Penerangan Gubernur Militer Yogyakarta yang dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Hubungan dengan Sri Sultan berlanjut setelah masa perang.
Ikatan Dinas
Setelah penyerahan kedaulatan, Radius melanjutkan pendidikan SMA. Setelah lulus, dia kuliah di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain menuntut ilmu, Radius menyibukkan diri dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Yogyakarta.
Menjelang akhir 1950, Radius ditunjuk sebagai ketua GMKI cabang Yogyakarta. Ada beberapa pertimbangan atas penunjukannya. Selain perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, saat itu Radius punya gaji sebagai tentara berpangkat letnan. Karena itulah, menurut rekan-rekannya, Radius lebih siap untuk memimpin organisasi.
Tugas utama Radius adalah mempersiapkan dan memastikan cabang untuk menghadiri kongres GMKI di Sukabumi pada Desember 1950. Ada kisah menarik ketika Radius dan rombongan hendak pergi ke Sukabumi. Radius membuat surat jalan untuk diri dan seluruh rombongan. Surat distempel oleh detasemennya. Selain berlaku sebagai surat jalan, catat Bambang Subandrijo dalam Pernak-pernik Perjalanan Sejarah Radius Prawiro, surat itu dimanfaatkan sebagai tiket gratis untuk naik kereta untuk menghadiri kongres di Sukabumi.
Radius tak lama berkiprah di GMKI. Karena pusat perjuangan kembali ke ibukota Jakarta, dia memutuskan pindah. Selain karena keluarganya lebih dulu pindah ke Jakarta, dia yakin dirinya bisa lebih berkembang di sana. Keputusan itu berdampak pada studinya. Dia menghentikan pendidikannya di Fakultas Teknik UGM dan pindah ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Saat itu pemerintah memberikan ikatan dinas kepada mahasiwa sesuai kebutuhan tenaga ahli di kementerian-kementerian. Radius memperoleh ikatan dinas dari Kementerian Keuangan dan terdaftar sebagai karyawan di sana.
Sebagai kuliah, Radius bergaul lebih intensif dengan para senior GMKI dan PPKI serta banyak tokoh dari beragam organisasi. PPKI sendiri kemudian fusi dengan Majelis Pemuda Kristen Oikumene (MPKO) menjadi Lembaga Pemuda Kristen Indonesia (LPKI) pada 1952 di mana Radius tercantum sebagai pengurus. Kesibukannya berorganisasi sempat membuat gerah ayahnya yang khawatir pendidikannya akan terganggu.
“Bapak, akan saya tunjukkan bahwa semua aktivitas yang saya lakukan itu kelak akan ada gunanya,” ujar Radius kepada ayahnya, yang setelah pengakuan kedaulatan keluar dari dinas militer dan bekerja di Biro Hukum Departemen Pertahanan,
Radius tak main-main dengan ucapannya. Terbukti, dia lolos seleksi untuk kuliah ekonomi di Negeri Belanda.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar