INSPEKTUR kepala JJ Harlingen bersemangat. Setelah “diistirahatkan” cukup lama, dia mendapat tugas baru sebagai komandan detasemen Polisi Lapangan (Veldpolitie) di Curup, Rejang Lebong, Bengkulu.
“Korps Polisi Lapangan dan Dinas Reserse Daerah didirikan dalam tahun 1920. Adapun maksud pembentukan Polisi Lapangan adalah untuk menyelenggarakan keamanan di daerah luar kota,” tulis Soeparno Soeriaatmadja dalam Sedjarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik-Modern.
Tugas baru itu menjadi kesempatan emas buat Harlingen, yang dikenal reputasinya sebagai polisi intelek, membuktikan kecakapannya sebagai polisi. Tugas itu sekaligus tempat untuk membuktikan dirinya tidak bersalah dalam penugasan sebelumnya di Muara Enim.
Di Muara Enim, Harlingen kehilangan muka akibat lalai dalam tugas. Kelalaiannya membuat para bawahannya leluasa menggunakan kekerasan, hal yang penggunaannya hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, dan melakukan perampasan kebebasan secara melawan hukum. Kepolisian dan pemerintah pusat di Batavia dibuat malu. Jaksa agung langsung mencopot Harlingen dari jabatannya.
Affair
Harlingen memulai tugasnya di Curup pada Februari 1935. Selain bertanggung jawab atas keamanan 30 bawahan langsungnya dan wilayah Curup, dia bertanggung jawab mengawasi detasemen Polisi Lapangan yang ditempatkan di Moeara Anam dan Kroe.
Beratnya tugas Harlingen tak semata berasal dari luas dan terpencilnya wilayah kerja saja. Penduduk setempat, yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil bernama marga yang dipimpin pasirah, memandang sebelah mata Polisi Lapangan dan penduduk Curup juga dikenal Harlingen, berdasarkan gambaran negatif dari pemerintah, sebagai masyarakat yang gemar merampok dan membunuh.
Tantangan berat itu memicu semangat Harlingen untuk membuktikan kinerjanya. Dalam waktu sembilan bulan, Polisi Lapangan berhasil menuntaskan 76 kasus yang terkatung-katung penyelesaiannya sembari terus mengungkap kasus-kasus baru.
Dengan bangga Harlingen menuliskan 15 kasus pembunuhan yang diungkap detasemennya di Majalah De Politie edisi Desember 1935. Mayoritas pembunuhan, menurutnya, dilakukan penduduk Redjang dengan korban pendatang asal Jawa yang dikontrak untuk menggarap perkebunan. Motif pembunuhan umumnya masalah ekonomi dan kecemburuan sosial.
Kasus pertama yang berhasil diungkap Polisi Lapangan adalah pembunuhan perempuan Jawa bernama Mar oleh pria Redjang bernama Moer. Kasus paling spektakuler dari kinerja anak buah Harlingen itu rekonstruksinya diabadikan menggunakan foto dan pelakunya menunjukkan tengkorak korban yang disembunyikan di bawah sebuah pohon.
Tengkorak itu lalu diambil Harlingen dan diletakkan di meja kerjanya. “Tengkorak Ibu Mar menjadi perlambang dari keberhasilan Harlingen. Itulah yang menjadi titik tolak bagi ikhtiarnya untuk membersihkan untuk selamanya wilayah Redjang dari gerombolan penjahat yang dalam bayangannya sudah menjadi ancaman mengakar yang serius,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Namun, upaya Harlingen memajang tengkorak Ibu Mar justru menjadi blunder. “Tengkorak itu kerap digunakan oleh Harlingen untuk mengancam dan menakut-nakuti tersangka atau saksi, yakni agar mereka mau mengaku atau memberi keterangan yang diperlukan dalam penyidikan.”
Pers mencium ketidakberesan penanganan kasus-kasus oleh detasemen Harlingen. Selain berangkat dari kecurigaan pada banyaknya kasus yang berhasil diungkap Polisi Lapangan dalam waktu relatif singkat, pers juga curiga terhadap banyaknya laporan saksi kepada jaksa agung mengenai banyak nama orang yang disebut sebagai korban pembunuhan ternyata masih segar-bugar.
Pers mencurigai kasus-kasus yang diungkap Polisi Lapangan sebagai kasus fiktif. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya korban yang berhasil ditemukan setelah Ibu Mar. Dalam pembuktian kasus-kasusnya, Harlingen hanya menyebut keterangan para saksi dan tersangka. Dari laporan para saksi dan tersangka, pers juga mendapati penggunaan kekerasan oleh polisi kepada saksi atau tersangka selama proses penyidikan.
Sorotan terhadap kinerja Polisi Lapangan makin tajam saat sebuah kasus diberitakan Javabode edisi 20 Oktober 1935. Kasus itu bermula dari penangkapan seorang tersangka. Saat digelandang ke markas Polisi Lapangan untuk diinterogasi, tersangka mencoba melarikan diri. Polisi terpaksa menangkap dan memukulinya sampai pingsan dan darah keluar dari hidung dan telinganya. Tersangka itu lalu dimasukkan ke dalam sel. Keesokan harinya, dia ditemukan tewas. Berita yang tersebar, tahanan itu kemungkinan bunuh diri.
Kabar kematian tahanan itu membuat geger pemerintah di Batavia. Anggota Volksraad Soetardjo Kartohadikoesoemo pada 30 Oktober mendesak pemerintah menyelidiki kasus tersebut plus kinerja kepolisian Curup. Jaksa agung, yang sebelumnya kerap menerima surat aduan dari penduduk di Redjang, langsung menindaklanjutinya dengan memerintahkan Residen Bengkulu (dulu Bengkoelen) W. Groeneveldt untuk menyelidiki dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di Curup.
Laporan Groeneveldt tidak memuaskan pemerintah pusat. Pada awal 1936, jaksa agung mengirim wakilnya, Van Maanen, untuk mengambilalih penanganan kasus di Curup. Begitu tiba di lokasi pada pertengahan Januari 1936, Van Maanen langsung melekakukan investigasi. Dia mewawancarai banyak orang: Harlingen, anggota Polisi Lapangan, pejabat kulit putih dan pribumi, korban, saksi, dan para pengirim surat aduan. Van Maanen juga memeriksa berkas-berkas terkait, mulai berita acara pemeriksaan polisi, buku register harian kepolisian, hingga berita acara Rapat atau perkumpulan yang terdiri dari pasirah dan masyarakat Redjang.
Banyak kejanggalan dan pelanggaran serius oleh kepolisian dan pengadilan yang ditemukan Van Maanen. Namun, dia kesulitan memastikan apa yang sebenarnya terjadi di Curup. “Tidak ada satu pihak pun yang berdiri netral dalam kasus Tjoeroep. Semua pihak, para kepala marga, informan-mata-mata polisi, reserse, tersangka, saksi-saksi, para pelapor –bahkan juga komandan kepolisian setempat dan pemerintah Eropa (residen Van der Poel dan komisaris besar polisi, Wilten, keduanya lalai mengawasi kinerja polisi lapangan dan peradilan), memiliki agenda dan kepentingan yang berbeda-beda,” tulis Marieke.
Meski dengan sangat hati-hati, Van Maanen menuliskan laporannya secara teliti dan kritis. Ada beberapa poin yang dilaporkannya. Antara lain, Polisi Lapangan Curup menggunakan metode penyidikan yang amat menyimpang dari prosedur, Polisi Lapangan menggunakan kewenangannya untuk merampas kebebasan secara melawan hukum, sembarangan dalam menetapkan status tersangka dan saksi, korup, intimidatif, dan intervensif terhadap proses pengadilan.
Dari penyelidikan itu pula Van Maanen menemukan banyak kasus pengungkapan kasus pembunuhan yang dibanggakan Harlingen sebenarnya tidak pernah terjadi. “Van Maanen setidak-tidaknya mengungkap dua kasus laporan palsu. Salah satunya berkenaan dengan kasus pembunuhan Ibu Mar: rekonstruksi foto pembunuhan tersebut ternyata diperoleh berdasarkan keterangan seorang tersangka yang mendapat tekanan dan itu pun kemudian ia terbukti bukan pelakunya,” tulis Marieke.
Atas temuan itu, Van Maanen merekomendasikan agar Harlingen dimutasi dan dihadapkan ke pengadilan pidana. Sementara mendiskusikan rekomendasi Van Maanen, jaksa agung memutuskan untuk membatalkan proses pemeriksaan pengadilan yang sedang berjalan dari kasus-kasus pembunuhan di Curup karena dianggap tidak berkekuatan hukum.
Pemerintah pusat sepakat menganggap Skandal Curup mencemari kewibawaan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, para petinggi di pusat menjatuhkan sanksi administratif ringan kepada para pejabat pemerintahan lokal. Harlingen sendiri dipindahtugaskan ke Bengkulu pada Februari 1936 dan hanya diberi kewenangan mengerjakan pekerjaan administratif sementara tuntutan pidana terhadapnya tetap berjalan.
Harlingen menjalani sidangnya di Raad van Justitie (pengadilan untuk golongan Eropa) Padang selama 14 hari pada Desember 1937. Meski jumlahnya sudah dikurangi, dakwaan terhadapnya meliputi tiga hal. Pertama, merampas kemerdekaan secara melawan hukum; kedua, pemalsuan surat; ketiga, menggunakan paksaan atau ancaman kekerasan untuk mendapat pengakuan.
Pengadilan akhirnya memutus bebas Harlingen karena menganggap dakwaan yang dituduhkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Pemerintah, tulis Marieke, akhirnya menyelesaikan perkara Harlingen dengan cara yang kerap dipergunakan untuk menutup kasus-kasus serupa. Pada awal 1939, Harlingen diberitahu akhir April harus sudah berhenti atau mundur dari kedinasan.
Kesempatan emas itu dimanfaatkan Harlingen dengan mengajukan pengunduran diri. Dia mendapatkan pemberhentian dengan hormat. Nama baiknya selamat dari pencorengan publik.
"Dengan mengambil tindakan setengah hati dan menyapu ‘cara kerja kepolisian yang jorok’ ke bawah karpet, negara kolonial berhasil mencegah eskalasi afair di atas menjadi skandal publik,” tulis Marieke.