Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat

Melihat kawasan di sekitar gedung Mahkamah Konstitusi satu abad lampau. Ada gedung pertemuan masyarakat teosofi.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 14 Jun 2019
Suasana Jalan Koningsplein West pada 1920-an. Tampak Museum Nasional dan dua rumah pribadi bertingkat dengan langgam modern. (Dok: Perpusnas RI)

Pagar kawat berduri, ratusan polisi, dan tameng anti huru-hara. Beginilah pemandangan keseharian di halaman depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Merdeka Barat, Jakarta, menjelang hari sidang Perselisihan Hasil Pemilu pada Jumat, 14 Juni 2019.

Polisi telah melarang massa berunjuk rasa di depan gedung MK. Mereka juga akan menutup Jalan Medan Merdeka Barat ketika sidang berlangsung demi menjaga keamanan gedung MK dan kawasan bersejarah di sekitarnya.

Gedung MK belum lama berdiri. Gedung ini mulai dibangun pada Juli 2005. Penggunaan gedung MK secara resmi berlangsung pada 13 Agustus 2007, bertepatan dengan hari jadi MK.

Advertising
Advertising

Sebelum menggunakan gedung ini, MK berkantor secara nomaden dan menumpang ke beberapa lembaga negara. Antara lain di Hotel Santika, parkir Plaza Centris, dan gedung milik Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI menyebut gedung MK berarsitektur campuran: gaya modern dan neo-klasik. Dua gaya itu terwakili oleh menara 16 lantai (modern) di belakang gedung utama dan pilar besar di sisi depan (fasade) gedung utama (neo-klasik). Paduan dua gaya ini bermaksud menciptakan kesan berwibawa, monumental, dan megah.

Baca juga: Dari Lapangan Kerbau Sampai Lapangan Monas

Pilar di gedung utama berjumlah sembilan, melambangkan jumlah hakim agung MK. Tetapi, menurut Heuken, jumlah pilar ganjil di depan menyimpang dari kode dan semangat arsitektur neo-klasik. Lazimnya pilar fasade berjumlah genap. “Akibatnya gedung gado-gado ini tampak kurang elegan dan maksud semula tidak tercapai,” ungkap Heuken.

Heuken juga menyebut ketiadaan standar perancangan gedung di Jalan Merdeka Barat ikut menyumbang ketidakharmonisan lingkungan. Keadaan ini tidak terjadi pada masa sekarang saja, melainkan juga berjejak pada masa kolonial.   

Jauh sebelum gedung MK berdiri, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Koningsplein West. Peta Koningsplein West sebelum 1900-an menunjukkan bangunan di tepi jalan masih sepi. Hanya ada sejumlah rumah dan museum. Rumah saat itu kemungkinan bergaya indische woonhuis.

Tetapi memasuki 1900-an hingga 1930-an sejumlah bangunan baru berdiri dengan beragam gaya. Antara lain bangunan milik pemerintah, rumah pribadi, kantor usaha swasta, perkumpulan teosofi, hotel, dan konsulat negara tetangga.

Ada dua bangunan menonjol milik pemerintah di Koningsplein West: gedung Bataviaasch Genotschap van Kunsten Wetenschappen (sekarang menjadi Museum Nasional) dan Rechtshoogeschool (sekarang menjadi Kementerian Pertahanan).

Baca juga: Harga Mahal di Balik Patung Gajah Museum Nasional

Masing-masing bangunan mewakili tahun dan gaya berbeda. Bangunan pertama bergaya klasik dan berasal dari tahun 1864, sedangkan bangunan kedua bergaya modern dan dibangun pada 1924.

Catatan mengenai rumah pribadi di Koningsplein West sangat langka. Dalam bukunya, Heuken hanya menghadirkan satu foto tentang dua rumah bergaya modern.

Scott Merillees, seorang kolektor kartu pos jadul, menyatakan dua rumah tersebut berlahan lebih sempit daripada rumah model mansion atau bergaya indische woonhuis. Menyiasati keterbatasan lahan, rumah tersebut dibangun bertingkat.

Baca juga: Jakarta dalam Kartu Pos

Merillees menduga bertumbuh cepatnya populasi orang Eropa di Batavia sebagai penyebab perubahan gaya rumah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kebanyakan mereka bekerja sebagai pegawai perusahaan atau pegawai negeri ketimbang pedagang besar. Penghasilan mereka lebih rendah daripada pedagang besar sehingga berpengaruh terhadap kemampuan membeli lahan.

Dua rumah tersebut kini sudah runtuh. Tergerus perluasan Museum Nasional pada dekade 1990-an. Demikan catat Merillees dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900—1950.

Bangunan swasta di Koningsplein West terekam dalam koleksi kartu pos lain milik Merillees dari tahun 1902. Sebuah bangunan beratap trapesium dan berlantai agak tinggi dengan beberapa tiang kecil di sejumlah sudut lantai menjadi kantor The Netherlands Indies Sport Company. Perusahaan ini berkutat di bisnis jual beli dan servis sepeda. Memanfaatkan demam sepeda di Hindia Belanda pada 1890-an.

Tak jauh dari kantor The Netherlands Indies Sport Company, berdiri sebuah bangunan dengan kubah kecil. Di atasnya terdapat mahkota menyerupai bintang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan (loji) masyarakat Teosofi.

Baca juga: Sukarno Dipengaruhi Freemason

Perkumpulan Teosofi berdiri di New York pada 1875. “Mereka memperoleh sambutan baik di kalangan elite Eropa dan Jawa di Hindia Belanda pada 1910-an,” tulis Merillees. Mereka memiliki jadwal pertemuan teratur di loji dan mengumumkannya di media massa. Sekarang loji beralih rupa menjadi gedung Sapta Pesona milik Kementerian Pariwisata.

Zaman bergerak. Beberapa bangunan lama di Koningsplein West sempat dirombak. Tujuannya untuk memperbaharui citra. “Usaha ini biasanya meleset. Bagian dalam dan belakang bangunan seringkali tidak diubah,” catat Heuken. Akibatnya lingkungan jadi kurang harmonis.

Kini hampir semua bangunan di Jalan Medan Merdeka Barat telah menjadi milik pemerintah, bergaya modern, dan tinggi menjulang. Terdapat satu gedung milik swasta, kantor Indosat Ooredoo di bagian selatan jalan tersebut. Beberapa bangunan tua masih tersisa. Seperti Museum Nasional. Tetapi terbenam di antara ketinggian gedung jangkung modern.

Baca juga: Lebih Dekat dengan Museum Nasional

TAG

Arsitektur

ARTIKEL TERKAIT

Dari Vila Buitenzorg ke Istana Bogor Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason Jejak Keberagaman Bangsa di Sam Poo Kong Villa Isola, dari Vila Mewah hingga Sunda Empire Raja Sriwijaya Membangun Taman Kota Ketika Arsitek Belanda Masuk Islam Gara-gara Iklan Pertunangan Palsu Awal Mula Biro Iklan Mencari Pasangan Lewat Koran Pengemis dan Kapten Sanjoto