Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Klub Malam di Indonesia

Klub malam pertama di Indonesia dibikin oleh seorang tokoh perfilman. Mengadakan pertunjukan tari telanjang. Didukung oleh gubernur.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 18 Des 2019
Pertunjukan busana dan tari di sebuah klub malam. (Fernando Randy/Historia).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan penghargaan kepada diskotek Colosseum pada malam Anugerah Adikarya Wisata 2019 di Jakarta, 6 Desember 2019. Pemberian penghargaan itu diwakilkan oleh deputi gubernur DKI Jakata. Adikarya Wisata adalah penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta untuk penggiat pariwisata di Jakarta.  

Tim juri Adikarya Wisata memandang Colosseum berkontribusi mempromosikan pariwisata di Jakarta sehingga layak menerima penghargaan. Mengalahkan 30 nominator lain dalam kategori serupa. Di samping kategori diskotek dan klub malam, Adikarya Wisata mempunyai 30 kategori penghargaan lain. Antara lain bar, restoran, maskapai penerbangan, dan hotel.

Keputusan tim juri menuai celoteh minor dari banyak kalangan. Mereka menilai Colosseum tak pantas menerima penghargaan lantaran pernah menjadi tempat transaksi narkoba. Sebagian lainnya berkeberatan karena melihat keberadaan diskotek dan klub malam tidak sesuai dengan norma agama.

Advertising
Advertising

Menanggapi kisruh seputar penghargaan terhadap Colosseum, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut penghargaan tersebut pada Senin, 16 Desember 2019. Sampai artikel ini ditulis, belum diketahui kemana penghargaan untuk kategori diskotek dan klub malam itu mendarat.

Baca juga: Kenangan yang Tertinggal di Tanamur

Diskotek dan klub malam merupakan jenis hiburan malam yang legal di banyak kota Indonesia. Historia pernah mengulas sejarah diskotek di Indonesia. Ia kali pertama berkembang pada dekade 1970-an. Diskotek pertama di Indonesia berdiri di Jakarta dan bernama Tanamur (Tanah Abang Timur). Kepunyaan Ahmad Fahmy Alhady, pemuda tajir keturunan Arab.

Pengunjung sedang ajojing di diskotek Tanamur (Tanah Abang Timur). (Dok. Historia).

Bagaimana dengan klub malam?

Ihwal muasal klub malam agak berbeda dengan diskotek. Klub malam lebih dulu berkembang pada akhir dekade 1960-an. Pelopornya Usmar Ismail, tokoh terpandang dalam dunia perfilman Indonesia. Dia juga seorang haji dan ketua umum Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), organisasi bawahan Nahdlatul Ulama.

Usmar mendirikan Miraca Sky Club di lantai teratas gedung Sarinah, Jakarta. Miraca bernaung di bawah bendera usaha PT Ria Sari Restaurant and Show Management, perusahaan bisnis hiburan malam.

Baca juga: Sarinah Toko Murah, Bukan Toko Mewah

Usmar beralih ke dunia bisnis dan hiburan malam sejak 1966. Kala itu dunia film masuk masa suram. Peristiwa G30S dan huru-hara setelahnya ikut menghantam dunia film. Produksi menurun dan impor film tersendat. Bioskop kekurangan stok film sehingga merugi dan akhirnya tutup.

Sebelum beralih ke dunia lain, Usmar sempat menyelesaikan film berjudul Liburan Seniman. Setelah itu, dia ternyata benar-benar liburan dari dunia seni. Dia mengisi hari "liburnya" dengan mengelola bisnis klub malam.   

Klub malam Miraca menjiplak habis konsep klub-klub malam di Eropa dan Amerika Serikat. Ada minuman keras, restoran, hostes (perempuan pramuria), dan musik hidup. Tapi sajian andalannya adalah tarian telanjang. Kadang dibawakan oleh seorang atau kelompok perempuan penari dari luar negeri. Lain waktu berpasangan antara lelaki dan perempuan.

Bedanya, Miraca hanya untuk golongan ekonomi atas. Sedangkan klub malam di Eropa dan Amerika Serikat mempunyai keberagaman segmentasi pasar. Dari paling necis sampai tingkat kantong kembang kempis.

Baca juga: Kisah Tragis Bapak Film Nasional Usmar Ismail

Harga makanan dan minuman di Miraca berkali-kali lipat dari harga di luar. Tiket menonton tari telanjang pun selangit. Untuk sekali masuk klub malam, orang harus menyediakan dana Rp5.000-Rp8.000. Sementara pendapatan per bulan rata-rata penduduk Jakarta saat itu sekira Rp1.000-Rp4.000.

Karena tempat ini benar-benar baru di Indonesia, orang berpunya rela menghabiskan uangnya untuk menikmati hiburan baru ini. “Night club menjadi pilihan utama bagi para penikmat hiburan malam yang kebanyakan dari mereka adalah kelas menengah dan pejabat pemerintahan,” kata almarhum Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an, kepada Historia.

Keputusan Usmar mengusahakan klub malam memancing banyak kecaman dan makian dari masyarakat dan organisasinya sendiri. Tapi dia keukeuh pada keputusannya. "Saya, kalau perlu, akan keluar dari partai saya (Nahdlatul Ulama) jika klub malam harus ditutup," kata Usmar dalam Ekspres, 16 Agustus 1971.

Kiri-kanan: Ali Sadikin, Usmar Ismail, dan Turino Djunaedi dalam acara Festival Film Asia (Pasifik), Juni 1970 di Jakarta. (usmar.perfilman.pnri.go.id).

Usmar punya alasan kuat mengupayakan bisnis klub malam. Antara lain untuk pembiayaan film-filmnya dan klub malam masih berada dalam payung hukum.

Miraca memperoleh pijakan legalnya di atas Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang pokok-pokok pembinaan kepariwisataan pada 1969 dan keputusan tentang pendirian night club.

"Mulailah dipelopori di Indonesia sejenis usaha yang disebut night club… Alasan yang disampaikan adalah untuk keperluan kepariwisataan, di mana dengan terbukanya Indonesia untuk modal asing diperkirakan bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang akan berkembang dan menjanjikan peningkatan pendapatan yang besar bagi Indonesia," catat Daniel Dhakidae dalam "Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomi", termuat di Prisma No. 5, Juni 1976.

Perubahan ekonomi dan politik Indonesia setelah 1965 mengantarkan sejumlah pengusaha ke bidang bisnis baru: hiburan malam. Usmar memulainya dengan Miraca.

Baca juga: Prostitusi di Jakarta dari Zaman Ali Sadikin Sampai Ahok

Gubernur Ali Sadikin terus mendorong pemodal dalam dan luar negeri untuk mengalirkan hepengnya ke hiburan malam. Para pengusaha, kebanyakan memiliki hubungan baik dengan petinggi militer, menjawab ajakan itu. Tercatat ada 23 klub malam di Jakarta hingga 1970.

Saban kali ada pembukaan klub malam baru, Ali Sadikin selalu menghadiri malam peresmiannya. Dia bilang jumlah 23 klub malam masih kurang. Klub malam harus terus bertambah. "Dan semuanya ini akan menambah lagi persyaratan ibu kota Jakarta sebagai kota pariwisata," kata Ali dalam Ekspres, 21 Desember 1970.  

Harapan Ali Sadikin terwujud. Tahun berikutnya jumlah klub malam meningkat menjadi 31. Angka ini naik lagi menjadi 36 klub malam pada 1972. Pertambahan jumlah klub malam berbanding lurus dengan penambahan jadwal tari telanjang. Dan Jakarta tak cukup mampu menampung sendirian tarian itu. Klub malam pun menyebar ke berbagai kota.

Baca juga: Awal Mula Hostes di Jakarta

"Jenis usaha semacam ini akhirnya bukan saja berkembang di Jakarta akan tetapi juga merembes ke kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Ujung Pandang untuk menyebut beberapa nama," tulis Daniel Dhakidae.

Protes terhadap perkembangan klub malam, tari telanjang, dan hostes mengemuka seiring kian banyaknya klub malam. Mereka berpendapat klub malam bukan bagian dari budaya Indonesia. "Kaum pendidik, tokoh wanita, alim ulama, dan tokoh pemuda otomatis menolak dengan alasan bisa merugikan bangsa dan moral," ungkap Ekspres, 16 Agustus 1971.

Ketidaksetujuan para penentang klub malam kadang bisa sangat agresif. Di Medan, para penentangnya merusak klub malam. Tapi di Jakarta dan kota lainnya, penyerangan kepada klub malam tidak terjadi.

Baca juga: Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta

Selain karena kebanyakan penjaga klub malam berasal dari militer dan membawa senjata api kaliber 38 sampai 45, juga lantaran para pemiliknya memiliki hubungan dengan perwira-perwira militer. Tak sedikit pula klub malam dimiliki langsung oleh perwira militer.

Pemilik klub malam bahkan dibela penuh oleh Ali Sadikin. Dia meminta para penentang klub malam agar jangan tinggal di Jakarta dan berhilir-mudik di jalanan Jakarta. Sebab jalanan itu dibiayai dari pajak klub malam.

Pada akhirnya, klub-klub malam itu rontok dengan sendirinya. Jumlahnya berkurang drastis pada 1976. Hanya tersisa 15 klub malam. Miraca milik Usmar Ismail pun ikut bangkrut. Saat bersamaan, diskotek justru mulai bertumbuh. Diskotek menawarkan konsep berbeda. Lebih luwes daripada klub malam. Tanpa hostes, tari telanjang, dan musik hidup. Kebanyakan pengunjungnya anak muda. Diskotek hanya menawarkan musik dan ajojing sampai singit.

Baca juga: Sejarah Musik Dugem

Orang mulai jemu dengan sajian klub malam. Entah itu musiknya, hostes, tari telanjang, dan makanannya. Selera masyarakat terhadap tontonan hiburan juga berubah: dari erotisme ke komedi.

"Masyarakat lebih menyenangi tontonan komedi," kata Krisbiantoro, penyanyi kawakan Indonesia yang ketika itu menjadi manajer klub malam Tropicana, dalam Kompas, 2 Oktober 1976.

Tapi klub malam tidak pernah hilang dari kota-kota besar. Pemiliknya selalu mengupayakan perubahan konsep klub malam. Bisa dengan menggabungkan konsep diskotek dan karaoke atau melalui percampuran layanan pijat dan spa.  

TAG

klub malam

ARTIKEL TERKAIT

Polonia, Tanah Tuan Kebun Polandia di Medan Kaum Papa Tionghoa dari Benteng Tangerang Anak Yatim Piatu dan Terlantar pada Masa VOC Koloni Kusta di Teluk Jakarta Ketika Wabah Kusta Melanda Batavia Transportasi Publik Buat Angkut Mayat Kapitan Melayu dan Kisah di Balik Nama Cawang Kecelakaan Kereta Gara-gara Kerbau Bung Karno Meninjau Ibukota Brasilia Palembang Kota Air