Masuk Daftar
My Getplus

Menanti Janji Restorasi dari Gubernur DKI

Setelah mendapat janji gubernur DKI, ada harapan Masjid Jami Al Masur direstorasi. Namun, prosesnya tak mudah.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 25 Okt 2017
Jemaah sedang melaksakan salat di Masjid Al Mansur, Jakarta Pusat, Senin 23 Oktober 2017. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

DARI Jalan Sawah Lio, Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, masjid itu mencolok dengan warna hijau. Menara silinder bertingkat empat berwarna hijau yang nampak uzur menjulang dari sebelah kanan masjid. Catnya mengelupas di beberapa bagian. Kayunya pun keropos.

Tak ada halaman luas di depan masjid itu. Dari jalan aspal masuk pintu pagar langsung turun ke serambi masjid yang tak lebar, pun penuh debu jalanan.

“Makanya sering kebanjiran. Air bisa sampai sebetis. Itu karena jalan lebih tinggi dibanding sini,” ujar Cholis NS, sekretaris Masjid Jami Al Mansur, sambil menunjuk ke lantai masjid, ketika ditemui di kantor sekretariatnya.

Advertising
Advertising

Bahkan, kata Cholis, masjid pernah tak bisa menyelenggarakan salat Jumat karena bajir pada 2012. Pada Februari lalu, ruangan imam, mihrab, dan ruang utama kembali terendam. Air menggenang sedalam 60 cm. “Sekarang sih tidak segitunya,” kata Cholis.

Melewati pintu utama masjid, kekunoannya kian terasa. Daun pintu utama masih seperti aslinya, sebelum masjid dipugar di sana-sini. Di dalam ruang utama, masih dengan dominasi warna hijau, ada empat tiang utama (soko guru) yang lebih lebar dari pelukan tangan satu orang dewasa. Bagian bawah pilar bersegi delapan. Di atasnya ada pelipit genta, kemudian diikuti pelipat penyangga. Barulah diikuti pilar silinder pada batang utamanya.

Di tengah ketinggian soko guru tadi, balok-balok kayu berpagar melintang menyambung keempat pilar. Balok-balok kayu tadi gunanya menopang tangga menuju loteng. Di atasnya ada atap berbentuk limasan bertingkat tiga.

“Menaranya sudah hampir lapuk, takutnya jatuh kena orang. Di dalam masjid kayunya juga sudah keropos nanti bisa kena jamaah,” jelas Cholis.

Cholis dan pengurus pun begitu berharap ketika akhir pekan lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji memprioritaskan renovasi masjid yang berulang tahun ke-300. Sejauh ini tak banyak perhatian untuk kelestarian masjid itu.

Meski sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) sejak 1988, masjid ini baru sempat direnovasi pada 2015. Itu pun hanya perbaikan bagian langit-langitnya yang terlihat kumuh. Dananya didapat dari sumbangan donatur dan jamaah yang berhasil dihimpun pengurus masjid.

“Berharap itu bisa mendorong Pemda memberikan kontribusi besar. Setelah statement Pak Anies disaksikan banyak orang, semoga ini terealisasi dengan cepat,” harap Cholis.

Mengenang Muhammad Mansur

Masjid yang dulunya bernama Masjid Jami Kampung Sawah termasuk dalam jajaran masjid tertua di Jakarta bahkan Indonesia. Masjid ini dibangun pada 1717 oleh Abdul Muhith, anak Pangeran Tjakrajaya, Tumenggung Kerajaan Mataram yang datang ke Batavia untuk melawan Belanda.

Pada 27 Agustus 1767, sepulang menuntut ilmu di Mekah sekaligus berhaji Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin singgah di Batavia. Bersama sahabatnya, Abdul Shomad Al-Palembangi dan Abdul Rahman Al-Mashri, dia memperbaiki letak mihrab masjid. Pembetulan arah kiblat itu dilakukan bersama para ulama setempat.

Baru pada 1937, Muhammad Mansur, buyut Abdul Muhith, mengadakan perluasan bangunan. Demi menjaga terpeliharanya masjid dan makam para ulama yang ada di halaman barat masjid, di sekitar wilayah itu dibuatkan pagar tembok, sekarang menjadi pagar besi. Untuk kedua kalinya, masjid kembali diperluas dan dipugar pada 1960-an.

Cholis menjelaskan, Masjid Jami Al Mansur mempunyai peranan di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa pimpinan Muhammad Mansur, masjid ini dijadikan pusat pembangunan mental rakyat. Basis perjuangan masyarakat mempertahankan proklamasi kemerdekaan juga terjadi di sana.

“Pada 1948, Jakarta kembali diduduki Belanda, Muhammad Mansur berani melawan Belanda, tetap mengibarkan bendera merah putih di menara masjid,” jelasnya.

Belanda menyuruh untuk menurunkan bendera itu. Namun, kakek buyut ulama kondang, Yusuf Mansur itu menolak mentah-mentah. Menara itu ditembaki serdadu Belanda. Muhammad Mansur pun ditangkap.

Muhammad Mansur juga dikenal sebagai ulama yang konsisten menyebarkan keilmuannya tanpa dipengaruhi orang lain, terutama soal perhitungan hisab. “Sampai sekarang kami masih pakai hisab-nya, misalnya pemerintah berbeda kami nggak ngikutin pemerintah kami ngikutin perhitungan beliau,” terang Cholis.

Setelah Muhammad Mansur meninggal pada 12 Mei 1967 Masjid Jami Kampung Sawah berubah nama. Masjid ini dinamai dengan nama sang tokoh untuk mengenang jasanya. Hingga kini berbagai tokoh nasional pernah mengunjungi masjid ini, seperti Sukarno, Adam Malik, A.H. Nasution, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, dan Hamka.

“Kami berharap beliau bisa dijadikan tokoh Jakarta, Jakartawi. Kalau sebutan Betawi kan katanya agak kolonialis ya,” kata Cholis.

Restorasi Tak Mudah

Menyoal janji Anies Baswedan merenovasi Masjid Jami Al Mansur, nampaknya tak mudah. Pasalnya, menurut Chandrian Attahiyat, arkeolog senior di Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemprov DKI Jakarta, hanya BCB yang masuk dalam aset milik DKI Jakarta yang dapat dianggarkan melalui APBD. Artinya, bangunan milik masyarakat atau perusahaan tidak boleh menggunakan anggaran Pemprov DKI Jakarta.

“Kalau bukan (milik Pemprov, red) tidak boleh dianggarkan. Ini bisa jadi pelanggaran,” ujar Chandrian kepada Historia.

Chandrian sendiri sebenarnya menyayangkan ketentuan itu yang berakibat banyak BCB terbengkalai. Sebab, tak semua masyarakat pendukung suatu BCB memiliki kemampuan pendanaan yang mencukupi untuk melakukan restorasi.

Makanya, karena sulitnya pendanaan bagi BCB yang bukan masuk aset pemerintah, lahirlah beberapa yayasan seperti Yayasan Lingkar Warisan Kota Tua. “Jadi, perlu ada yayasan seperti ini lagi, yang bisa membantu bangunan yang memerlukan,” kata Chandrian.

Chandrian menilai perlu untuk diatur kembali mengenai penganggaran pemugaran. Bangunan masyarakat pun bisa milik perorangan, bisa pula milik publik. Tempat ibadah, seperti gereja, klenteng, masjid, dan bangunan yang digunakan bersama oleh masyarakat, seperti sekolah semestinya perlu bantuan dari anggaran pemerintah. Sepuluh tahun lalu bisa dianggarkan, namun sekarang sulit dilakukan karena adanya pengetatan anggaran.

“Secara logika memugar milik orang lain buat siapa? Kan dia punya duit juga. Padahal bisa dilakukan masyarakat dengan bikin paguyuban pemilik BCB. Mereka bisa menggalang dana,” kata Chandrian.

Meski begitu, ada cara lain. BCB milik masyarakat tetap bisa dipugar dengan cara memanggil investor seperti bangunan-bangunan di Kawasan Kota Tua. Di sana, banyak BCB bukan milik Pemprov DKI Jakarta.

“Bisa dilakukan kerja sama dengan public privat partnership, antara investor dan pemilik bangunan. Nanti terserah buat apa,” jelas Chandrian.

Menurut Chandrian, bagi BCB yang bukan aset Pemprov DKI Jakarta tetap bisa diajukan untuk direstorasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Pengajuan dilengkapi dengan rekomendasi izin dari tim sidang pemugaran. Pemohon akan diminta presentasi mengenai keinginan mereka itu. “Bukan pemiliknya (yang presentasi, red), tapi arsitek perencananya,” kata Chandrian.

Konsultasi dilakukan dengan pihak arsitek perencanaan. Dari sana didapat masukan sampai gambar perencanaan. Untuk konsultasi ini tidak diminta biaya apapun. Rekomendasi untuk lampiran perizinan bisa keluar setelah dua atau tiga kali persidangan.

Sejauh ini, khususnya bangunan masjid kuno memang tidak semua terawat dengan baik. Apalagi yang letaknya di tengah permukiman warga kelas menengah ke bawah.

Di DKI Jakarta, ada 17 masjid yang sudah berstatus BCB di lima wilayah: Jakarta Utara dan Jakarta Pusat masing-masing empat masjid, tujuh masjid di Jakarta Barat, di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan masing-masing satu masjid. Dari 17 masjid kuno itu, Masjid Angke yang paling tua, dibangun sekira tahun 1761.

“Rata-rata usianya di atas 50 tahun. Ada yang paling muda Masjid Istiqlal, tapi karena dia punya nilai sejarah, budaya, dan membanggakan negara, bisa diangkat menjadi cagar budaya,” tambah Chandrian.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola