Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru
Radius Prawiro menjadi bagian dari tim ahli ekonomi yang merancang dan mengawal pembangunan Orde Baru. Menangani krisis demi krisis ekonomi dari awal Orde Baru hingga keruntuhannya.
RADIUS Prawiro tak menyangkal peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam perjalanan kariernya. Berkat Sultan, dia menduduki pejabat setara menteri Pemeriksa Keuangan Agung Muda/anggota pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (Bapeka) dalam Kabinet Dwikora I (2 September 1964-21 Februari 1966).
“Sultan mau saya,” kenang Radius.
Radius adalah orang kepercayaan Sultan, yang menjabat Menteri/Ketua Bapeka yang berkedudukan sebagai menteri koordinator kompartemen. Menurut John Monfries dalam A Prince in a Republic, saat itu kader-kader partai politik mengisi posisi strategis di lembaga-lembaga negara dan pemerintah, termasuk Bapeka. Karena itulah Sultan membentuk tim ahli di internal Bapeka berisi orang-orang yang benar-benar bisa dipercaya dan diandalkan. Salah satunya Radius.
Sultan adalah figur sentral dalam masa transisi kekuasaan. Menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Sultan kian intens menjalin hubungan dengan para pendukung Orde Baru.
Pada akhir 1965, lanjut Minfries, Sultan secara diam-diam bertemu dengan Widjojo dan para ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) untuk membicarakan pemulihan ekonomi. Sultan terkesan dengan gagasan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Radius juga mulai bersinggungan dengan para ekonom UI. Ketika FEUI bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) cabang FEUI menggelar seminar pada 13 Januari 1966, Radius diundang sebagai salah satu pembicara. Dalam ceramahnya, Radius memberikan gambaran mengenai keadaan ekonomi yang bobrok akibat inflasi.
“Kita telah tahu semua bahwa arus inflasi yang menghebat itu akhirnya bermuara dalam masyarakat yang penuh dengan korupsi dan demoralisasi,” ujarnya. “Korupsi ini menimbulkan pembagian rezeki yang pincang, yang akhirnya mengakibatkan ketidakadilan sosial.”
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Klub Memasak
Kedekatan Radius dengan Sultan berlanjut pada Kabinet Dwikora II (24 Februari sampai 27 Maret 1966). Radius tetap pada posisinya dan berada bawah koordinasi Sultan yang menjabat wakil perdana menteri bidang ekonomi dan pembangunan.
Radius juga jadi anggota kelompok informal Pitu Up, plesetan dari minuman Seven Up, yang dibentuk secara diam-diam oleh Sultan. Anggota lainnya adalah Dadang Suprayogi, Ashari Danudirjo, Budiardjo, dan Sugih Arto, dan Frans Seda. Surono kemudian bergabung, sehingga kelompok ini diubah namanya jadi Paguyuban Hasta Mitra.
Hasta Mitra disebut sebagai klub memasak. Setiap bulan secara bergiliran menyiapkan makanan di rumah. Namun pertemuan ini juga dipakai untuk berbagi catatan dan berdiskusi mengenai perkembangan politik-ekonomi.
“Saat itu kita tak tahu siapa kawan, siapa lawan, dan karena itu akan merasa enak bila berada di lingkungan sendiri yang akrab,” catat Dadang Ashari dalam otobiografinya Antara Tugas dan Hobby.
Seiring kian penting posisi Sultan, karier Radius juga merangkak naik. Dalam Kabinet Dwikora III (30 Maret sampai 25 Juli 1966), Radius diangkat sebagai menteri urusan Bank Sentral/gubernur Bank Sentral.
Radius heran dengan penunjukan dirinya. Biasanya jabatan itu diduduki oleh senior yang sudah berpengalaman. Namun, menurut John Monfries, “karena pengetahuan Hamengku Buwono sebelumnya tentang Radius di BPK, penunjukan itu mungkin muncul atas rekomendasinya.”
Posisi itu membawa Radius kian dekat dengan tokoh-tokoh Orde Baru, khususnya yang bertanggung jawab dalam bidang ekonomi.
Pada Agustus 1966, Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung menggelar Seminar Angkatan Darat II. Untuk bidang ekonomi, Radius Prawiro menjadi salah satu pembicara. Dia menyodorkan topik masalah moneter dalam rangka stabilisasi ekonomi.
Menurut Radius, satu faktor yang menyumbang kemerosotan perekonomian adalah penyelewengan dalam pengelolaan keuangan negara. Tugas yang dihadapi untuk mengatasi kesulitan sungguh amat berat. Program stabilisasi dan rehabilitasi yang direncanakan pemerintah hanya berhasil jika mendapat pengertian dan dukungan dari masyarakat.
“Karena dalam ekonomi tidak ada magical short cuts, ketekunan bekerja dan disiplin masih tetap merupakan ramuan yang terbaik untuk mencapai sukses,” ujar Radius.
Seminar Angkatan Darat II menarik perhatian Jenderal Soeharto, yang sudah mengenal para ekonomi itu ketika mengikuti kursus di Seskoad.
Pada 12 September 1966, Soeharto mengangkat kelompok ekonom dari FEUI itu sebagai Staf Pribadi Ketua Presidium Kabinet. Para ekonom itu adalah Widjojo, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Karena kebanyakan alumni Universitas Berkeley, secara kelakar mereka kerap disebut “Mafia Berkeley”.
Ketika Soeharto diangkat sebagai presiden, mereka menjadi Tim Ahli Ekonomi Presiden dengan keanggotaan tim yang diperluas. Radius Prawiro merupakan salah satu anggotanya.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Tim Ahli Ekonomi
Pada tahun-tahun pertama Orde Baru, kantor Radius Prawiro di Bank Indonesia menjadi tempat bertemu menteri ekonomi dan staf ahli ekonomi untuk merancang perencanaan dan strategi.
“Mungkin karena kantor saya di Bank Indonesia ada AC, atau mungkin juga karena BI punya reputasi baik dalam hal menjaga kerahasiaan,” catat Radius dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi.
Radius kemudian diangkat sebagai salah satu anggota Tim Ahli Ekonomi Presiden yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Pengangkatan didasarkan pada Keputusan Presiden (Kepres) No. 195 Tahun 1968 yang ditetapkan pada l5 Juni 1968.
Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi bukan tanpa alasan. Dia mewarisi kondisi ekonomi yang carut-marut: hiperinflasi, defisit neraca pembayaran, terkurasnya cadangan devisa, kesulitan membayar utang luar negeri, produksi industri rendah, dan lain-lain.
Tim Ahli Ekonomi, yang juga dikenal sebagai “para teknokrat”, bekerja untuk merumuskan arah kebijakan ekonomi. Peran Tim menjadi lebih kuat setelah perombakan (reshuffle) kabinet pada 1971 ketika Widjojo, Subroto, Sadli, dan Emil Salim diangkat sebagai menteri.
Menurut Radius, pertemuan yang diadakan seminggu sekali untuk membahas perencanaan dan strategi berjalan efisien. Hubungan dengan presiden pun terjalin akrab.
“Meskipun bukan ekonom, Soeharto mendengar dengan cermat rekomendasi dari penasihat ekonominya, dan mempelajari pilihan kebijakan ekonomi yang diusulkan,” ujar Radius.
Para teknokrat menekankan pada stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Antara lain mencakup tindakan-tindakan pembaruan fiskal untuk menyeimbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembaruan moneter, bantuan dan investasi asing, hingga liberalisasi perdagangan luar negeri.
Untuk mencapai hal itu, pemerintah membangun kembali hubungan dengan negara-negara Barat dan Jepang serta blok Timur. Tujuannya untuk menjadwalkan pembayaran utang luar negeri sekaligus mencari pinjaman baru. Tugas ini diserahkan kepada Sultan yang menjabat Menteri Negara Urusan Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Radius terlibat di dalamnya. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan terbentuknya Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) pada 1967.
Indonesia juga berupaya mencari pinjaman dari sumber-sumber lain untuk membiayai pembangunan. Salah satunya Jepang. Secara khusus, Radius diangkat sebagai pejabat yang bertanggungjawab atas penyelesaian proyek Wisma Nusantara yang mandeg. Dia menjalin kesepakatan dengan Mitsui & Co., Ltd. untuk menyelesaikan pembangunan gedung pencakar langit pertama di Jakarta itu yang berlokasi di Jalan Thamrin.
Program stabilisasi dan rehabilitasi berjalan dengan mulus. Hiperinflasi dapat dijinakkan dan perekonomian Indonesia pulih secara mengesankan. Setelah stabilisasi tercapai, Tim Ahli Ekonomi menyiapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang disiapkan mulai 1 April 1969.
Menurut Radius, di awal kerja-kerja Tim Ahli Ekonomi, tak ada jaminan mengenai kepastian dan kesuksesan program. “Kebijakan yang diambil sangat rumit, dan krisis yang dihadapi sangat parah. Bekerja di tengah atmosfer yang penuh ketegangan dan kewaspadaan, tim ini bertindak hanya berdasarkan iman bahwa pasar bebas dan kebijakan ekonomi makro yang penuh perhitungan akan mampu mengatasi krisis,” tulis Radius.
“Pada akhirnya, karena kekompakan tim dan memang pada dasarnya strategi yang ditempuh tidak menyalahi prinsip ekonomi rasional, atas pekerjaan tim ini dapat dikatakan berhasil gemilang.”
Kembali Mengatasi Krisis
Pada awal 1970-an, tim penasihat ekonomi sebagai pusat pemikiran (think tank) tak ada lagi. Sebab, setiap anggota memusatkan perhatian pada tugas khusus yang diembannya. “Hanya kadang-kadang, seperti waktu timbul krisis Pertamina, kelompok itu bertemu...,” ujar Moh Sadli dalam Pelaku Berkisah.
Pada 1970-an, Pertamina gagal membayar pinjaman yang jatuh tempo kepada sebuah bank kecil di Amerika. Pemerintah membentuk beberapa tim untuk menangani berbagai aspek masalah tersebut. Radius ditugaskan untuk menangani utang-utang Pertamina melalui penyewaan kapal tanker milik operator Bruce Rappaport. Radius menjadi terkenal ketika pengadilan di New York memenangkan Pertamina.
“Keputusan tersebut menyelamatkan Indonesia dari kerugian yang sangat besar: utang perusahaan minyak negara itu berdasarkan kontrak Rappaport berkurang dari $1,55 miliar menjadi $150 juta,” catat Soedradjad Djiwandono dalam “A team player technocrat: Radius Prawiro, 1928–2005”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 41, No. 2, 2005.
Namun, utang luar negeri Pertamina ternyata jauh lebih besar, yakni US$10,5 miliar. Pertamina bukan hanya nyaris bangkrut tapi juga membebani keuangan negara. Krisis Pertamina akhirnya diselesaikan melalui proses yang sulit dan mahal.
“Kemampuan para teknokrat menyelesaikan krisis Pertamina, walaupun memberatkan kas negara, yang seharusnya dapat bergelimang uang minyak, memperkuat kepercayaan Presiden Soeharto kepada para teknokrat,” catat The Kian Wie dalam pengantar buku Pelaku Berkisah.
The Kian Wie mencatat keberhasilan lain yang dicapai oleh para teknokrat. Kesuksesan program Keluarga Berencana tak lepas dari peran para teknokrat meyakinkan Soeharto mengenai hubungan antara pertumbuhan penduduk, pembangunan pertanian, peluang kerja, dan kemakmuran. Para teknokrat juga berhasil mengimplementasi program penyesuaian makroekonomi dan pembaruan struktural secara efektif. Kebijakan ini ditempuh untuk menghadapi memburuknya nilai tukar internasional Indonesia akibat merosotnya harga minyak.
Namun, sejak akhir 1980-an, pengaruh para teknokrat perlahan menurun. Penyebabnya antara lain mundurnya generasi pertama teknokrat, terutama Widjojo, dan naiknya pengaruh ”para teknolog” di bawah kepemipinan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie.
Menteri Kepercayaan
Selama bertahun-tahun, Radius Prawiro ikut merumuskan dan mengawal ekonomi Indonesia dalam posisi sebagai tim ahli ekonomi. Menurutnya, keberhasilan ini tak lepas dari kepercayaan yang diberikan oleh Presiden Soeharto yang mau mendengarkan rekomendasi dari penasihat ekonominya.
“Setelah melalui pertukaran pikiran yang intensif dan sering kali terjadi revisi yang substansial, barulah beliau memberikan restu final. Setelah itu beliau mendukung kebijakan tersebut secara gigih meskipun harus menghadapi oposan yang keras,” ujarnya.
Bagi para teknokrat, menghadapi Presiden Soeharto yang orang Jawa tidaklah mudah. Ucapan-ucapannya acap bersayap. Menurut Aristides Katoppo dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, di antara personel tim ahli ekonomi, Widjojo secara kedinasan dan pribadi paling dekat dengan Soeharto. Sedangkan yang tahu bagaimana cara mengambil hati adalah Radius. Berkat “kebolehannya” itu, Radius sering diminta oleh Widjojo untuk menyampaikan sesuatu kepada Presiden.
“Kelak terbukti, Radius dipakai terus oleh Soeharto.”
Radius memang langganan menjadi menteri. Setelah menjabat gubernur Bank Indonesia, secara berturut-turut dia diangkat sebagai Menteri Perdagangan (dua periode), Menteri Keuangan, serta Menteri Koordonator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri dan Pengawasan Pembangunan. Bahkan, setelah pensiun sebagai menteri, tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan.
Pada 1993, Radius menjadi anggota Tim Ahli Ekonomi Masalah Hutang dan Pembangunan Negara-negara Berkembang, yang selanjutnya disebut Tim Ahli Ekonomi. Tim yang dipimpin oleh Widjojo ini dibentuk setelah Presiden Soeharto ditunjuk sebagai ketua Gerakan Non-Blok (GNB). Tugasnya merumuskan rekomendasi tentang konsepsi dan langkah‑langkah yang perlu diambil untuk memecahkan masalah utang yang melilit negara-negara berkembang, khususnya di Afrika.
Kemudian saat kekuasaan Soeharto berada di ujung tanduk karena krisis moneter, Radius duduk dalam Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK). DPKEK bertugas melakukan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan.
Selain sebagai anggota DPKEK, Radius ditunjuk sebagai ketua Tim Penanggulangan Masalah Utang-utang Perusahaan Swasta Indonesia. Dia dibantu oleh Anthony Salim, Rahmat Gobel, dan Thee Nin King, tiga pengusaha swasta terkemuka. Namun, belum tuntas tugas Radius, Soeharto keburu lengser.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar