SEJAK awal, Hari Perempuan Sedunia tak pernah mendapat sambutan antusias di Indonesia. Meski sudah sejak 1950-an, hanya sedikit kalangan yang memperingatinnya. “Hari Perempuan Sedunia secara khusus dirayakan oleh gerakan perempuan sosialis,” tulis Elisabeth Martyn dalam The Women's Movement in Postcolonial Indonesia.
Gerwani mempelopori peringatan itu. Hal itu tak lepas dari kebijakan Gerwani yang menjadikan tulisan-tulisan Clara Zetkin, feminis Partai Sosialis Jerman yang mengusulkan ditetapkannya tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia, sebagai bacaan wajib bagi kader-kadernya.
Ketidakpopuleran perayaan 8 Maret di kalangan organiasi perempuan membuat Gerwani mengajak banyak organisasi perempuan untuk merayakan Hari Perempuan Sedunia. Upaya tersebut berbuah ketika pada 1953 pimpinan PKI untuk pertamakalinya membahas tentang masalah perempuan pada Hari Perempuan Sedunia. Di tahun berikutnya, para perempuan menekankan tuntutan pada hak dalam perkawinan, moralitas, serta masalah lain yang dihadapi perempuan. Pada perayaan tahun 1961, Wanita Komunis (Wankom), kelompok perempuan anggota PKI (mulai disebut demikian sejak 1957), mengeluarkan pernyataan untuk memperkuat persatuan perempuan, khususnya buruh, tani, dan anti-feodal.
Meski kebanyakan organisasi perempuan yang memperingati 8 Maret adalah organisasi sosialis, Perwari tercatat pernah merayakan Hari Perempuan walaupun gaungnya tak besar. Federasi perempuan, Kowani, mulai merayakan Hari Perempuan Sedunia pada dekade 1960-an. Kowani bahkan membentuk panitia persiapan peringatan Hari Perempuan Sedunia.
Keikutsertaan Kowani dalam peringatan 8 Maret tak lepas dari pengaruh Gerwani yang semakin kuat. Sejak Kongres 1961, struktur pimpinan Kowani berubah dari Sekretariat menjadi Dewan Pimpinan, yang terdiri dari sembilan orang perwakilan organisasi anggota. Gerwani, diwakili Nyonya Mudigdo, duduk di dewan itu.
Sejak itu, perhatian terhadap Hari Perempuan Sedunia meningkat pesat. Presiden Sukarno ikut menaruh perhatian terhadapnya. Pada 1965, Sukarno menghelat peringatannya di Istana Negara sekaligus menyampaikan amanat dengan judul “Tidak ada Kompromi dengan Nekolim”.
Namun, bergantinya rezim ikut mengubah nasib peringatan 8 Maret. “Waktu era Sukarno itu ada Gerwani. Itu mungkin satu-satunya gerakan perempuan yang sangat politis. Ketika Soeharto naik, (peringatan –red.) diberangus. Masuk dalam genosida 1965 dan saat itu juga generasi feminis banyak yang hilang oleh tuduhan PKI dll.,” kata Dewi Candraningrum, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kepada Historia.
Meski pada peringatan 8 Maret 1966 Kowani dan beberapa organisasi perempuan lain masih merayakanya, dua bulan kemudian Kowani mengadakan konsolidasi internal untuk melaksanakan Tritura. Akibatnya, semua anggota yang dianggap dekat dengan PKI, termasuk Gerwani, langsung didepak.
Sejak itulah Kowani dan organisasi perempuan lain tidak merayakan 8 Maret karena dianggap berbau komunis. Posisi Kowani sebagai federasi perempuan pun melemah.
“Suharto pada 1970-an membikin Dharma Wanita, nah itu definisi wanita direduksi habis-habisan. Beda dari zaman Sukarno. Jadi ada reduksi definisi perempuan di era Suharto yang maksudnya adalah memangkas hak-hak politik perempuan. Jadi ada kemunduran yang sangat signifikan di era Suharto,” kata Dewi.
Perayaan Hari Perempuan Sedunia baru terdengar lagi ketika Seruan Perempuan Indonesia (SERUNI) mengadakan Doa antar-Iman sebagai upaya peringatan Hari Perempuan Sedunia pada 1998. “(Seruni, red.) menandai awal gerakan non-kekerasan perempuan untuk menyebarluaskan perdamaian dan toleransi sebagai respons terhadap pemilah-milahan sosial dan politik serta berbagai konflik yang merebak pada 1998-1999,” tulis Ariel Heryanto dalam Menggugat otoriterisme di Asia Tenggara.