SUATU hari di Jakarta pada 1964. Batalyon II Resimen Tjakrabirawa (Tjakra) dari unsur KKo AL (Korps Komando Angkatan Laut) tengah berlatih terjun payung di Lapangan Banteng, Jakarta. Saat itulah, tetiba muncul satu truk berisi puluhan prajurit RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Sembari berkeliling Lapangan Banteng, para prajurit muda tersebut mengeluarkan kata-kata ejekan kepada para anggota Tjakra.
“Saya lihat sebagian dari mereka berjoget sambil memainkan pinggulnya mengejek kami…” kenang Kopral (Purn) Ali Mutaqiem, 75 tahun, kepada Historia.
Jengah dengan prilaku kawan-kawan satu angkatannya, instruktur terjun payung Tjakra yang juga dari unsur Angkatan Darat (AD) lantas menghentikan truk tersebut. Namun baru saja truk berhenti, para prajurit Tjakra yang sudah tak bisa lagi menahan amarah, langsung menyerbu para prajurit RPKAD itu. Maka tak pelak lagi terjadilah perkelahian satu lawan satu yang berakhir dengan mundurnya anak-anak RPKAD ke arah Pasar Senen.
Kendati sama-sama anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), RPKAD dan Tjakra memang tak pernah akur. Ada saja soal-soal yang membuat mereka bentrok, mulai soal ejek mengejek hingga rasa kesal karena perlakuan pemerintah pada saat itu yang kesannya lebih “memanjakan” Tjakra dibanding kesatuan-kesatuan lain termasuk RPKAD.
Sebagai salah satu buktinya, menurut Kosim, 77 tahun, seragam Tjakra jauh lebih bagus dibanding tentara-tentara lain. Begitu juga soal fasilitas seperti senjata, makanan dan uang gaji. “Tapi soal baret, lucunya mereka awalnya minta dan meniru warna kebesaran kesatuan kami”ujar pensiunan Letnan RPKAD itu.
Kata-kata Kosim memang benar adanya. Menurut AKBP Mangil Martowidjojo (Komandan Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa) pada awal pendiriannya mereka memang mempergunakan baret merah RPKAD. “Letnan Kolonel CPM Sabur (Komandan Resimen Tjakrabirawa) pernah meminjam baret dari RPKAD, yang kemudian dicelup hingga menjadi merah tua. Inilah yang menjadi pembeda dengan baret warna merah darah milik RPKAD,” ujar Mangil dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967.
Nah, kemiripan warna baret inilah yang kerap menjadi masalah. Para anggota RPKAD berpendapat Tjakra tidak pantas memakai baret warna merah (yang untuk mendapatkannya saja perlu keringat dan darah dalam suatu seleksi pelatihan para komando yang sangat ketat). Sebaliknya prajurit Tjakra pun selalu merasa paling penting karena kedudukannya sebagai pelindung langsung keselamatan Presiden Sukarno.
“Situasi tegang itulah yang kerap memicu konflik kecil-kecilan di antara para prajurit dari dua kesatuan ini di lapangan,” ungkap Kolonel (Purn) H.W. Sriyono, eks anggota Tjakra dari unsur Corps Polisi Militer (CPM).
Bentrok yang paling besar terjadi di sekitar Pasar Senen dan Kwini pada 1964. Saat itu, menurut Jenderal (Purn) L.B. Moerdani alias Benny Moerdani, sekitar satu batalyon RPKAD berhasil menewaskan 10 prajurit KKo dan hampir saja menghancurkan markas besar kesatuan elit AL itu (yang juga dijadikan asrama Tjakra dari Yon II) dengan tembakan bazooka jika tidak dia cegah. “Benny dengan tegas memerintahkan anak buahnya untuk pulang kembali ke asrama mereka di Cijantung,” demikian menurut Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis.
Namun soal ini dibantah keras oleh Ali Mutaqiem. Alih-alih mengakui versi yang diceritakan oleh Benny, ia malah menyebut dalam kejadian itu justru sepuluh korban tewas itu berasal dari RPKAD sedang dari pihak KKo hanya beberapa luka berat dan ringan. “Salah satunya adalah kawan saya yang sampai sekarang cacat akibat kejadian tersebut,” ungkap eks anggota Tjakra yang kala itu berpangkat Prajurit Satu.
Ali juga masih ingat, Benny yang disebutnya “memimpin” penyerbuan itu sempat masuk dalam teleskop penembak runduk Yon II bernama Prajurit Dua Soekandar. Namun untunglah saat itu, Kapten Moeranto bisa mencegahnya. “Biar saya yang menangkap dia!” teriak Wakil Komandan Batalyon II Tjakra tersebut.