Masuk Daftar
My Getplus

Masa Depan Bumi Manusia

Buku yang berhasil menggunakan sejarah sebagai jalan masuk memahami masa depan.

Oleh: Bonnie Triyana | 23 Apr 2018
Al Gore membahas krisis pemanasan global dalam TED 2006. Foto: Mike Lee/flickr.com.

DAVID Attenborough, seorang naturalis sekaligus pembawa acara BBC Channel mengemukakan pengalamannya 60 tahun lampau saat membawakan sebuah show pencarian hewan untuk dikoleksi kebun binatang London. “Zoo Quest” nama show yang tayang di tahun 1950-an itu membawanya pergi ke berbagai negara, mulai di benua Afrika sampai ke Indonesia. “Menangkap dan memelihara hewan dari alam liar untuk dikoleksi bukanlah hal yang dilarang saat itu,” katanya.

Namun sekarang kata Attenborough, melakukan hal yang sama merupakan tindakan melanggar hukum dan dianggap merusak lingkungan. Tak hanya soal koleksi binatang, naturalis yang mendapatkan gelar “sir” dari Kerajaan Inggris itu pun kembali mengunjungi Kalimantan, di mana dia menemukan kondisi hutan yang jauh berbeda dari apa yang pernah ditemuinya pada tahun 1950-an. Dia risau dan bergumam, “Kini sebagian hutan hujan Kalimantan ditanami pohon sawit”.  

Kerisauan Attenborough juga dirasakan oleh Al Gore, mantan wakil presiden Amerika Serikat di masa pemerintahan Bill Clinton. Al Gore menjadi orang yang paling getol mengampanyekan bumi yang semakin tua dan rentan bencana. Semenjak tak lagi jadi wakil presiden, dia semakin aktif mengampanyekan pelestarian lingkungan. Sudah lima buku lahir dari tangannya. The Future (2013) adalah buku kelima, setelah sebelumnya Inconvenient Truth (2006) banyak mengundang perhatian karena mengungkapkan lingkungan yang semakin rusak.

Advertising
Advertising

Gore bukan ahli nujum seperti halnya Nostradamus, yang mampu menerawang kehadiran seorang Hitler beratus tahun sebelum diktator pembawa celaka itu dilahirkan. Buku ini tentang masa depan bumi manusia yang bermula dari sebuah tanya: “Hal apa saja kira-kira yang mendorong perubahan global?”

Pencarian itu bermuara pada enam hal yang mengubah dunia: Per­tama: pertumbuhan ekonomi du­nia, kedua: komunikasi digital lin­tas dunia, internet dan revolusi komputer, ketiga: pergantian  dramatis keseimbangan politik, ekonomi dan militer dunia, keempat: pertumbuhan konsumsi yang tak berkelanjutan, polusi, menipisnya cadangan sumber daya alam yang penting, kelima: ilmu genetika, bioteknologi, neurosains dan ilmu pengetahuan kehidupan, keenam: hubungan manusia dengan ekosistemnya yang semakin tak harmonis. Menurut Gore, keenam hal tersebut mengubah dunia jadi lebih berbeda dibanding beberapa dekade yang lampau.

Caranya meneropong masa de­pan membedakannya dengan para pene­ro­pong masa depan lainnya, baik Alvin Toffler maupun John Naisbitt. Gore meng­gunakan pendekatan sejarah untuk menghitung apa yang bakal terjadi di masa depan.  Dia mengutip para sejarawan tentang astrolog Babylon kuno yang menggunakan penunjuk waktu ganda: satu untuk mengukur skala waktu aktivitas manusia dan satu lagi untuk melacak gerakan di luar angkasa yang mereka yakini berpengaruh dalam setiap peristiwa alam di bumi.

Untuk meramal masa depan kita, kita juga harus menggunakan cara yang sama. Satu untuk mengukur jam dan hari, dan  satu lagi untuk mengukur abad di mana gangguan dalam sistem lingkungan hidup di bumi akan terus terjadi (hlm. xix).  Menurut Gore, cara pandang kita terhadap sejarah turut membentuk cara pandang kita terhadap masa depan.

Gore juga mengutip karya Charles Lyell, Principles of Geology, yang terbit pada 1830. Lyell, sebagaimana dikutip oleh Gore, membuktikan bahwa umur bumi mencapai miliaran tahun, bukan ribuan tahun sebagaimana dipercaya di kalangan Kristen, yang berasumsi bahwa manusia diciptakan Tuhan tak lama setelah bumi terbentuk. Dan tesis Lyell menyumbangkan bentuk kerangka waktu bagi penemuan teori evolusi Charles Darwin.

Bayangan tentang masa depan pada masa lalu juga didedahkan oleh sastrawan Jules Verne, yang pada abad ke-19 telah berimajinasi tentang pendaratan manusia di bulan; kapal selam yang melintasi kedalaman samudera dan manusia yang menjelajahi bumi sampai ke pusatnya. Kini, apa yang dibayangkan itu menjadi kenyataan.

Maka Gore menengok masa lalu bumi manusia untuk mendapatkan gambaran tentang masa depan. Opti­misme memandang masa depan pa­da masa lalu menurutnya hancur be­ran­takan karena terjadinya dua perang dunia. “Cara pandang kita terhadap masa depan mulai berubah,” ujar Gore.

Ramalan Jules Verne kemudian digantikan oleh imajinasi ala Aldouse Huxley, George Orwell,  HG Welsch, dan film menggambarkan seekor monster mengerikan yang bangkit dari masa lalu karena rekayasa teknologi genetika. Atau gambaran tentang robot-robot yang datang dari sebuah masa di depan dan planet yang jauh. Semua itu kata Gore, membuat masa depan manusia terlihat begitu menakutkan.

Pertumbuhan ekonomi dunia yang terus melesat justru tak mendatangkan kemakmuran yang merata. Gore me­nelisik keadaan di Amerika di ma­na kekayaan bertumpuk pada sege­lintir orang saja. Dia sepakat dengan ekonom Joseph Stiglizt bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 1 persen warga Amerika saja dan pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan langsung oleh mereka.

Kendati menulis bahwa sistem kapitalisme yang kini dianut oleh Amerika (dan sebagian besar negara-negara di dunia) sedang krisis, alih-alih mencari sistem alternatif, Gore melontarkan gagasan agar kapitalisme memperbaiki dirinya. Kapitalisme yang mendatangkan krisis harus di­gan­tikan oleh kapitalisme lestari (sustainable capitalism) yang mampu mendatangkan manfaat bagi seluruh umat manusia.

Selama ini menurut Gore, kapital­is­me yang berkembang justru mengasingkan manusia dari nilai-nilai kebajikan dan memperluas jurang per­bedaan. Untuk itulah demokrasi, apabila dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, diharapkan bisa memberikan peluang kebebasan dan partisipasi individu yang akhirnya bermuara pada perbaikan sistem ka­pitalisme yang kini tak banyak mem­berikan peluang bagi setiap orang.

Revolusi dalam bidang teknologi komunikasi membuka peluang itu. Gore yakin melalui maraknya penggunaan internet, sosial media dan komunikasi digital memberikan peluang bagi setiap orang untuk bersuara mengenai kondisi yang terjadi di sekitar mereka. Dia kemudian memberikan contoh apa yang terjadi di jazirah Arab, di mana perubahan menuju ke sistem demokratis dipicu oleh sosial media.

Penemuan di bidang bioteknologi dan revolusi ilmu pengetahuan dalam beberapa dekade terakhir diramalkan bakal mengubah sejarah umat manusia. Dalam bab “Penemuan Kembali Kehidupan dan Kematian”, Gore mengutarakan bahwa perpaduan antara revolusi teknologi digital dengan revolusi ilmu pengetahuan tak hanya mengubah apa yang kita ketahui dan bagaimana cara kita berkomunikasi, melainkan pula mengubah cara pandang terhadap diri kita sendiri.

Teknologi DNA bukan hal aneh lagi kini. Kloning, kendati mengundang kontroversi, terus dikembangkan sebagai salah satu temuan terhebat ilmu pengetahuan rekayasa genetika dan bioteknologi. Gore menjelaskan apa yang dulu sangat tak mungkin dan dipandang sebagai kemustahilan, kini perlahan terbukti dan sedikit atau banyak menyumbangkan peranannya mengubah masa depan bumi manusia.

Buku ini menjadi tak biasa karena kemahiran Gore melompat berkelebat memberikan penjelasan atas satu persoalan ke persoalan lainnya yang dihadapi bumi manusia dewasa ini. Gore tampak terlihat sebagai seorang generalis yang dengan gesitnya menyambungkan satu persoalan ke persoalan lainnya.

Problem pertumbuhan ekonomi yang serba melesat bertemali dengan kemajuan teknologi informasi; kapitalisme yang mulai krisis berpaut dengan pentingnya demokrasi serta perbaikan sistem pasar; krisis energi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya kesemua itu membentuk masa depan manusia pada sejumlah pertanyaan yang dia temukan sendiri jawabannya.

Jawaban itu terletak pada kesimpulan tentang apa yang harus kita lakukan? (hlm. 369). Salah satu idenya untuk mengubah bumi menjadi tempat yang lebih baik buat umat manusia adalah membuka  “area publik” di dalam ruang maya internet sebagai ajang berkomunikasi dan penyampaian pendapat. Ini masuk akal seiring dengan pesatnya penggunaan sosial media di berbagai negara. Bahkan Indonesia kini dihitung sebagai negara pengguna internet kedelapan dari 10 negara pengguna internet terbesar di dunia.

Namun kemajuan membawa petakanya dan masa depan punya suramnya sendiri. Sebagaimana ke­kecewaan umat manusia terhadap produk revolusi industri yang ber­ujung kepada perang dunia, jangan-jangan semua kemajuan yang telah dijabarkan oleh Gore di buku ini pun bakal bermuara pada bencana. Itu memang disadarinya: tentang bagai­mana kerisauannya pada keterbatasan sumber daya alam dan konflik yang berpotensi meletus di depan.

Soal lain dari buku ini adalah cara pandang Gore sebagai seorang yang tumbuh di belahan dunia yang dalam sejarah hampir selalu menjadi subyek ketimbang obyek. Persepsinya terhadap sejarah dan masa depan lebih banyak dipengaruhi peristiwa sejarah yang terjadi pada lingkup kehidupannya sebagai bagian masyarakat “barat”. Mungkin dia pun sadar bahwa pada belahan dunia yang lain, betapapun  kemajuan teknologi telah merambah, manusia yang berhimpun di dalamnya tak lebih sebagai obyek pengguna teknologi (baca: target pasar), bukan penguasa ilmu pengetahuan sebagaimana yang ada pada bangsanya.

Semua itu bisa terjadi karena akumulasi modal di negeri-negeri barat telah lebih dulu berlangsung sebagai akibat langsung dari kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan terhadap negeri belahan dunia ketiga. Sementara di banyak negara dunia ketiga, seperti Indonesia, masih bergulat dengan transisi dari masa lalunya ke masa kini.

Fase sejarah dari setiap bangsa pun berbeda-beda. Apa yang terjadi kini, khususnya di negeri dunia ketiga, lebih persis lompatan yang melangkahi banyak tahapan sejarah ketimbang perubahan secara bertahap. Dengan kata lain, manusia-manusia di belahan dunia ketiga langsung pontang-panting berangkat ke masa depan tanpa lebih dulu melalui proses-proses sejarah sebagaimana yang terjadi pada manusia di belahan dunia barat. Dalam bahasa lugasnya, bangsa kita terima beres menggunakan gadget canggih tanpa lebih dulu menemukan telepon engkol.

Proyeksi Gore tentang masa depan bumi manusia mungkin terlalu ambisius bagi kita yang tinggal di belahan lain (the rest) dunia dibanding mereka yang tinggal di barat (the west). Dia memang membicarakan nasib bumi manusia di masa yang akan datang tanpa terikat batas ruang wilayah geopolitik. Tapi mungkin semua proyeksinya tentang masa depan jauh lebih menjanjikan ketika penguasaan atas semua hajat hidup orang banyak berada di tangan manusia-manusia yang tinggal di atas tanah negerinya sendiri.

TAG

buku lingkungan

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Bumi Pertiwi Hampir Mati Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang Jejak Langkah Gusmiati Suid Dardanella Menembus Panggung Dunia Bayi Revolusi Berbaju Sampul Buku Candranegara V, Sang Pengelana Pertama Bukan Raja Jawa Biasa Race, Islam and Power Bukan Catatan Perjalanan Biasa