Masuk Daftar
My Getplus

Puncak Kebangkitan (Kembali) Feminisme

Reformasi bukan hanya tentang lengsernya Soeharto, tapi juga kebangkitan kembali gerakan perempuan.

Oleh: Nur Janti | 24 Mei 2018
Debra Yatim (paling kanan) saat mengikuti aksi Suara Ibu Peduli di Bundaran Hotel Indonesia, Februari 1998. Sumber: Dok. Komnas Perempuan.

SAMBIL membawa bunga ungu, Wardah Hafidz (ketua Urban Poor Consortium) dan rekan-rekannya berjalan dari Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jalan Gatot Subroto ke Senayan. Perjalanan sejauh tiga kilometer itu mereka lakukan untuk bergabung dengan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR untuk merobohkan rezim militeristik Soeharto, Mei 1998. “Komando aksi di DPR kan dipegang mahasiswa, kami bergabung di sana,” kata Wardah.

Ketika sampai di depan pagar DPR, Wardah menaruh setangkai bunga di lubang senjata tentara yang berjaga. Ada ribuan perempuan yang ikut dalam aksi yang menandai puncak kebangkitan kembali feminisme dan gerakan perempuan Indonesia.

Sebelumnya, rezim Soeharto atau Orde Baru (Orba) menekan aktivisme perempuan. Pasca-G30S, Orba mengampanyekan feminisme dan politik perempuan sebagai sesuatu yang buruk. Gerakan perempuan secara sistematis diredam melalui Kowani yang anggotanya terdiri dari Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan organisasi perempuan yang berdiri sebelum kemerdekaan. Soeharto berhasil menjinakkan Kowani lewat Kongres Luar Biasa Kowani tahun 1966 sehingga federasi itu mendukung pemerintahannya.

Advertising
Advertising

Penjinakan itu menandai lumpuhnya gerakan perempuan. Nunuk Murniarti dalam Getar Gender menulis, periode 1966-1980 adalah masa suram bagi gerakan perempuan ketika Soeharto berhasil “melumpuhkan” Kowani. Semua organisasi perempuan diwajibkan masuk ke dalam Kowani, semua perempuan desa diwajibkan mengikuti PKK, dan semua istri pegawai negeri diwajibkan mengikuti Dharma Wanita.

“Sanksinya berat kalau ketahuan tidak memilih Golkar dan istri tidak ikut Dharma Wanita. Jabatan suami bisa diturunkan,” kata Julia Suryakusuma, penulis Ibuisme Negara, kepada Historia.

Angin segar bagi gerakan perempuan untuk tumbuh kembali muncul pada dekade 1970-an seiring menguatnya pembicaraan tentang isu perempuan dalam pembangunan di kalangan feminis Barat. Isu itu akhirnya mendapat legalitas setelah pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri (The Percy Amandement to the 1973 Foreign Assistance). Aturan tersebut, tulis Ritu Sharma dalam Woman and Development Aid, membuat Badan Bantuan Pembangunan Internasional AS (USAID) hanya mau memberi bantuan pada negara-negara yang serius menangani masalah perempuan.

Untuk mengawalnya, Departemen Luar Negeri AS mengawasi kemajuan penanganan isu perempuan sebelum memberi pendanaan pada organisasi internasional seperti PBB dan Bank Dunia. Kuatnya pendanaan AS pada PBB membikin organisasi dunia ini ikut menyoroti isu perempuan dalam pembangunan yang menyasar negara berkembang. PBB lalu menetapkan tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional lewat penyelenggaraan Kongres Perempuan Sedunia di Meksiko City.

“Ini sebenarnya keberhasilan gerakan perempuan di negara dunia pertama. Mereka berhasil memasukkan agendanya ke PBB,” kata Ruth Indiah Rahayu, pendiri Tutur Perempuan.

Sebagai anggota PBB sekaligus pengutang pada Bank Dunia, Indonesia mengikuti rekomendasi PBB membentuk departemen yang khusus menangani masalah perempuan. Pada 1978, pemerintah membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita (Kemenmud UPW) yang pada 1983 menjadi Kementerian Negara UPW.

Sejalan dengannya, publikasi penelitian para cendekiawan feminis di Kongres Perempuan Sedunia masuk ke Indonesia. Bacaan tentang perempuan dan feminisme menginspirasi ilmuwan Indonesia membentuk kelompok studi. Melly G Tan dan Tapi Omas Ihromi, menurut Saparinah Sadli dalam Berbeda Tetapi Setara, mempelopori dengan membentuk kelompok diskusi feminisme. Tapi Omas bahkan ikut mendirikan Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia pada 1979.

Gelombang kelompok studi feminisme berkembang pesat sejak itu. Organisasi nonpemerintah (ornop) sebagai wujud etika kepedulian para feminis Indonesia, bermunculan. Penelitian tentang efek pembangunan terhadap perempuan banyak dilakukan, salah satunya bekerjasama dengan sosiolog amerika Hanna Papannek.

Gelombang kedua organisasi perempuan era Orba muncul pada 1980-1998, ditandai dengan berdirinya Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) di Yogyakarta tahun 1982, Kalyanamitra di Jakarta (1985), dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) setahun kemudian. Di periode ini, gerakan perempuan terbelah. Organisasi perempuan yang sejalan dengan program rezim Soeharto, menurut Nunuk, masuk ke dalam Kowani. Sementara ornop yang menjunjung keadilan gender, berdiri sendiri.

 “Arus balik gerakan perempuan yang melawan organisasi perempuan Orba muncul pada dekade 1980-an. Pusatnya di ornop perempuan karena di masa Orba bentuk ornop yang mungkin dilakukan. Hal itu terus dilakukan sampai 1998,” kata Ruth.

Kemunculan ornop perempuan ini terus meningkat hingga pada 1990-an hadir gelombang besar gerakan perempuan. Ornop baru tumbuh subur, seperti Forum Diskusi Perempuan Yogya (FDPY), Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), Lembaga Bantuan Hukum APIK, dan Rifka Anissa.

Bersama elemen-elemen masyarakat lain, mereka terus melawan pemerintah Orba. Aksi turun ke jalan terus bermunculan, misalnya Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP) ketika merespon pembredelan media massa pada 1994 dan aksi Suara Ibu Peduli (SIP) pada Februari 1998 sebagai wujud kepedulian atas krisis ekonomi.

“Setelah SIP, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang lebih politis didirikan. Niat pendiriannya memang ingin Soeharto turun,” kata Julia.

Puncak dari gelombang besar feminisme yang mulai tumbuh kembali sejak 1980-an ini, terjadi pada Mei 1998. Ribuan perempuan turun ke jalan, ikut menduduki DPR. SIP membagikan nasi bungkus kepada mahasiswa sebagai bentuk dukungan, khas politik perempuan yang berpegang pada etika kepedulian. “Maunya 1998 ini puncak perubahan. Soeharto harus turun. Setelahnya, kami (KPI) melakukan kongres untuk membuat agenda Reformasi pada Desember 1998,” kata Ruth.

Baca Juga:

Ada Karena Desakan PBB

Kala Ibu Bersatu

Tertimbun dalam Pebredelan Pers

Perempuan Kembali Menghadapi Domestifikasi

TAG

Perempuan Reformasi Orba Feminisme Soeharto Gerakan

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Tak Akur dengan DPR, Gus Dur Lengser Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967