HAWA panas di luar kantor pusat PBNU, Jalan Kramat Raya 104, (15/87) merembet ke ruang pertemuan lantai lima gedung tersebut. Tak kurang dari 50 orang, hampir semua lelaki rata-rata berusia lebih dari setengah abad, berkumpul untuk mengikuti acara “deklarasi menentang hasil penyelidikan Komnas HAM tentang pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.”
Ada 23 orang yang menadatangani deklarasi itu. Mereka mewakili lembaga dan perorangan, di antaranya PPAD, PBNU, Barisan Nasional, Padmanagri, PPM, FPP 45, FKPPI, YKCB, DHN 45, Universitas Jaya Baya, Yayasan Jatidiri Bangsa, dan beberapa purnawirawan TNI. Dalam acara tersebut, hadir pula mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga dan penyair Taufik Ismail.
Isi deklarasi menyebutkan, terkait aktivitas para mantan anggota PKI akhir-akhir ini, yang ditandai dengan: munculnya rencana permintaan maaf Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para mantan anggota PKI, yang mereka katakan sebagai korban G30S tahun 1965-1966; adanya tuntutan Komnas HAM untuk membentuk pengadilan HAM atas pelanggaran HAM berat 1965-1966; dan berbagai aktivitas dari para mantan PKI di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
"Masih jelas dalam ingatan yang menimbulkan banyak korban jiwa, sejak pemberontakan PKI 1948 sampai dengan Pemberontakan G30S/PKI 1965. Kita juga sudah sangat paham, bahwa PKI sangat pandai melakukan infiltrasi/penyusupan," demikian isi deklarasi. "Maka wacana serta kegiatan tersebut di atas, jelas mengindikasikan adanya upaya kebangkitan mereka, dengan melakukan manuver politik secara sistematis."
Baca juga: Mengapa PKI Berjaya?
Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Ali, yang menandatangani deklarasi itu, mengatakan bahwa persoalan 1965 adalah persoalan kebangsaan. Pemecahannya merupakan bagian dari ukhuwah fathoniah, hubungan dalam berbangsa. "Peristiwa 1948 dan 1965 ini memang terjadi saling bunuh-membunuh, culik menculik. Beberapa kyai hilang, terus waktu kami barzanji dilempari ular, terus ada pentas ludruk Sedane Gusti Allah. Ini benar-benar terjadi waktu itu," kata As’ad.
Menyoal permintaan maaf Presiden SBY kepada korban pelanggaran HAM 1965-1966, As’ad menegaskan bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan karena akan muncul dampak hukum di belakang hari. "Apa yang dilakukan Gus Dur terhadap korban 1965 itu sudah lebih dari cukup, buat apa minta maaf," tegasnya.
Menurut Ketua Umum PP GP Ansor, Nusron Wahid, masalah 1965 tidak perlu diungkap karena situasi zaman pada saat itu adalah suasana perang ideologis. "Dalam sejarah ada dikenal zeitgeist, jiwa jaman. Dalam konteks masa itu adalah masa perang dingin. Ada PKI yang mati, lalu juga ada kyai yang mati, sama-sama toh. Rekonsiliasi biarkan berlangsung secara alamiah dan berbudaya. Kita kan tidak ingin gontok-gontokan terus," ujar Nusron.
Nada keras dilontarkan wakil dari Aliansi Anti Komunis, "Kekuatan komunis tidak dapat hancur hanya dengan menggelar konferensi pers, membuat surat pernyataan, namun harus nyata, dengan perlawanan. Mari kita bikin kembali pos-pos komando guna membendung bangkitnya PKI." Segenap peserta yang hadir menyambutnya dengan pekik "merdeka!"
Wakil dari Permak (Persatuan Masyarakat Anti Komunis) menimpali, "Yang mendukung dan menghidupkan komunis akan kami sikat."
Acara ditutup dengan peryataan bersama yang dibacakan oleh Ketua Umum PP GP Ansor, Nusron Wahid. Yaitu "tidak boleh ada ideologi lain selain Pancasila; menegaskan kembali Tap MPRS XXV/1966 sebagai konsensus bangsa untuk membentengi Pancasila dan melindungi rakyat Indonesia yang religius dari ancaman ateisme dan UU No. 27 tahun 1999 tentang Keamanan Negara; menolak keras semua bentuk permintaan maaf dari pemerintah/ presiden terhadap korban G30S/PKI 1965-1966, rekonsiliasi biarkan berlangsung secara alamiah dan berbudaya; menolak dibentuknya peradilan HAM adhoc terhadap pelanggaran HAM berat seperti yang dipersepsikan Komnas HAM; dan mewaspadai bangkitnya komunisme dan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila."
Dalam siaran pers dari PBNU yang dibagikan usai acara deklarasi, PBNU mendorong rekonsiliasi alamiah dan berbudaya dengan dialog terbuka. "Dengan adanya dialog terbuka diharapkan kedua pihak saling memahami posisi masing-masing, sehingga bisa saling memaafkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan sebagai langkah penting untuk melakukan rekonsiliasi."