Masuk Daftar
My Getplus

Virus Revolusi

Revolusi yang menyebar luas punya jejak panjang dalam sejarah, dari Revolusi Amerika hingga Hari-Hari (Penuh) Amarah.

Oleh: Devi Fitria | 04 Feb 2011

NEGARA-negara Arab seolah terjangkiti virus ganas. Virus itu bernama revolusi. Demonstrasi massa yang melanda Tunisia dan Mesir –kerap disebut Hari-hari Penuh Amarah– menjalar ke Yordania dan Yaman. Terakhir, riak-riak kemarahan massa juga muncul di Syiria.

Meski pemberontakan yang muncul belakangan ini amat mengkhawatirkan, gelombang revolusi serupa telah muncul lebih dari 200 tahun silam.

Dari dampak keruntuhan Tembok Berlin pada 1989 hingga serangkaian revolusi yang melanda Eropa pada 1848, kerusuhan biasanya melahirkan kerusuhan lainnya. Komunikasi massa membuat revolusi menyebar dengan cepat dari satu tempat ke tempat lainnya.

Advertising
Advertising

“Revolusi memang dapat menular,” ujar John McManus, ahli sejarah milter di Missouri University of Science and Technology di Rola, Amerika Serikat, dalam sebuah wawancara dengan Discovery News. “Pelajaran yang dapat ditarik dari sejarah adalah Anda tak bisa menebak bagaimana sebuah revolusi berkembang, dan inilah yang membuatnya menakutkan. Anda tak bisa meramalkan ke mana kekuatan (massa) itu akan bergerak begitu mereka dilancarkan.”

Revolusi Amerika melawan Inggris pada 1776 adalah contoh paling awal. Keberhasilan revolusi ini, menurut banyak sejarawan, menginspirasi Prancis untuk memperjuangkan dan merebut kemerdekaannya pada 1789.

Revolusi dengan dampak yang lebih luas merebak di Prancis pada 1848, ketika kelompok kelas menengah ke bawah memberontak terhadap pemerintahan Raja Louis Phillipe yang korup dan elitis. Sementara Louis Phillippe melarikan diri, pemberontakan menyebar ke Jerman. Di sana rakyat memberontak karena kondisi yang hampir sama, sementara ide pemberontakan telah lama terbentuk. Revolusi lalu menyebar ke Austria, Polandia, Rusia, Italia, dan negara-negara lainnya.

“Sudah pasti revolusi di satu tempat mendorong revolusi di tempat lain,” ujar McManus. “Orang-orang melihat ini terjadi di Prancis. Yang lain kemudian berpikir, ya, (revolusi) dapat dilakukan, dan mungkin sekaranglah saat yang tepat. Di tahun itu, revolusi menyebar dengan amat cepat.”

Contoh lain adalah ketika Carolina Selatan memisahkan diri pada 1860 dari pemerintahan Amerika yang mereka anggap tiran. Alabama, Mississippi, dan negara-negara Selatan lainnya menyusul –sebuah efek domino yang berujung Perang Saudara di Amerika. Sementara kejatuhan tembok Berlin pada 1989 adalah bagian dari pemberontakan melawan komunisme di Polandia, Romania, Hungaria, Cekoslowakia, dan Bulgaria.

Menurut Ziad Fahmy, sejarawan Mesir Modern di Cornell University di Ithaca, New York, sebagaimana dikutip Discovery News, situasi di Timur Tengah saat ini melibatkan detail politik dan kultural yang unik, namun memiliki banyak kesamaan dengan apa yang terjadi di masa lalu.

Seperti revolusi menular lainnya, dia mengatakan bahwa revolusi yang terjadi tahun ini bermula dari ketidakpuasan selama bertahun-tahun terhadap rezim opresif, bersamaan dengan tumbuhnya wilayah urban dan perubahan budaya. Ketidakbahagiaan masyarakat ini hanya menunggu sebuah kejadian yang menjadi pemicu, yang kemudian akan menyebabkan efek domino.

Dalam kasus ini, pemicunya adalah aksi seorang demonstran di Tunisia yang membakar dirinya pertengahan Desember lalu. Gelombang protes yang terus membesar membuat presiden Tunisia melarikan diri, sementara di negara tetangganya pemberontakan serupa juga terjadi.

Menurut Fahmy, komunikasi adalah kunci agar sebuah revolusi bisa menular. Pada 1848, komunikasi dilakukan lewat telegraf yang baru saja ditemukan dan suratkabar yang memberitakan peristiwa di luar negeri kepada masyarakat luas.

Saat ini komunikasi yang cepat dilakukan lewat Facebook, YouTube, dan Twitter. Dan saat komunikasi elektronik gagal, para demonstran di Mesir memanfaatkan cara-cara komunikasi lawas; mereka mencetak pesan-pesan soal apa yang harus dilakukan.

Pemberontakan yang menyebar pada dasarnya berawal dari semangat yang didapatkan orang-orang saat melihat orang lain dalam situasi yang sama menuntut balas atas apa yang terjadi pada mereka –dan berhasil.

“Orang melihat ini sebagai sebuah pola yang dapat mereka ikuti. Mereka melihat bahwa itu dapat terjadi,” ujar Fahmy. “Ini kemudian menghilangkan rasa takut mereka.”

Sejarah dapat membantu para ahli memprediksi di mana revolusi akan bermula, seberapa jauh penyebarannya, dan bagaimana sebuah revolusi akan berakhir. Hasil sebuah revolusi kerap mengejutkan dan tak selalu positif. Namun melihat ke masa lalu, ujar Fahmy, tak mungkin untuk mencegah pemberontakan baru merebak di masa depan dan menyebar layaknya virus flu.

“Tak ada yang pernah belajar dari sejarah,” ujarnya. “Akan selalu ada ketidakpuasan dan akan selalu ada media komunikasi baru. Ini adalah sifat dasar manusia. Ketika orang-orang tertekan, mereka akan memberontak. [Discovery News]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Sponsor Jersey Timnas Indonesia dari Masa ke Masa Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit