Masa Kecil Radius Prawiro
Selama masa Orde Baru, Radius Prawiro menduduki jabatan-jabatan menteri yang mengurusi ekonomi dan keuangan. Bidang yang sudah digelutinya sejak masa kecil.
JAM belum menlunjukkan pukul 05.00 ketika Radius Prawiro sudah beranjak dari tempat tidur dan memulai aktivitas rutinnya. Menyaring susu dan memasukannya ke dalam botol-botol. Setelah itu menyusun botol-botol susu ke keranjang sepedanya.
Tepat jam 05.45, dia mulai mengantarkan susu sekaligus mengambil botol-botol kosong dari para pelanggan di kawasan Kotabaru dan Klitren Lor, Yogyakarta. Setelah rampung, dia pulang ke rumah untuk sarapan dan berangkat ke sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, yang berada di Kotabaru.
Itulah aktivitas rutin Radius sebagai pengantar susu pada 1940-an. Upahnya, sebesar yang biasa diterima para loper susu, dipakainya untuk membayar iuran sekolah.
Sosok yang mengajarkannya untuk mencari uang sendiri adalah Wakidin Wirjopawiro, kakeknya dari garis ayah yang jadi pemilik perusahaan susu di Yogyakarta.
Wirjo berasal dari Desa Turen, Patalan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di masa mudanya dia ngenger (mengabdi atau bekerja) pada keluarga dokter H.S. Pruys yang mengelola Rumah Sakit (RS) Petronella (kini, RS Bethesda) milik zending (pekabaran Injil) Belanda. Di sini pulalah dia berkenalan dengan Poniyem, yang kemudian jadi istrinya. Di sana pula Wirjo dan Poniyem mengenal, belajar, dan memeluk agama Kristen.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Kristen yang Taat
Radius Prawiro lahir pada 29 Juni 1928 di Rumas Sakit Petronella, Yogyakarta. Dia anak pertama dari 11 bersaudara; empat laki-laki dan tujuh perempuan, dari pasangan Rochadi Soeradi Wirjoprawiro dan Soekestri.
Ayahnya seorang guru, lulusan Kweekschool (Sekolah Guru) di Solo. Sedangkan ibunya, lulusan sekolah kebidanan di RS Boedi Kemoeliaan Jakarta, bekerja sebagai bidan di RS Katolik Onder de Bogen yang kemudian dikenal dengan nama Panti Rapih.
“Ayahnya seorang yang sangat disiplin dan menanamkan kedisiplinan itu secara ketat kepada anak-anaknya. Di sekolah pun ia dikenal sebagai guru yang keras dan galak,” catat Sudarno Sumarto dkk dalam biografi Radius Prawiro: Kiprah, Peran dan Pemikiran.
Radius tumbuh dari keluarga Kristen yang taat. Kekristenan keluarga ibunya berasal dari Kyai Sadrach, seorang penyebar Kristen Jawa, kendati kemudian lebih berorientasi pada kekristenan Gereja Protestan. Sedangkan ayahnya mendapat pendidikan Kristen dari Mbah Wirjo, pengikut iman Kristen Calvinis yang dianut mayoritas orang Belanda.
Dalam corak Kristen Protestan Calvinis itulah Radius dididik oleh orangtuanya. Ajaran cinta kasih dan disiplin moral tinggi tertanam dalam keseharian. Radius jadi jauh dari kebudayaan Jawa. Kegemarannya menonton wayang tak bisa tersalurkan. “Ia bahkan menyesal dan mengaku kurang lengkap sebagai orang Jawa karena seolah-olah tercerabut dari akar budayanya,” catat Sudarno Sumarto dkk.
Kendati tak mudah, Radius menaati orangtuanya sebab yang mereka ajarkan diyakini “murni” dari Tuhan. Seiring waktu, Radius bisa melupakan “kesenangan-kesenangan duniawi” karena ketebalan imannya sudah baik.
Di sisi lain, Radius terkesan dengan corak kegiatan sosial dari zending Kristen di Yogyakarta, terutama pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kelak, ia menerapkan dalam lapangan pengabdian dan pelayanan. Apalagi setelah pensiun dari jabatan pemerintahan.
Kualitas Pertama
Sejak kecil, Radius Prawiro sudah mengenal kerasnya kehidupan. Di usia setahun, dia dibawa keluarganya ke Garut, Jawa Barat. Di sana ayahnya bekerja sebagai guru sekolah zending, sedangkan ibunya berpraktik sebagai bidan. Namun, pada 1931, mereka pindah ke Toraja, Sulawesi Selatan. Ayahnya mengajar di Schakelschool (Sekolah Peralihan) di Makale dan ibunya tetap menjalankan praktik bidan.
Ketika menginjak masa sekolah, Radius bersama adiknya, Suradi, dikirim ke Yogyakarta. Mereka tinggal bersama Mbah Wirjo. Di sinilah mereka dididik dan ditempa menjadi pribadi yang disiplin, pekerja keras, dan hidup hemat. Ia juga bekerja sebagai loper susu di perusahaan susu Mbah Wirjo, yang sedang merasakan maja kejayaan.
Mbah Wirjo dikenal ulet. Ia pernah berdagang tembakau, batik, hingga jadi pengusaha susu terkenal di Yogyakarta. Radius tak tahu bagaimana mula Mbah Wirjo membangun usaha susu sapi
Saat itu, di daerah Sentul, sebuah kampung tak jauh dari Pura Pakualaman, ada perusahaan susu perah yang dikelola oleh orang Kristen. Perusahaan itu dikenal dengan nama “SK”. Kemungkinan Mbah Wirjo memperoleh seekor sapi dari perusahaan tersebut dengan sistem nggadhuh (bahasa Jawa: menjadi pemelihara), dengan imbalan bagi hasil berupa anak sapi. Bisa juga Mbah Wirjo memperoleh seekor sapi dari dr. Pruys dan kemudian mengembang-biakkannya.
Perusahaan susu milik Mbah Wirjo di Jalan Klitren-Lor terbilang modern. Bahkan berdasarkan penelitian dari Veterinair Hygienische Dienst (Dinas Kesehatan Hewan) Yogyakarta, yang rutin dilakukan setiap bulan, perusahaan ini masuk kategori kualitas pertama. Misalnya, dilansir koran De Locomotief, 12 Agustus 1932, produk susunya masuk kategori kualitas pertama dengan komposisi susu dinilai bagus, kondisi susu (sangat bagus), dan perusahaan (sangat bagus).
Pekerjaan mengantar susu menempa Radius menjadi pribadi yang mandiri, disiplin, dan pekerja keras. Pengalaman ini juga mempengaruhi pilihan hidupnya kemudian.
“Pengalaman berhadapan dengan berbagai kemungkinan, untung dan rugi ketika harus mulai berhitung di perusahaan kakeknya, menjadi motivasi baginya untuk memilih jurusan perusahaan dan akuntansi,” catat Sudarno Sumarto dkk.
Radius tinggal bersama Mbah Wirjo hanya sementara. Ayah dan ibunya kembali ke Yogyakarta. Mereka bisa berkumpul kembali.
Pada 1934, di usia enam tahun, Radius masuk Hollandse-Javaanse School Bintaran Wetan, yang lazim disebut Bijbel Wetan. Di sekolah itu pula ayahnya menjadi pengajar. Di masa ini Radius masuk organisasi kepanduan Kristen Tridharma yang memberikan kesadaran kebangsaan. Selain itu mendirikan dan memimpin perkumpulan sepakbola yang dinamakan Rukun Agawe Santosa (RAS).
Radius menyelesaikan pendidikan di HJS dengan baik. Dia melanjutkan pendidikan di MULO pada 1941. Namun di tahun pertama sekolah, perang keburu pecah.
Masa Sulit
Pendudukan Jepang di Indonesia berdampak pada kehidupan keluarganya. Perusahaan susu segar milik kakeknya sulit beroperasi dan bahkan perlahan runtuh. Sekolah-sekolah zending ditutup sehingga ayahnya tak lagi menerima gaji sebagai pengajar. Institut Wirpa (kependekan dari Wirjopawiro), lembaga kursus bahasa Belanda, yang didirikan ayahnya pun surut karena kekurangan murid.
Kondisi sulit memaksa ayahnya pindah ke Pakem, kota kecil di utara Yogyakarta, dan mencoba bertahan hidup dengan membuat lampu dan sejenis korek api. Radius dan saudara-saudaranya bertugas untuk menjajakan dari pintu ke pintu.
Selain itu, dengan modal satu gulden, Radius mulai berdagang. Dengan mengandalkan sepedanya, dia menjual barang-barang dagangannya hingga ke Solo dan Tawangmangu. Di sepanjang perjalanan, dia menawarkan korek api bersumbu, klembak, gambir, dan sebagainya. Karena kondisi sulit, tak mudah mencari pembeli. Kalau pun ada minta pembayaran di belakang.
“Karena itu, dagangan yang terjual sangatlah sedikit,’’ kenangnya.
Setelah keadaan membaik, Radius melanjutkan sekolahnya di SMP I di Jalan Terban Taman, Yogyakarta. Di luar kesibukan sekolah, dia masih rajin berdagang. Sebagaimana ditulis dalam buku Apa & Siapa 1985-1986, Radius pernah menjadi penjual rokok ketika masih di bangku SMP yang digunakannya untuk sekolah dan keperluan sehari-hari.
Selain itu, bersama teman-temannya, dia ikut mendirikan organisasi Pelajar Kristen Mataram (Pelkrima). Radius ditunjuk sebagai pembantu umum. Pelkrima kerap mengadakan kegiatan pemahaman Alkitab, belajar menyanyi dan paduan suara, serta olahraga.
Menurut Bambang Subandrijo dalam Pernak-pernik Perjalanan Sejarah Radius Prawiro, Pelkrima tak mendatangkan kecurigaan Jepang karena dipandang sebagai perkumpulan keagamaan. Padahal, Radius dan kawan-kawannya kerap menjadikan Pelkrima sebagai wadah berkomunikasi dan bertukar pikiran mengenai politik serta menjalin kontak dan menggalang persatuan dengan para pemuda lainnya.
Selepas SMP, Radius mulai belajar mandiri. Dia tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya tapi di salah satu ruangan di SMP depan RS Panti Rapih. Dia mencari tambahan uang saku dengan menstensil diktat seorang guru dan menjualnya kepada siswa yang membutuhkan lewat ketua kelas masing-masing.
Pengalaman berdagang sejak kecil hingga remaja mempengaruhi hidup Radius kemudian. Dia memilih kuliah jurusan ekonomi dan akhirnya menduduki jabatan-jabatan menteri yang mengurusi bidang ekonomi. Dan Radius tak bisa melupakan semangat yang diajarkan kakeknya.
Pada 1928, sewaktu masih balita dan orangtuanya tinggal di Parakan, Mbah Wirjo datang menjenguk dengan naik sepeda dari Yogyakarya. Rupanya dia baru melihat dari dekat proses penuaian, pengeringan, dan penggarapan tembakau Parakan sebelum dikirim ke Yogyakarta. Cerita ini dituturkan ayahnya yang tahu persis kepandaian kakeknya dalam perdagangan tembakau.
“Jika cerita menarik ini saya renungkan kelak, saya berpikir dan bertanya kepada diri sendiri: apakah Mbah Wirjo sudah merasa bahwa di kemudian hari, cucunya sebagai menteri perdagangan akan terbang ke Hamburg untuk mengecek mekanisme perdagangan tembakau yang kita pasarkan di bursa tembakau di sana?”
Ya, didikan orangtua dan kakek-neneknya menjadi bekal yang berharga bagi perjalanan hidup Radius Prawiro.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar