Masuk Daftar
My Getplus

Warisan Habibie untuk Indonesia

Mulai dari membebaskan tapol hingga menyelenggarakan otonomi daerah.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 14 Sep 2019
Para pelayat di pusara B.J. Habibie (Fernando Randy/Historia)

INDONESAI baru saja beduka. Bangsa ini kembali harus kehilangan salah satu putra terbaiknya . Rabu (11/9), pukul 18.05 WIB di Rumah Sakit Gatot Subroto, Bacharuddin Jusuf Habibie tutup usia. Menurut keterangan Thareq Kemal Habibie, putra kedua Habibie, penurunan fungsi jantung menjadi sebab Habibie meninggal.

Ucapan duka cita untuk Presiden RI ke-3 itu terus berdatangan dari seluruh lapisan masyarakat. Di lini masa Twitter doa terus mengalir dari warganet. Melalui akun pribadinya @jokowi, Presiden Joko Widodo pun ikut mengirim

“Bangsa ini kehilangan seorang putra terbaik, yang hidupnya didedikasikan bagi kemajuan Indonesia. Semoga kita dapat melanjutkan cita-cita Pak Habibie membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju,” tulisnya.

Advertising
Advertising
Presiden Joko Widodo saat melepas jenazah B.J. Habibie (Fernando Randy/Historia)

Semasa menjabat presiden, Habibie berusaha sekuat tenaga melakukan stabilisasi di dalam negeri. Kekacauan yang diwariskan pemerintah sebelumnya menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Habibie. Ia pun menyelesaikannya dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan penting, yang dampaknya masih bisa kita rasakan hingga hari ini.

Baca juga: Akhir Hayat Sang Teknokrat

Demokratisasi Pemilihan Umum

Tertutup. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pemilihan kepala negara dan para pendampingnya semasa Soeharto menjabat sebagai presiden RI. Keadaan yang telah puluhan tahun dirasakan masyarakat ini berakhir setelah Habibie dengan berani menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Baginya pemilu merupakan wujud demokrasi yang sesuai dengan nilai dasar Indonesia.

“Sebab, pemilu adalah cara terpenting untuk menyelamatkan dan merehabilitasi bangsa akibat peroalan-persoalan berat. Karena itu, saya benar-benar berharap agar pemilu dapat berlangsung dengan jujur, adil, dan demokratis mengingat begitu sentralnya peran pemilu,” kata Habibie dalam otobiografinya Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi.

Habibie juga menghapus peran Menteri Dalam Negeri sebagai penyelenggara pemilu, dan menggantinya dengan mendirikan lembaga politik yang demokratis, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu Pegawai Negeri, TNI, dan POLRI diatur supaya tidak memihak kepada salah satu kekuatan.

Baca juga: Kampanye Hitam Pemilu Indonesia

Peningkatan Peran Legislatif

Pada era Pemerintahan Habibie, presiden bersama pimpinan DPR dan pimpinan fraksi dapat mengatur suatu agenda pertemuan. Secara bergantian, mereka akan melaksanakan jajak pendapat di Istana Negara dan Gedung DPR/MPR. Langkah itu, menurut Habibie, ditempuh agar kebijakan-kebijakan pemerintah dapat segera diketahui oleh anggota DPR, maupun sebaliknya pemerintah dapat cepat memproleh masukan dan pengawasan dari DPR.

“Pemerintah menyambut baik digunakannya hak-hak DPR seperti hak inisiatif dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang dan hak untuk meminta keterangan dari pemerintah untuk mendapatkan penjelasan secara langsung dari Presiden di depan Sidang Paripurna DPR, sebagaimana telah dilaksanakan pada 21 September 1999,” ungkap Habibie.

Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR

Pemulihan Ekonomi

Krisis yang melanda negeri pasca pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai pekerjaan terberat pemerintahan Habibie. Dalam Reformasi Visi dan Kinerja BJ Habibie karya A. Watik Pratiknya, dkk dikatakan bahwa sejak Habibie pertama membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, upaya memulai proses pemulihan ekonomi nasional telah dilakukan. Pemerintahan Habibie berusaha keras mencegah krisis di tahun-tahun sebelumnya terulang kembali.

“Untuk mendukung terwujudnya perekonomian nasional tersebut, dan sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, maka sistem keuangan yang semakin maju perlu dikembangkan. Kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya memelihara stabilitas nilai rupiah,” kata Habibie.

Satu kebijakan utama yang diambil oleh Habibie untuk mengatasi persoalan ini adalah memperkuat kedudukan Bank Indonesia (BI). Melalui UU No. 23 Th. 1999 BI mendapat kekuatan mengatur pengendalian jumlah uang yang beredar dan penetapan suku bunga. Berkat itu, kondisi ekonomi di Indonesia perlahan membaik. Bahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pernah menyentuh angka kurang dari Rp. 6. 500,00 pada era itu.

Baca juga: Fesyen dan Krisis Ekonomi

Membuka Keran Kebebasan Pers

Selain pemulihan ekonomi makro, era pemerintahan Habibie juga diakui sebagai salah satu tonggak terpenting dalam terbebasnya pers dari kekangan penguasa. Bila sebelumnya banyak lembaga pers yang merasa takut mengungkap data dan fakta, pada masa Habibie mereka mendapat hak untuk bersuara.

Keran kebebasan pers di Indonesia ini diakui oleh Stanley Roth, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (1997-2001), sebagai langkah terpenting Habibie dalam merealisasikan gagasan reformasi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.

“Pers yang merdeka, bermoral, dan professional diharapkan dapat memelihara dinamika masyarakat yang tercermin pada keseimbangan pemerintaan informasi antara pelaku pembuat kebijakan dengan pembentuk pendapat publik, baik perorangan maupun organisasi,” ungkap Habibie.

Baca juga: Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru

Pemanfaatan BUMN

Habibie menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu pemecah masalah ekonomi masa reformasi. Ia berusaha memberdayakan BUMN agar dapat berkontribusi dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis yang saat itu sedang melanda.

Upaya pertama Habibie dalam mereformasi BUMN ini adalah dengan membuat tiga kebijakan pokok, yaitu restrukturisasi (peningkatan daya saing perusahaan melalui penajaman fokus bisnis), profitisasi (peningkatan efesiensi perusahaan hingga nilai yang optimum), dan privatisasi (peningkatan kepemilikan kepada masyarakat dan swasta asing guna terbukanya pendanaan, pasar, dsb).

Habibie berusaha menciptakan perusahaan Indonesia yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi. “Jika program swastanisasi BUMN dan optimalisasi penerimaan pajak dapat kita lakukan dengan efisien dan berkesinambungan, maka Indonesia secara bertahap akan mampu mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan bahkan mampu membiayai pembangunan secara lebih mandiri,” kata Habibie.

Baca juga: Badan Ekonomi "Sama Rata Sama Rasa"

Otonomi Daerah

Pemerataan pembangunan kembali menjadi duri di era kekuasaan Habibie. Sejak masa kepemimpinan Presiden Soeharto, yang memang menjadikan pembangun merata sebagai program utamanya, penyelesaian masalah ini tidak kunjung usai. Pemerintah menginginkan pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat dalam wilayah tertentu saja. Namun dalam prakteknya hal itu sangat sulit terwujud.

Menanggapi permasalah ini, Habibie membuat usulan agar secepatnya dibuat undang-undang baru yang dapat mendorong inisiatif pembangunan dari tatanan terendah dan memperkuat peran politisi lokal di dalam mengatur rumah tangganya sendiri.

Akhirnya dibentuk undang-undang baru yang menjelaskan hakikat otonomi di Indonesia yang bentuk negaranya kesatuan, yakni UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah.

“Kedua undang-undang ini sungguh merupakan terobosan pemerintahan BJ. Habibie untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini membelenggu daerah untuk mengembangkan otonominya,” tulis Watik, dkk.

Baca juga: Sejarah Otonomi Daerah

Perlindungan Konsumen dan Usaha Rakyat

Satu dari sekian banyak agenda reformasi yang disusun Habibie adalah memulai langkah-langkah untuk membangun sistem ekonomi kerakyatan. Sasaran dari program itu adalah memperkuat dasar ekonomi rakyat (pengusaha kecil dan menengah), yang memang menjadi kekuatan bagi dunia usaha.

Pada masa Habibie, program pemerintah tentang ekonomi rakyat baru menyentuh permukaannya saja. Pelaku usaha dan koperasi, bahkan masyarakat belum banyak yang menerima dampaknya saat itu. Namun konsep dasar yang dibawa oleh Habibie dan jajarannya saat itu terus berkembang dan akhirnya dapat dirasakan hari ini.

Guna menjaga program ekonomi rakyat terus berjalan baik, Habibie mengesahkan undang-undang untuk mengaturnya. Dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Habibie berusaha mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu.

Untuk melindungi kebutuhan konsumen, pemerintahan Habibie mengesahkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan produsen mencantumkan informasi yang lengkap tentang produk yang dihasilkannya.

Baca juga: Koperasi Penyelamat Ekonomi Rakyat

Kebebasan Berpendapat

Bebas mengutarakan pendapat menjadi hal yang tabu pada era Orde Baru. Mereka yang dianggap berbeda dengan pemerintah akan dicap pemberontak. Tak ayal banyak tokoh yang ditangkap saat itu. Wujud lain dari terkekangnya rakyat dengan aturan berpendapat ini adalah kewajiban para abdi negara mendukung Golongan Karya (Golkar). Habibie berusaha menghindari kemungkinan terburuk dari dosa masa lalu itu.

“Peralihan dari suatu sistem otoriter ke suatu sistem demokrasi yang bertanggung jawab dan berbudaya, secara damai dalam waktu sesingkat-singkatnya, adalah satu-satunya jalan yang meyakinkan untuk menyelesaikan masalah multikompleks dan implementasi program reformasi yang sedang kita hadapi dan harus lalui,“ ucap Habibie.

Pada masa ini rakyat telah bebas mendirikan organisasi tanpa perlu menghadapi peraturan yang memberatkan. Menurut Habibie, masyarakat Indonesia diberikan kebabasan mengutarakan pendapat, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum, dan dalam batas hukum yang diatur konstitusi. Demi memperkuatnya, Habibie mengesahkan UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyempaikan Pendapat di Muka Umum.

Berkat kebebasan berpendapat ini jugalah partai-partai politik bermunculan. Habibie menyerukan agar semua orang berlomba-lomba membentuk partai dan mengikutsertakannya ke dalam pemilihan umum 1999. Terbukti, sebanyak 48 partai politik mengikuti pemilu tersebut.

Baca juga: Menelusuri Leluhur BJ Habibie

Permasalahan Aceh

Habibie mencoba membuat kunci penyelesaian berbagai konflik, melalui peraturan konkret berdasarkan hukum berkeadilan, yang diyakini akan terus muncul selama negara ini berdiri. Ia ingin segala macam konflik kebangsaan diselesaikan secara demokratis, terbuka, dan bermartabat. Untuk itu Habibie memulainya dengan menyelesaikan permasalahan di Aceh.

“Saya mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk menyelesaikan semua persoalan secara damai, demokratis, transparan, tulus, adil dan beradab, dengan tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Habibie.

Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh memang menjadi soal sejak era pemerintahan Soeharto. Untuk mengatasinya, Habibie membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindakan Kekerasa di Aceh. Pemerintahannya mencoba memerhatikan aspirasi masyarakat Aceh tentang berbagai masalah di daerahnya.

Selain itu, melalui UU No.44 tentang Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh rakyat di sana memperoleh keleluasaan yang luas untuk mengurus sendiri kehidupan keagamaan, pendidikan, dan adat istiadat. Kebijakan otonomi daerah pada era ini juga membantu masyarkat Aceh mengembangkan kehidupannya.

Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie

Menyelenggarakan Rekonsiliasi

Upaya Habibie membuka jalan demokrasi di Indonesia dilakukan dengan membebaskan para tahanan politik (tapol) Orde Baru. Dalam B.J. Habibie Si Jenius: Sehimpun Cerita, Cita, dan Karya, Jonar T.H. Situmorang menyebut jika langkah Habibie memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang diasingkan pemerintahan sebelumnya merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi.

Habibie tidak membebaskan para tapol itu dalam waktu yang bersamaan. Pada 22 Mei 1998, amnesti diberikan kepada Sri Bintang Pamungkas (dipenjara karena mengkritik Soeharto), Mochtar Pakpahan (dipenjara karena dianggap memicu kerusuhan Medan tahun 1994), para aktivis petisi 50, para tarahan insiden Tanjung Priok, mantan jenderal, mereka yang dianggap PKI, dsb.

Pada 10 Juni 1998 giliran para demonstran yang menentang kebijakan Orde Baru di Timor Timur dibebaskan. Pada 24 Juli 1998, 50 tapol, termasuk terduga pelaku pemberontakan PKI, dibebaskan. Sementara para tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD), seperti Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, dan pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Leste Xanana Gusmao dibebaskan ikut dibebaskan pula. Khusus untuk PRD, para aktivisnya dibebaskan setelah partai itu secara terbuka menerima Pancasila.

Baca juga: Cinta Mati Ainun-Habibie

 

TAG

habibie

ARTIKEL TERKAIT

Gatotkaca Terbang, Mendarat di Museum Rencana Indonesia Menjual Helikopter ke Iran Ketika Habibie Harus Menyelesaikan Kasus Soeharto Empat Tokoh Idola Habibie Habibie dan Industri Strategis Curhat Habibie ke Pak Nas Habibie, Menhankam dan Tank Korea Habibie Disayang Lalu Tidak Diacuhkan Habibie Kecil dan Soeharto Muda Habibie dan Sang Jenderal