Masuk Daftar
My Getplus

Seperti Trumbo, Jim, dan Rakim

Tiga orang, tiga cerita dengan dua macam nasib. Hidup memang tak selalu seperti film yang meraih mujur di akhir cerita.

Oleh: Bonnie Triyana | 27 Mar 2017
Dalton Trumbo (1905-1976).

Seorang narapidana berkulit hitam melepas topinya dan berdiri. Matanya menatap penuh tanya kepada Trumbo, narapidana lain yang belum lama masuk penjara. “Kudengar kau seorang penulis, juga seorang komunis. Apa yang salah dengan kalian?” kata narapidana itu kepada Trumbo. Tak ada jawaban.

Adegan itu terdapat di film Trumbo (2015), sebuah film yang berkisah tentang James Dalton Trumbo, penulis terkemuka dari Amerika Serikat yang harus melewati masa-masa sulit karena namanya termasuk di dalam daftar hitam orang komunis yang patut dicurigai sebagai pengkhianat dan mata-mata.

Dia merasa tak pernah berbuat tindakan kriminal apapun sehingga tak perlu mengaku sebagai orang yang patut dihukum hanya karena menjadi seorang komunis. Akan tetapi dalam situasi di mana tafsir atas benar atau salah hanyalah milik penguasa, tak banyak yang bisa diperbuat oleh jelata seperti Trumbo kecuali masuk penjara karena dianggap melawan kekuasaan.

Advertising
Advertising

Nasib Jim alias James B Donovan seorang pengacara asuransi yang diperankan oleh Tom Hanks dalam film Brigde of Spies (2015) nyaris mirip Trumbo. Walau tak seapes Trumbo yang masuk penjara, Jim jadi bahan ejekan massal ketika membela Rudolf Ivanovich Abel, agen spion Soviet yang tertangkap di New York, Amerika Serikat.

Jim bersikeras membelanya bahkan berhasil membuat Abel tak dijatuhi hukuman mati sebagaimana yang diinginkan kebanyakan orang saat itu. Jim makin dibenci, sebagaimana orang yang sedang dibelanya. Tanpa bisa dihindari, dia pun bak mendapatkan vonis sosial sebagai penjahat yang turut dalam kejahatan yang tak pernah diperbuatnya.

Kisah Trumbo dan Jim yang digambarkan di dalam kedua film tersebut, sebagaimana biasanya film-film Hollywood lainnya, selalu berakhir bahagia. Trumbo, kendati sempat selama beberapa tahun menyembunyikan identitasnya sebagai penulis skenario film, membuka jatidirinya bahwa dia adalah penulis dari film-film box office kala itu.

Namanya menjulang setinggi langit. Orang-orang mulai mafhum bahwa Trumbo tak lebih dari seorang penulis berbakat dengan karya gemilang. Label buruk sebagai komunis luruh dengan sendirinya. Dia pun diganjar Oscar dua kali dan beragam penghargan untuk penulisan naskah film lainnya.

Sedang Jim, yang sempat mendapat cercaan dan makian karena menjadi pengacara seorang komunis, juga berakhir bahagia. Abel yang dibelanya dari hukuman mati ternyata berguna untuk menukar dua warga Amerika yang masing-masing ditahan oleh Uni Soviet dan Jerman Timur. Presiden John F. Kennedy pun mengangkatnya sebagai negosiator pembebasan tawanan dalam peristiwa Teluk Babi di Kuba.

Tapi kisah Rakim nun di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah sana tak seindah kisah Trumbo dan Jim sebagaimana tergambar dalam filmnya. Sebelum 1 Oktober 1965 Rakim pegawai negeri di rumah sakit Purwodadi. Dia juga anggota Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang kerap diasosiasi dengan PKI. Pada zaman itu menjadi anggota serikat buruh hal yang lumrah. Bahkan senafas dengan zaman di saat politik sangat dinamis.

Seminggu setelah 1 Otkober 1965, Rakim diharuskan lapor ke kantor polisi. Sebagai warganegara yang taat hukum, dia pergi ke kantor polisi Purwodadi. Tanpa pernah diduga, kedatangan itu tak berakhir pada kepulangan selama hampir 14 tahun. Dia dituduh ikut dalam persekutuan jahat membunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat di Jakarta.

Tak pernah ada kesempatan membela diri, apalagi peluang membebaskan diri dari segala macam tuduhan yang tak pernah dilakukannya. Bebas dari 14 tahun pemenjaraan tak berarti happy ending seperi yang dialami Trumbo atau Jim. Harta bendanya hilang, Anak-istri terlantar. Kehilangan pekerjaan dan harus bertahan hidup sebagai penggarap sawah di atas lahan milik orang lain.

Derita masih bertambah: dia dan ratusan ribu penyintas serta keluarganya harus mengalami diskriminasi: label bekas anggota organisasi terlarang pada KTP, tak punya hak untuk dipilih dan tujuh turunannya tak boleh menjadi pegawai negeri. Kisah Rakim dan generasinya menjadi kisah yang dihitamkan sekaligus disembunyikan oleh kekuasaan.

Lantas pada hari-hari belakangan ini, sontak mendadak simbol palu-arit bertebaran di mana-mana, seakan-akan sedang ada perayaan bahwa yang telah ditumpas akan kembali hadir. Yang telah (di)kalah(kan) dan dihilangkan tiba-tiba saja menjadi momok menakutkan. Bersamaan dengan itu, Soeharto sang pemenang, yang telah terjerembab jatuh dari kursi kekuasaan yang didudukinya selama 32 tahun, digadang-gadang sebagai pahlawan.

Dan entah dari mana datangnya, ada orang-orang yang beringas dan marah memekik, “perang....perang...perang!”. Mereka kalap: membubarkan diskusi, pemutaran film dan menyita buku-buku kiri. Mereka semua siap bertempur, mungkin juga siap untuk membunuh sebagaimana sebuah pertempuran. Tapi pertanyaannya: apakah orang seperti Rakim yang kian renta itu musuh negara yang harus ditaklukan? Apakah anak-anak muda yang hendak melepas beban kelam masa lalu yang penuh ketakutan dan penindasan juga sebuah ancaman? Hidup memang tak seindah film Hollywood, semakin tak lagi bisa dibuat indah karena orang-orang marah tak pernah bisa mau berdamai dengan sejarah.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I)