SEKALI waktu Profesor Bacharuddin Jusuf Habibie mendatangi Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution. Saat itu, Pak Nas (panggilan akrab Nasution) belum lama pensiun dari TNI. Seingatnya pertemuan dengan Habibie terjadi pada awal 1970. Habibie sendiri kala itu tengah menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Habibie datang mengeluh kepada saya. Dengan idealismenya telah ia programkan pembuatan pesawat-pesawat keperluan pertanian (penyemprotan) yang diperlukan oleh program Bimas (Bimbangan Massal Penyuluhan Pertanian - red) kita, dan ia usahakan kredit dari Jerman untuk itu,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 8: Masa Pemancangan Orde Pembangunan.
Habibie menuturkan gagasannya kepada Pak Nas tentang pengembangan teknik pertanian dengan bantuan pesawat penyemprot lahan. Dalam upaya itu, Habibie kerap mendapat sikutan. Alih-alih dieksekusi, gagasan Habibie justru mentah ditangan koleganya sesama pejabat.
Habibie juga mengatakan cadangan peralatan pesawat AU pada era Sukarno masih banyak yang bisa dimanfaatkan. Pemeriksaan dan perawatan pesawat-pesawat itu tidak perlu dibawa ke Hongkong tapi bisa dikerjakan di Indonesia. Habibie telah menghadap menteri-menteri bersangkutan dan pejabat tinggi lainnya. Tetapi satupun dari mereka tiada yang memberi respon positif.
Baca juga:
Menurut Nasution, usaha Habibie mentok karena Departemen Perhubungan tidak bersedia membangun fasilitas pemeliharaan pesawat-pesawat lama dengan kredit dari Jerman. Padahal, persediaan alat-alat untuk fasilitas itu amat banyak dan masih tersimpan dalam peti-peti. Jika digunakan akan banyak yang bisa diperbuat. Tampaknya, departemen terkait lebih senang memperbaikinya di Hongkong. Pada akhirnya, alat-alat itupun tidak terpakai dan hilang digerogoti atau rusak.
“Rupanya pula overhaul (pemeriksaan) di luar negeri merupakan satu vested interest tertentu, ” kata Nas. Bagi Nas vested interest (kepentingan poribadi) dalam program pemerintah adalah “hama” paling berbahaya, penyakit yang begitu dikutuk oleh Angkatan 66. “Sedih rasanya jika kita menyadari bahwa telah tumbuh vested interest baru pada tubuh kekuasaan Orde Baru,” kenang Nas dengan nasa prihatin.
Habibie memang punya kedekatan secara pribadi dengan Nasution. Bagi Habibie, Nas adalah kolega sekaligus pamong. Padahal, Habibie tidak punya banyak rekan dari kalangan yang berlatar belakang militer. Tentang rapatnya relasi dengan Habibie, Nasution pernah mengisahkan.
“Keluarga Habibie dari dulu dekat dengan saya,” kata Nas dalam Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution. Hubungan itu semakin dipererat dengan tali kekeluargaan. Mantan ajudan Nasution, Soedarsono (terakhir berpangkat mayor jenderal) menikah dengan Sri Rejeki yang merupakan adik Habibie. Soedarsono selama beberapa tahun menjabat Kepala Pelaksana Harian Otorita Batam yang dibentuk oleh Habibie. Nasution sendiri juga sering berkunjung ke rumah keluarga Habibie yang berada di Kuningan, Jakarta Selatan.
Baca juga: Habibie dan Sang Jenderal
Hubungan keduanya tidak lantas putus ketika pemerintah memusuhi Nasution yang tergabung dalam kelompok oposisi Petisi 50. Di masa itu, kiprah Habibie melesat sebagai Menteri Riset dan Teknologi dan mengepalai sejumlah proyek besar pemerintah di bidang industri berat. Dalam perantaraannya, Habibie berperan mencairkan kebekuan hubungan rezim Orde Baru dengan tokoh-tokoh kritis seperti Nasution dan Ali Sadikin
Pada 1993, Habibie menggelar silahturahmi Hari Raya Idul Fitri dengan kelompok Petisi 50 di kediaman Nasution. Dalam suasana itu terlihat Habibie cukup dekat dengan keluarga Nasution. Disitulah Habibie lantas berinisiatif mengundang para tokoh Petisi 50 berkunjung ke PT PAL – dimana Habibie sebagai direktur utama – yang membuat Ali Sadikin terharu.
“Saya lebih cenderung melihat B.J. Habibie sebagai orang bertakwa,” ujar Nasution dikutip Tempo, 12 Juni 1993. “Habibie dengan rencana positif itu berniat baik untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak atas apa yang dikerjakan.”
Baca juga: Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto
Dan setelah itu pula, kehormatan terhadap Nasution mulai dipulihkan. Untuk pertama kalinya sejak 1980, Nasution dikunjungi sejumlah pejabat tinggi militer. Mereka antara lain Menhankam Jenderal Edi Sudrajat, Menko Polkam Jenderal Soesilo Soedarman, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, dan lainnya. Pihak ABRI pun secara resmi menyatakan penghentian status cekal terhadap Nasution.