Masuk Daftar
My Getplus

Jasa Aletta untuk Hindia

Dokter-feminis Belanda yang getol memperjuangkan hak buruh dan hak pilih perempuan. Berjasa dalam dunia medis dan perempuan di Hindia Belanda.

Oleh: Nur Janti | 10 Jun 2019
Aletta Jacobs di meja kerjanya. (Atria.nl).

PASCA-depresi selama setahun akibat kematian suaminya, Carel Victor Gerristen, pada 1905, Aletta Jacobs bangkit. Aletta kembali aktif mengampanyekan hak-hak perempuan dalam pertemuan internasional. Pada 1911, Aletta melakukan tur keliling dunia selama 16 bulan bersama rekannya, Carry Chapman Catt.

Aletta Henriëtte Jacobs merupakan dokter perempuan pertama di Belanda yang aktif dalam gerakan feminisme Eropa. Lahir di Sappemeer pada 9 Februari 1854, ayahnya, Abraham Jacobs, merupakan seorang dokter. Pun saudara-saudara lelakinya, kebanyakan berkarier di bidang medis. Namun hanya Aletta dan sudara perempuannya, Charlotte, yang jadi dokter dan apoteker sekaligus aktif dalam gerakan perempuan.

Baca juga: Yang Muda yang Keliling Dunia (1)

Advertising
Advertising

Tur yang dilakukan Aletta memang diniatkan untuk menyaksikan dan mengevaluasi kondisi sosial-politik perempuan di berbagai wilayah. Hindia Belanda, tempat Charlotte tinggal sejak 1884, masuk dalam daftar kunjung Aletta.

Aletta sampai di Hindia pada 1912. Dalam kunjungan itu, ia sempat bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg pada 18 April. Dalam buku hariannya, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, Aletta menceritakan obrolannya ketika bertemu Idenburg. Aletta sempat bersikukuh agar pemerintah mulai menerima anak perempuan untuk mengikuti program pelatihan dokter.

Menurutnya, keberadaaan dokter perempuan amat penting untuk melayani pasien perempuan. Ia bahkan mengusulkan agar gadis-gadis pribumi diterima di sekolah kedokteran supaya dokter Jawa perempuan hadir di masyarakat. Ia juga mengkritik akal-akalan pihak sekolah menolak perempuan jadi murid dalam sekolah medis.

Baca juga: Dokter Perempuan Pertama Indonesia

“Semua gadis pribumi yang melamar ke sekolah dokter Djawa ditolak, selalu dengan satu atau lain alasan,” tulis Aletta dalam buku hariannya.

Usul Aletta diterima. Sayangnya, para murid perempuan tidak bisa bekerja di layanan medis sipil. Konsekuensinya, anak-anak perempuan harus membiayai sendiri segala keperluan pelatihan.  

Untuk mengatasi itu, Charlotte bersama penulis Marie Kooij-van Zeggelen, Elisabeth van Deventer-Maas (istri anggota parlemen Van Deventer), dan penulis “Een Eereschuld” mendirikan Vereeniging tot Vorming van een Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (Asosiasi Penggalangan dana studi untuk melatih dokter wanita pribumi). Lembaga ini memberi beasiswa untuk anak perempuan yang ingin belajar kedokteran, dengan dana yang dihimpun sebesar 2000 gulden.

Dana itu dialamatkan pada mahasiswa kedokteran dan untuk membiayai pelatihan perawat. Marie Thomas diterima sebagai siswi pertama pada September 1912. Dua tahun kemudian Anna Warouw, siswi kedua, diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Keduanya orang Minahasa. Marie Thomas di kemudian hari menjadi dokter spesialis bidang ginekologi dan kebidanan Indonesia pertama, sementara Anna spesialis THT.

Baca juga: Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan

Selain membukakan jalan untuk kelahiran dokter perempuan Indonesia, Aletta juga aktif dalam perjuangan hak pilih perempuan. Laman atria.nl mencatat Aletta menduduki kursi pimpinan Vereniging Voor Vrouwenkiesrecht (VVV) selama 16 tahun (1903-1919). Aletta turun dari jabatan presiden VVV setelah tuntutan para perempuan Belanda untuk mendapat hak pilik aktif dikabulkan pada 1919. Dua tahun sebelumnya, mereka hanya menikmati hak pilih pasif.

Namun, gading mana yang tak retak. Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State menyebut Aletta berlaku bias ketika merasa rikuh dengan kehadiran perempuan pribumi dalam forum yang dipimpinnya. “Dia berharap untuk membahas masalah Belanda ini secara eksklusif dengan orang-orang Eropa. Sikap asosiasi terhadap organisasi wanita Indonesia juga sama 'maternalistiknya',” tulis Elsbeth.

TAG

Perempuan Kedokteran

ARTIKEL TERKAIT

Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Bikini dari Paris Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu