Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus
Sebagai umat yang taat, Radius Prawiro mencurahkan waktu untuk memberi perhatian pada gereja dan jemaat. Dia juga menekuni kembali hobi lamanya.
TAK ada yang menduga peristiwa naas ini terjadi. Pada akhir 1956, Radius Prawiro bersama beberapa rekan menghadiri sebuah konferensi di Woudschoten, Zeist, Belanda. Sebagai sibuk kuliah di Nederlandsche Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda, Radius memang aktif dalam Perserikatan Kristen Indonesia (Perki) cabang Rotterdam, bahkan jadi ketuanya.
Usai acara, mereka pulang dengan menumpang bus. Namun, di sebuah perempatan, bus yang mereka tumpangi ditabrak oleh kendaraan dari arah samping. Radius mengalami luka-luka, sementara seorang temannya meninggal dunia. Mereka segera dilarikan ke sebuah RS di Leiden.
Kondisi Radius ternyata cukup parah. Dia mengalami gegar otak hingga harus dirawat intensif. Selepas opname, dia menjalani rawat jalan di rumah suami-istri Moekarno Notowidigdo, orangtua angkatnya yang merupakan kawan dekat ibunya. Selama masa pemulihan, beberapa kawan menjengguknya. Salah satu yang rajin datang adalah Leonie “Onie” Supit, sekretaris Perki.
Baca juga: Masa Kecil Radius Prawiro
Seiring waktu, hubungan Radius dengan Onie kian rapat. Cinta pun bersemi. Mereka menikah pada 5 Juli 1958. Resepsi digelar di Gereformeerde Kerk di Den Haag.
Setelah menikah, Radius dan istrinya tinggal di sebuah kamar di Wisma Indonesia, Den Haag. Pada Maret 1959, anak pertama mereka lahir: Baktinendra Prawiro. Radius, yang anak bidan, ikut membantu proses persalinan.
Beasiswa Radius tidak mencukupi untuk membiayai keluarga kecilnya. Maka, Radius dan istrinya mengambil kerja sampingan sebagai pengajar di Sekolah Indonesia yang baru didirikan oleh Kedutaan di Den Haag.
“Saya menjadi guru Ilmu Pasti, dan ibu menjadi guru Ilmu Bumi, Sejarah, dan Bahasa Inggris,” kata Radius dalam testimoninya di buku Untaian Perjalanan Leonie Radius Prawiro-Supit.
Begitu studinya selesai awal 1960, Radius memboyong keluarganya pulang ke tanah air.
Di Jakarta, Radius bekerja di Direktorat Akuntan Negara dan mendapatkan rumah dinas di Jalan Dharmawangsa 11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di rumah inilah ketiga anaknya lahir: Loka Manya, Triputra Yusni Prawiro, dan Pingkan Riani Putri Prawiro.
Baca juga: Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang
Dilarang Naik Motor
Gaji pegawai negeri amat kecil. Tak cukup untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Belum lagi Radius melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia untuk mendapatkan gelar bidang akuntansi. “Sehingga harus mencari tambahan penghasilan dengan mengajar di beberapa lembaga,” kata Onie, dikutip Retno Kintoko dalam Untaian Perjalanan Leonie Radius Prawiro-Supit.
Radius baru bisa bernapas lega setelah diangkat sebagai gubernur Bank Indonesia pada 1966. Tak perlu lagi kerja sampingan. Lebih punya waktu buat keluarga: makan bersama, berkumpul, bercengkerama, atau berlibur. Namun ada hobinya yang harus dipinggirkan.
Radius gemar menggendarai sepeda motor. Ketika kuliah di Belanda, dia pernah keliling Eropa dengan mengendarai sepeda motor BMW. Kendati pernah jatuh karena tergelincir, kegemarannya masih diteruskan di Indonesia. Sampai memangku jabatan Asisten Ahli Akuntansi pada Direktorat Akuntansi Negara lalu anggota Badan Pengawas Keuangan, dia tetap bersepeda motor sebagai hobi.
Setelah menjabat gubernur Bank Indonesia, dia menghentikan kegemarannya itu. Pihak Bank Indonesia khawatir sang pejabat bila terus-menerus menggunakan kendaraan terbuka.
"Karena pertimbangan keamanan dari pemerintah, saya lalu disuruh naik mobil terus,” ujarnya, dikutip Apa dan Siapa Tempo. “Tapi, saya sendiri masih senang naik sepeda motor sampai sekarang.”
Masih ada lagi kegemaran Radius yang lain, yaitu fotografi. Sewaktu liburan keluarga, mengunjungi beberapa tempat yang indah dan menarik, Radius menyalurkan hobi fotografinya. Mula-mula hanya untuk mengabadikan momen indah bersama istri dan anak-anaknya. Seiring waktu, dia meningkatkan pengetahuan dan mengawah teknik fotografinya.
Tak hanya acara keluarga. Dalam acara formal pun Radius kerap membidik kameranya. Ketika peresmian pengangkatan orangtua asuh tahun 1985, Radius sibuk jeprat-jepret untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Ketika disapa beberapa tamu, dia berujar: “Persiapan pensiun, mencoba jadi juru potret.”
Salah satu tempat yang kerap dikunjunginya adalah Bogor, tempat mertuanya tinggal. Selain berlibur, Radius ingin mendekatkan anak-anaknya dengan kakek-nenek mereka dari pihak ibu. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk membangun rumah peristirahatan di sana.
Pada 1971, Radius membeli sebidang tanah di Desa Caringin dan membangun rumah peristirahatan. Rumah itu dipakai untuk tempat berlibur sekaligus menyalurkan hobi lainnya: beternak. Bersama istrinya, Radius ikut mendirikan Hybrida Indonesia (Hydon), sebuah perusahaan peternakan ayam di Bogor, yang kemudian berkembang dan dikelola oleh anak-anaknya.
Baca juga: Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru
Di tengah kesibukannya sebagai menteri, Radius beternak ayam di Caringin. Karena kurang berkembang dengan baik, dia beralih ke peternakan ikan. Ini pun kurang berhasil. Ganti lagi dengan domba, yang didatangkan dari Australia. Usaha ini pun tersendat-sendat. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan rumah pertemuan untuk keluarga di tempat tersebut yang dikelola oleh Yayasan Kinasih. Rumah ini juga kerap disewa oleh gereja-gereja untuk keperluan retreat.
“Sekarang permintaan untuk menggunakan rumah pertemuan yang berkapasitas 1000-1300 orang tersebut sebagai tempat retreat datangnya juga dari luar negeri,” ujarnya, dikutip Indonesian Journal tahun 1997.
Yayasan Kinasih berkembang berkat tangan dingin Leonie Supit. Sebagian pendapatannya disalurkan untuk membantu sesama, terutama warga sekitar. Radius tak sungkan memuji istrinya.
“Mama kamu itu rohaninya tinggi dan banyak mendukung Papa dalam doa. Sedangkan Papa tiap hari harus mengurus hal-hal duniawi di kantor. Kalau kamu cari istri, carilah yang rohaninya seperti Mama,” kata Radius, dikutip Loka Manya Prawiro, putra keduanya, dalam testimoni di buku Untaian Perjalanan Leonie Radius Prawiro-Supit.
Membangun Gereja
Aspek rohani memang tak pernah diabaikan. Sejak kecil Radius dididik dan dibesarkan orangtuanya dengan ajaran Kristen. Ajaran kasih dan moral tinggi terus terbawa dalam laku kehidupan sehari-harinya. Dia juga berusaha memberikan kebaikan bagi banyak orang.
Selama menjadi mahasiswa di Belanda, Radius aktif dalam kegiatan gereja. Aktivitas itu berlanjut di Indonesia. Dia tercatat menjadi ketua Majelis Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kebayoran Baru, yang saat itu memiliki jemaat sekira 200 orang.
“Radius Prawiro yang menjabat sebagai ketua majelis jemaat pada waktu itu hanya diwarisi bangunan gereja yang masih berupa pondasi...,” catat buku Menjadi Mitra Allah: Kemarin, Kini dan Esok. Radius kemudian menggerakkan jemaat untuk menyelesaikan pembuatan gedung gereja secara gotong-royong. Gedung gereja selesai dibangun pada 1967.
Kendati warga GKI, Radius mengulurkan tangan Gereja lain yang belum memiliki rumah ibadah. Salah satunya Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kebayoran.
Saat itu, untuk kebaktian, GKJ Kebayoran menumpang di GKI Kebayoran di Jalan Panglima Polim. Pada Juni 1972, mereka mendirikan Yayasan Pembangunan Gereja Nehemia yang bertugas mendirikan Gedung GKJ di Kebayoran. Namun prosesnya berbelit-belit.
Kebetulan, Perum Perumnas sedang membangun perumahan bagi masyarakat, dengan prioritas pegawai negeri dan ABRI, pada 1970-an. Perumahan ini, yang kemudian jadi Perumnas Depok 1, harus dilengkapi sarana dan prasarana umum, termasuk rumah ibadah.
Pada 1977, Radius ditemui oleh Direktur Utama Perum Perumnas Radinal Mochtar. Dia diminta bantuan untuk merealisasikan pembangunan gereja di Depok. Maka, Radius menawarkannya kepada GKJ Kebayoran.
Pembangunan gereja pun dimulai Mei 1978. Radius dan ibunya (Soekestri Wirjoprawiro), yang dianggap warga gereja paling tua, ikut melakukan peletakan batu pertama.
Setelah rampung, gereja yang dinamakan GKJ Yeremia, diresmikan pada Juni 1979. Sejak itu GKJ Yeremia dipakai untuk kebaktian pagi bagi jemaat GKJ Kebayoran, sedangkan kebaktian sore tetap di di GKI Kebayoran.
Radius juga membantu GKJ Kebayoran yang kesulitan mendapatkan izin pembangunan gereja di Kebayoran. Berkat bantuan Radius, gedung GKJ Kebayoran bisa dibangun dan rampung pada November 1985.
“Secara jujur, di sini ada tokoh sekaliber Pak Radius Prawiro, ia orang Jawa, orang tuanya GKJ sama seperti kami, meskipun ia sendiri warga GKI. Dia membantu dan mem-back-up kami di balik layar,” ujar Pdt. Samuel Bambang Haryanto dalam Kontroversi Gereja di Jakarta dan Sekitarnya suntingan Ihsan Ali-Fauzi dkk.
Radius tak melupakan akar sejarahnya. Keluarga dari pihak ibunya adalah pengikut Kiai Sadrach, penginjil Jawa kharismatik. Melalui Yayasan Kinasih, Radius merenovasi gedung gereja peninggalan dan makam Kiai Sadrach di Karangjoso, Kutoarjo.
“Keluarga Radius Prawiro menghargai peninggalan Kiai Sadrach tanpa bermaksud mengkultuskan,” catat Soetarman Soediman Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya.
Baca juga: Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak
Anti Stres
Perhatian tak hanya tertuju pada pembangunan fisik. Radius Prawiro aktif menyumbangkan pemikiran mengenai pelayanan Kristen yang di masa lalu “telah banyak membantu masyarakat luas, khususnya dalam bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan berbagai prasarana sosial yang lain,” catat Irzan Tanjung dalam Radius Prawiro: Kiprah, Peran, dan Pemikiran.
Agar pelayanan sosial-religi tak kendur perlu kaderisasi. Apabila gereja berhasil memberikan dasar pijakan kokoh pada pembinaan generasi muda, bagian penting dari upaya membangun masa depan sudah tercakup.
“Gereja mesti bisa menatap ke depan dan mengantisipasi zaman,” kata Radius.
Sebagai pengurus Lembaga Pendidikan Tinggi Kristen, Radius memberi perhatian pada pengembangan perguruan-perguruan tinggi swasta Kristen di Indonesia. Antara lain dia tercatat sebagai anggota Dewan Penyantun Universitas Kristen Petra, sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, Jawa Timur, yang terlibat dalam penggalangan dana pembangunan auditorium dan Gedung W.
Radius juga juga tercatat sebagai ketua Majelis Pertimbangan PGI selama dua periode (1992-2000). Dia menaruh perhatian terhadap gerakan oikumenis dan pembenahan kepemimpinan gereja. Dia mendorong hubungan antargereja yang lebih baik, agar tak menjauh dari fungsi awalnya sebagai pembina dan pelayan umat.
Selain itu, Radius mendorong agar gereja-gereja ikut berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Hal yang sama disampaikannya pada Sidang Tahunan Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) sebagai respon atas program pembangunan di Indonesia Bagian Timur (IBT) yang dicetuskan oleh Presiden Soeharto pada 4 Januari 1990.
Tak lupa Radius mengingatkan pentingnya dialog dengan agama-agama lain. Sebab, secara bersama-sama, semua umat beragama mengemban tugas melayani masyarakat, tanpa melihat perbedaan-perbedaan.
Setelah sekira 28 tahun menangani urusan ekonomi negara, Radius akhirnya pensiun pada Maret 1994 dengan jabatan terakhir sebagai menteri koordinator bidang Ekonomi-Industri (menko Ekuin). Sejak itulah dia punya lebih banyak waktu untuk memberi perhatian pada gereja.
Sumbangsihnya dalam aspek keagamaan ini diakui banyak pihak. Salah satunya gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Teologi dari Theologische Universities Kampen, lembaga pendidikan teologi di Belanda, pada peringatan Dies Natalis ke-150 tahun 2004.
Setelah sekira 28 tahun menangani urusan ekonomi negara, Radius akhirnya pensiun pada Maret 1994 dengan jabatan terakhir sebagai menteri koordinator bidang Ekonomi-Industri (menko Ekuin). Namun tenagan dan pikirannya masih dibutuhkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan krisis yang terjadi di Indonesia.
Setelah pensiun, Radius juga menekuni kembali hobby lama beternak, selaras dengan isterinya, Leonie Supit, yang punya kegemaran berkebun. Radius punya acara SAS agar selalu sehat. SAS Program adalah Program Sabtu Anti Stress.
“Sabtu dan Minggu adalah hari untuk menekuni hobi,” ujarnya, dikutip Dawam Rahardjo dalam Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa.
Radius Prawiro meninggal dunia di Rumah Sakit Deutsches Herzzentrum, München, Jerman, pada 26 Mei 2005 dalam usia 76 tahun. Jenazah disemayamkan di rumah duka di Dharmawangsa 11 Kebayoran Baru dan kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.*
Tulisan ini hasil kerja sama Historia.ID dan Kementerian Keuangan. Sebelumnya telah terbit di Media Keuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar