Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru
Menimba ilmu ekonomi di Rotterdam dan Jakarta. Bergiat dalam organisasi profesi dan kekaryaan. Jalan Radius Prawiro untuk berkiprah dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan pun terbuka lebar.
SEJAK semula Radius Prawiro memiliki cita-cita menjadi seorang ekonom. Pengalaman bekerja di perusahaan susu kakeknya hingga berdagang kecil-kecilan menumbuhkan hasratnya untuk belajar ekonomi secara formal. Karena itu, ketika tawaran untuk belajar ekonomi di Negeri Belanda dari pemerintah, Radius tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia mendaftar dan mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Setelah melalui tahapan seleksi, Radius akhirnya diterima sebagai mahasiswa Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam yang kemudian berkembang menjadi Erasmus Universiteit. Bidang studi yang dipilihnya adalah ekonomi perusahaan. Maka, Radius meninggalkan dinas kemiliteran dan pada Agustus 1953 berangkat ke Belanda dengan menumpang kapal Willem Ruys.
Radius bukan orang Indonesia pertama yang kuliah di sana. Ada nama-nama besar ekonom Indonesia yang pernah kuliah di sana seperti Mohammad Hatta dan Sumitro Djojohadikusumo. Di masanya, beberapa mahasiswa Indonesia di Rotterdam yang kemudian menjadi orang penting antara lain Arifin Siregar, Hendro Budianto, dan kemudian Kwik Kian Gie.
“Dia kepala ‘geng’ Rotterdamer,” ujar Utomo Josodirdjo, salah satu akuntan terkemuka Indonesia, dalam memoirnya A Journey Throught Time.
Sumitro, Radius, dan Arifin kemudian sering disebut-sebut sebagai “Mafia Rotterdam”, julukan untuk ekonom-ekonom lulusan Rotterdam yang terlibat dalam mendesain ekonomi Orde Baru.
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Pujaan Hati
Di Rotterdam, Radius serius belajar. Tak mau tergoda oleh hal-hal baru dan pergaulan bebas di sana. Citra inilah yang dilihat oleh Ds. W. Fijn van Draat selaku pendeta bagi para mahasiswa Indonesia di Eropa dalam buku Radius Prawiro: Kiprah, Peran dan Pemikiran.
“Dengan semangat dan tekad membaja, dia menceburkan dirinya dalam kancah studi ekonomi, terdorong oleh cita-cita bahwa apa yang diperlukan Indonesia untuk mengejewantahkan kemakmurannya bersendi pada ekonomi yang sehat,” catat van Draat.
Seperti kebanyakan mahasiswa, Radius menggunakan sebagian waktunya untuk berdiskusi bersama kawan-kawan sesama orang Indonesia. Perbaikan ekonomi Indonesia adalah salah satu topiknya. Era 1950-an, perekonomian Indonesia masih memprihatinkan. Di antaranya karena kondisi politik yang belum stabil.
Radius juga aktif dalam kegiatan organisasi. Tak lama setelah kedatangannya di Belanda, dia bergabung ke dalam Societas Studiosorum Reformatorum (SSR, Perhimpunan Mahasiswa Gereformeerd). Selain itu melibatkan diri dalam Perserikatan Kristen Indonesia (Perki) cabang Rotterdam dan bahkan pernah menjadi ketua.
Perki didirikan oleh para pemuda-mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1930 dengan nama Indonesische Christen Jongen Vereniging. Perki bukan hanya menjadi wadah bagi Radius untuk bertukar pikiran mengenai berbagai persoalan Indonesia maupun internasional. Di organisasi itu pula dia bertemu dengan Leonie Supit, pelajar berdarah Minahasa yang sedang studi bahasa di Belanda. Radius menikahi pujaan hatinya itu di Den Haag pada 5 Juli 1958.
Tak hanya Perki, Radius juga aktif dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Bahkan selama 1956 hingga 1957, dia menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat PPI.
PPI terbentuk berdasarkan rapat pendirian di Amsterdam pada 19 April 1952. Seiring pembentukan PPI Pusat yang berkedudukan di Delft, dibentuk pula PPI cabang Amsterdam, Leiden, Delft, dan Utrecht. Sekitar tiga bulan kemudian terbentuk PPI cabang Rotterdam.
Selain itu Radius menggunakan waktu luangnya untuk mengajar ilmu pasti di sekolah untuk anak-anak Indonesia di Den Haag dan sekolah minggu di Gereja Gereformeerd.
Pada akhir studi, Radius menyusun skripsi tentang industri dan perusahaan menengah dengan judul “Subcontracting and Multisources Principles”. Pembimbingnya adalah Prof. Brands untuk ekonomi perusahaan dan Prof. Wisselink untuk ekonomi perindustrian. Dalam skripsi tersebut, Radius menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional di masa itu biasanya membangun industri berdasarkan “multisources principles’’.
Pada Januari 1960, Radius menghadapi ujian skripsi. Dia dinyatakan lulus sarjana ekonomi perusahaan dan menyandang gelar Doctorandus (Drs).
Semangat belajar sembari memperoleh uang tambahan mendorong Radius untuk magang di Zendingscentrum (Pusat Zending) di Kota Baarn selama empat bulan. Sejak Februari hingga Mei 1960, dia mendapat pelatihan keterampilan di bidang percetakan dan penerbitan Kristen.
Setelah kegiatan magangnya selesai, pada Juni 1960, Radius dan Leonie pulang ke tanah air.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Belajar Akuntansi
Sekembalinya dari Belanda, Radius menemukan Indonesia seolah tak memerlukan sarjana ekonomi perusahaan. Banyak perusahaan Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Sementara perusahaan-perusahaan milik Belanda dinasionalisasi terkait sentimen perebutan Irian Barat (Papua).
“Komunis waktu itu menganggap ekonom tidak diperlukan,” kata Radius, dikutip Bank Indonesia alam Kilasan Sejarah Bangsa karya Dawam Rahardjo.
Atas dasar itulah, selain alasan lainnya, Radius terdorong untuk bersekolah lagi dan masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Dalam waktu dua tahun studinya selesai dan lulus sebagai sarjana akuntansi.
Radius kemudian bekerja di Kementerian Keuangan dan ditempatkan di Direktorat Akuntan Negara.
“Sejak dari Rotterdam, Pak Radius bilang dia mau kerja untuk pemerintah, mau membantu negara dengan jalur itu. Dia tidak pernah menjadi businessman,” ujar Utomo Josodirdjo. Menurutnya, dari 60 lulusan Rotterdam, hanya lima atau enam alumni yang kemudian berkecimpung di sektor swasta. Sebagian besar berkarier sebagai pegawai negeri.
Karier Radius meningkat dengan pengangkatannya sebagai kepala Kantor Akuntan Negara Direktorat Akuntan Negara pada Departemen Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan.
Sebagai akuntan, Radius bergabung dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), organisasi profesi yang didirikan tahun 1957. Bahkan, sejak 1963, dia terpilih sebagai ketua IAI; menggantikan Soemarjo Tirtosidojo yang merupakan salah seorang perintis IAI.
Menjadi pegawai negeri tak membuatnya abai untuk mengikuti perkembangan politik. Untuk memperoleh gambaran mengenai situasi nasional, Radius kerap berdiskusi dengan Johannes Leimena atau biasa dipanggil Om Jo, pemuka Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang menjabat Wakil Perdana Menteri. Kepada Leimena, Radius berpendapat, untuk memperbaiki keadaan negara, pembangunan ekonomi tidak mungkin dikesampingkan.
“Dalam kesatuan politik, masalah ekonomi harus mendapatkan perhatian utama,” katanya.
Kala itu jargon yang dominan adalah politik sebagai panglima. Radius khawatir dan melihat potensi bahaya dari perkembangan gerakan komunis yang mendapat dukungan kuat dari Uni Soviet dan Tiongkok. Menurut pandangannya, demokrasi tersendat-sendat karena pengaruh komunis.
“Gagasan Nasakomisasi partai-partai telah membelenggu demokrasi,’’ ujar Radius. “Hal itu merupakan kemustahilan yang dipaksakan. Bagaimana mungkin agama dapat dicampur-adukkan dengan ajaran komunis?”
Usul Sultan
Radius tak tertarik masuk Parkindo. Dia memilih aktif dalam Intelegensia Kristen Indonesia, yang kemudian jadi Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI). Organisasi ini didirikan pada Desember 1963 dengan tujuan untuk menghimpun pemikiran-pemikiran Kristen.
Dengan membawa bendera Intelegensia Kristen Indonesia, Radius terlibat dalam pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964. Namun, karena konflik dengan JCT Simorangkir, ketua Intelegensia Kristen dan juga pimpinan DPP Parkindo, Radius mengusung bendera Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), di mana dia menjadi wakil ketuanya, dalam Sekber Golkar.
Sekber Golkar awalnya adalah wadah dari golongan fungsional/golongan karya yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Dalam Sekber Golkar, Radius tercatat sebagai anggota Dewan Pimpinan Harian. Dia juga mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan pemikirannya. Dalam komisi-komisi kerja yang dibentuk, ia ditunjuk sebagai ketua komisi ekonomi.
Sementara masih menjabat anggota Dewan Pimpinan Harian Sekber Golkar, Radius diangkat menjadi pejabat setara menteri sebagai Pemeriksa Keuangan Agung Muda/anggota pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (Bapeka) dalam Kabinet Dwikora I. Secara struktur, dia berada di bawah koordinasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sejak 1964, Sri Sultan diangkat sebagai menteri/ketua pimpinan Bapeka yang setara dengan menteri koordinator kompartemen.
“Ia sadar bahwa pengangkatannya sebagai anggota Bapeka adalah atas usul Sri Sultan yang telah mengenal dirinya dengan baik sejak di Yogyakarta,” catat Bambang Subandrijo dkk dalam Pernak-pernik Perjalanan Sejarah Radius Prawiro.
Melaui Sekber Golkar, yang kemudian menjadi Golkar sebagai penopang utama kekuasaan Orde Baru, Radius menduduki posisi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan menteri. Sejak 1973, Radius duduk sebagai anggota Dewan Pembina Golkar.
Karier Radius juga tak tergoyahkan. Selain menjadi salah satu arsitek ekonomi Orde Baru, dia terus berkiprah di lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang mengurusi ekonomi dan keuangan. Bahkan tercatat sebagai menteri terlama era Orde Baru.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar