Masuk Daftar
My Getplus

Tamparan Berujung Pembunuhan

Kematian seorang bangsawan menggemparkan warga Makassar. Pasar malam sepi pengunjung.

Oleh: Eko Rusdianto | 04 Nov 2016
Jl. Haji Bau di Makassar. Foto: Eko Rusdianto/Historia.

Kejadian itu berlangsung dengan cepat menjelang malam, pada Sabtu, 1 Agustus 1925. Ketika sebuah dokar dengan empat penumpang dan seorang kusir, bergerak dari Kampung Jongaya menuju Makassar. Kendaraan itu diadang delapan orang yang dipimpin Daeng Toto, adik Karaeng Lengkese. Mereka membunuh empat orang, sedangkan kusir berhasil melarikan diri. Sasaran utamanya terbunuh dengan 17 luka tusukan. Nyampa Daeng Sisila, bangsawan Kerajaan Gowa, atau lebih dikenal sebagai Haji Bau.

Koran Pemberita Makassar, 4 Agustus 1925, menuliskannya sebagai kejadian yang sangat menggemparkan warga kota. Judul artikelnya “Karena Satoe Tempeleng Menghilangkan 4 Djiwa Manoesia.” Penjelasan artikelnya menyebutkan jika Nyampa Daeng Sisila, mencoba menggoda anak Karaeng Lengkese dan hendak menikahinya, tapi ditolak.

Haji Bau merasa terhina dan tak terima dengan penolakan itu. Dalam sebuah perjumpaan, dia menampar Karaeng Lengkese. Karaeng Langkese menceritakan kejadian yang menimpanya kepada keluarga. Saudaranya, Karaeng Toto merencanakan pembalasan dendam karena persoalan tersebut dianggap penghinaan. Malu besar.

Advertising
Advertising

Karaeng Toto bersama keluarga lainnya menumpang sebuah trem menuju jalur yang selalu dilalui Haji Bau. Di Jongaya –saat ini antara Sungguminasa Gowa dan Makassar– mereka menunggu di tepian. Mereka serang Haji Bau sampai tewas.

Sang kusir yang mendapat satu tusukan dengan susah payah berlari menuju Gowa dan melaporkan kejadiannya pada kontrolir di Sungguminasa. Dari laporan itulah, kemudian aparat keamanan berhasil menangkap Karaeng Toto dan pengikutnya. Masing-masing dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara.

Sejarawan Universitas Hasanuddin, Amrullah Amir mengatakan, sehari setelah pembunuhan Haji Bau terjadi, sekitar sebulan penuh beberapa lokasi di wilayah Makassar dan Gowa, dipenuhi penjagaan keamanan aparat. Tak ada warga yang berani keluar rumah hingga menjelang sore, atau bahkan berjalan sendiri. Penduduk, utamanya di Makassar merasa ketakutan akan timbulnya kericuhan dari keluarga Haji Bau. “Sepi sekali. Jadi cerita-cerita orang dan kabar angin bergerak cepat. Satu bulan itu, saya kira Makassar bagai kota yang mencekam,” katanya.

“Bayangkan, pembukaan pasar malam pada 5 Agustus itu (1925), yang dihadiri gubernur jenderal Hindia Belanda Celebes dan pejabat lainnya, menjadi sepi pengunjung,” lanjut Amrullah Amir.

Siapa Haji Bau sebenarnya? Dia adalah anak dari Raja Gowa ke-32, I Kumala Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid (1815-1893) dari perkawinannya dengan Daeng Meneq. Haji Bau juga merupakan paman Raja Gowa ke-33, Karaeng Lembangparang yang gugur dalam pertempuran penaklukan Gowa pada 1906.

Sedangkan Karaeng Lengkese dengan nama lengkap Cincing (Tjintjing) Daeng Makkilo adalah putra bangsawan, I Mallombasang Daeng Mattawang dan ibunya I Patimasang Karaeng Sanggirangang, putri dari Gutto Datu Lulu Karaeng Sanrobone.

Antara Haji Bau dan Karaeng Lengkese memiliki kekerabatan. Rumah mereka berdekatan dan bermain bersama semasa kecil. Ketidaksenangan Karaeng Lengkese pada Haji Bau karena perangainya yang keras dan selalu bertindak di luar kendali kebiasaan. “Tapi jauh dari pada itu, saya kira ini dampak yang ditimbulkan Belanda ketika 1906, benar-benar telah menguasai hampir Sulawesi Selatan –penaklukan Gowa. Bisa pula sebagai konflik dan persaingan antarbangsawan,” kata Amrullah Amir.

Haji Bau meninggal dunia di usia 50-an tahun. Memiliki tubuh tambun dan besar tinggi. Menggunakan kacamata bergagang emas dan memiliki kebun yang luas di wilayah Pakatta. Sebagai bangsawan tinggi, tak mengherankan dia memiliki akses terhadap pengusaan dan melaksanakan ibadah haji.

Namun, kata Amrullah Amir mengutip laporan Friedericy, kontrolir Belanda di Sungguminasa (1925-1928), menyatakan, jika Haji Bau berhubungan dengan sedikitnya 70 kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah Makassar dan sekitarnya. “Dalam versi Friedericy, Haji Bau adalah seorang pelindung dari beberapa kelompok-kelompok perampok yang menyusahkan sistem pemerintahaan Belanda di Sulawesi Selatan,” katanya.

Kini, Haji Bau diabadikan menjadi nama jalan dalam kawasan penting di Makassar. Jalan Haji Bau berada di dekat Pantai Losari Makassar dan di sana berumah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jalan itu, tak begitu panjang, hanya beberapa ratus meter, dan hanya ada beberapa rumah saja, selebihnya adalah hotel.

Ketika menemui beberapa orang di kawasan itu, pada Senin 17 Oktober 2016, dan bertanya mengenai Haji Bau, tak ada yang bisa menjawab. Bahkan seorang juru parkir beranggapan jika Haji Bau, adalah keturunan dari Haji Kalla, orang tua Jusuf Kalla.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia