Dewi Sartika dari Bandung, Kartini dari Jepara, Rohana Kudus dari Kotogadang, Rahmah El-Yunusiyah dari Padang Panjang, R. Ayu Lasminingrat dari Garut hingga R. Siti Jenab dari Cianjur. Inilah deretan nama perempuan pejuang generasi awal dalam sejarah Indonesia modern yang muncul pada abad ke-19.
Tokoh-tokoh itu berfokus pada masalah pendidikan, posisi perempuan di keluarga hingga keterampilan perempuan. Meski berasal dari kelas bangsawan, menurut sejarawan Ita Fatia Nadia dalam Dialog Sejarah “Melampaui Maskulinitas: Narasi Perempuan dalam Sejarah Indonesia” di saluran Youtube dan Facebook Historia, Selasa, 22 Desember 2020, mereka juga memiliki perhatian terhadap lingkungan di luar kelas sosial mereka.
Namun, perjuangan perempuan Indonesia tak berhenti pada nama-nama itu.
Organisasi Perempuan Bermunculan
Sejak awal abad ke-20, berbagai organisasi juga mengisi daftar panjang perjuangan perempuan. Perjuangan juga tak datang dari kota-kota besar semata, melainkan juga dari kota kecil di daerah. Putri Mahardika (1912), Keutamaan Isteri (1913), Kerajinan Amai Setia (1914), Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Hado (1915), Putri Budi Sedjati (1915), Pengasih Ibu Kepada Anak Turunan atau PIKAT Minahasa (1917), Wanita Katolik (1917), Wanito Susilo (1918), Aisyiyah dan Fatimiah (1920) merupakan di antara organisasi-organisasi itu.
Menurut Ita, organisasi-organisasi itu menjadi bagian dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia karena selain memiliki lembaga dan anggota, juga menerbitkan suratkabar sebagai media kampanye isu-isu yang mereka angkat.
“Suratkabar itu menjadi bagian dari kampanye mereka tentang bagaimana kondisi perempuan pada sekitar periode itu,” jelas Ita.
Putri Mahardika, misalnya, memiliki suratkabar Wanito Sworo yang dipimpin oleh Siti Sundari. Isinya melalui Wanito Sworo mereka menyuarakan isu bagaimana perempuan mandiri dan menentukan nasibnya sendiri, anti poligami, hingga anti kejahatan-kejahatan gender.
Baca juga: Hari (Perjuangan) Ibu
Selain Wanito Sworo, ada surat kabar Al Sjarq yang diterbitkan oleh Sarekat Kaum Ibu sejak 1914. Pada tahun yang sama, terbit pula Soeara Perempoean di Padang dan Perempoean Bergerak di Medan. Sementara PIKAT di Minahasa menerbitkan suratkabar dengan nama yang sama sejak berdiri pada 1917.
Kampanye-kampanye mengenai hak-hak perempuan kemudian mendorong dibukanya Algemene Middlebare School (AMS) untuk perempuan oleh pemerintah kolonial pada 1919. Namun, saat itu hanya perempuan dari kalangan ningrat saja yang boleh bersekolah. Baru pada 1922 Taman Siswa berdiri dan membuka sekolah untuk laki-laki maupun perempuan umum.
Pada 1926, kaum perempuan di Semarang aktif dalam menentang rendahnya upah buruh. Mereka terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintah kolonial dan sebagian aggotanya turut dibuang ke Boven Digul, Papua. Mereka dikenang sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.
Dari Daerah ke Nasional
Seiring dengannya, organisasi-organisasi kedaerahan mulai membentuk sayap organisasi bagi perempuan. Berbagai organisasi daerah ini pada 1927 bergabung dalam Indonesia Muda (IM) yang anggotanya lelaki maupun perempuan. Pada 1928, IM melahirkan Sumpah Pemuda.
Kongres Perempuan Indonesia ke-1, 22-25 Desember 1928, menjadi cacatan penting dalam gerakan perempuan Indonesia. Dalam kongres ini, berbagai organisasi perempuan melakukan konsolidasi pemikiran dan merumuskan semangat perjuangan nasional.
“Jadi bagaimana menyatukan pemikiran-pemikiran dari perempuan di Nusantara. Kemudian peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan. Perbaikan gizi karena tingginya tingkat kematian ibu dan anak. Kesehatan ibu. Kemudian melarang pernikahan dini,” ungkap Ita.
Ita menegaskan, saat itu yang menjadikan gerakan perempuan cukup kuat ialah ideologinya jelas. “Saya mau mengatakan, bedanya organisasi perempuan dengan LSM perempuan sekarang ini, mereka jelas platform politiknya. Platform politik adalah ideologinya, gagasan ideologinya apa, lokasi politik yang mereka perjuangkan apa,” imbuhnya.
Kongres tersebut kemudian melahirkan Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). PPII menyatakan diri sebagai bagian dari perjuangan nasional melawan penjajahan.
Baca juga: Bersatulah Wahai Kaum Perempuan
Organisasi perempuan lain yang cukup radikal adalah Perempuan Isteri Sedar yang berdiri pada 1930. Organisasi yan dipimpin Soewarni Pringgodigdo ini bertujuan menentang kolonialisme, menolak poligami, dan memperjuangkan hak serta kedudukan perempuan di semua kelas sosial. Ita menambahkan, Perempuan Isteri Sedar memang terpengaruh oleh Marxisme. Perempuan Isteri Sedar pada 1931 turut hadir dalam Kongres Perempuan Asia di Lahore.
Maria Ulffah, yang kelak menjadi menteri perempuan pertama Indonesia, juga mencatatkan sejarah penting. Ia mendirikan Isteri Indonesia pada 1932. Tujuannya antara lain mendorong perempuan masuk dalam Dewan Kota, anti poligami, anti kolonial, perbaikan upah buruh perempuan, dan pendidikan nasional.
Pasca-kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan bermunculan. Pada Juli 1950, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) didirikan dari gabungan 500 aktivis perempuan dan enam organisasi perempuan: Rukun Putri Indonesia (Rupindo), Persatuan Wanita Sedar, Isteri Sedar, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo), Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia.
Gerwis yang cukup radikal dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) tergabung dalam Women’s International Democratic Federation (WIDF) yang berpusat di Berlin. Kongres pertama Gerwis kemudian memutuskan penggantian nama organisasi menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Gerwani kemudian menjadi organisasi perempuan kuat sejak 1950-an hingga 1965.
Era Orde Baru
Pasca-Peristiwa G30S, Gerwani difitnah turut menyiksa para jenderal dengan keji di Lubang Buaya. Organisasi ini lalu dilarang dan dikutuki. Anggotanya ditangkap, disiksa, diperkosa dan dihilangkan paksa. Tahun 1965 menjadi titik balik perjuangan perempuan Indonesia.
Akibat G30S, wajah sejarah gerakan perempuan Indonesia berubah drastis. Ketika rezim militer berkuasa, narasi sejarah perempuan dikembalikan pada kontruksi patriarki. Perempuan ditempatkan kembali ke ranah domestik dan sejarah panjang perjuangannya seakan dihapus begitu saja. Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menyebut bahwa pasca-1965, perempuan Indonesia dibayang-bayangi oleh stigma dan stereotype yang dikonstruksikan Orde Baru.
“Jadi teman-teman perempuan yang beraktifitas di luar wilayah domestik akhirnya dicap sebagai perempuan liar, perempuan sundal,” kata Tunggal.
Meski demikian, Tunggal menyebut bahwa beberapa kelompok studi gender mulai bermunculan di kampus-kampus pada 1980-an. Yogyakarta menjadi salah satu kota yang subur bagi kelompok-kelompok ini.
Dari kelompk-kelompok studi itu lahirlah organisasi perempuan seperti Kalyanamitra, yang lahir pada 28 Maret 1985. Pada 1990-an awal, muncul pula Kelompok Solidaritas Perempuan. Menurut Tunggal, ada pula organisasi-organisasi perempuan di berbagai daerah yang belum tercatat.
Baca juga: Hari Perempuan Tak Diperingati di Era Suharto
Namun, organisasi-organisasi perempuan itu masih dihantui oleh stigma “Gerwani”. Alhasil, aktivitas-aktivitas akar rumput terkait ketimpangan gender maupun advokasi-advokasi untuk korban kekerasan seksual masih menjadi tantangan berat.
Di ujung kekuasaan Orde Baru, gerakan-gerakan perempuan kembali tumbuh. Mereka turut andil dalam Reformasi seperti yang dilakukan Suara Ibu Peduli dengan turun ke jalan.
“Dan banyak juga kelompok perempuan yang sebenarnya selain menyuarakan isu-isu khusus soal perempuan tapi juga menyuarakan isu anti Orde Baru dan juga isu anti militerisme. Nah itu jadi semacam dua musuh bersama, Orba dan militerisme pada saat Reformasi,” jelas Tunggal.
Meski demikian, Reformasi belum memberi tempat yang cukup bagi sejarah gerakan perempuan. Peran perempuan dalam penggulingan Orde Baru kurang mendapat sorotan dibanding gerakan mahasiswa.
Pasca-Reformasi, gerakan perempuan tetap berjalan. Koalisi Perempuan Indonesia lahir dari gabungan aktivis-aktivis dan berbagai organisasi perempuan. Selain itu, lanjut Tunggal, beberapa organisasi seperti Perempuan Mahardika, Kapal Perempuan, Sapa Institute, Serikat Petani Pasundan berkontribusi pada wacana demokrasi dan kebangsaan. Namun, peran mereka lagi-lagi terpinggirkan dari sejarah Indonesia.
“Karena persoalan ideologis, patriarki yang sudah mendarah daging di semua level, maka perempuan jadi luput atau dihilangkan dari narasi besar sejarah Indonesia. Ini yang sampai sekarang masih menjadi persoalan,” terang Tunggal.