“TURUN, turun. Turunkan Mubarak!” dan “rakyat harus mengakhiri kekuasaan rezim ini!” teriak massa yang marah di sekeliling masjid Al-Istiqama di Giza Square, Kairo, Mesir usai salat Jumat, 28 Januari lalu, sebagaimana dilaporkan BBC.
Dalam hitungan menit, meriam air menghujani para demonstran. Diikuti bunyi dentuman keras ketika polisi menembakkan gas air mata. Orang-orang berlarian di sepanjang jalan, sambil menahan efek gas yang membuat mata mereka berair. “Biarkan dunia melihat apa yang terjadi di negeri ini,” teriak seorang laki-laki tua, ”kami tak akan berhenti… sampai pemerintahan ini tumbang.”
Sejak 25 Januari, seluruh penjuru Kairo dan beberapa kota besar lain di Mesir dilanda kekacauan. Orang-orang seolah kehilangan rasa takut dan turun ke jalan. Dengan berani mereka melawan aparat keamanan berseragam maupun berpakaian preman. Huru-hara Jumat itu berakhir bencana. Tembakan polisi menewaskan setidaknya 30 demonstran.
Dipengaruhi Revolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia, yang sekitar sepuluh hari sebelumnya menumbangkan rezim Zine El Abidine Ben Ali, Mesir kini terus bergolak. Inti tuntutan massa: Hosni Mubarak harus turun dari jabatannya.
Selama beberapa hari terakhir, puluhan ribu orang berkumpul di Tahrir Square di Kairo. Sementara sekutu utama Mesir, Amerika, mengisyaratkan kekerasan bukanlah pilihan tepat untuk mengendalikan massa.
Tahun ini, rezim Mubarak memasuki tahun pemerintahan ke-30 –jangka waktu terlama dibandingkan tiga presiden pendahulunya. Mubarak berkuasa sejak 14 Oktober 1981, menggantikan Anwar Sadat yang tewas tertembak dalam sebuah acara parade militer di Kairo. Mubarak juga terpilih sebagai ketua National Democratic Party (NDP).
Sebelumnya Mubarak adalah orang nomor dua di Mesir. Sadat mempercayainya terlibat dalam serangkaian perundingan, termasuk dalam Traktat Perjanjian Damai Mesir dan Israel yang ditandatangani Sadat pada 1979. Pengakuan Sadat atas Israel itulah yang menjadi alasan utama pembunuhannya, sekaligus penyebab utama Mesir dikeluarkan dari Liga Arab pada 1979.
Hosni Sayyid Mubarak dilahirkan pada 4 Mei 1928 di sebuah desa kecil di provinsi Menofya dekat Kairo. Dia memulai karier politik di militer. Lulus dengan gelar sarjana dari Akademi Militer pada 1949, Mubarak memutuskan mengubah haluan dan masuk Akademi Penerbangan. Sempat beberapa kali menerima pelatihan di Soviet, Mubarak menjadi komandan Akademi Penerbangan pada 1967. Karier militernya mencapai puncak pada 1972 ketika dia menjadi komandan angkatan udara sekaligus deputi menteri pertahanan. Tahun 1975, Anwar Sadat menunjuknya sebagai wakil presiden.
Saat kali pertama menjadi presiden, Mubarak bukanlah siapa-siapa. Namun dia paham betul bagaimana memanfaatkan keterlibatannya dalam proses perundingan dengan Israel sebagai kartu truf untuk menggalang simpati dan dukungan dari Barat. Kedudukannya mulai diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Posisinya di dalam negeri pun menguat.
Ketika terjadi Perang Enam Hari pada 1967, Mesir memberlakukan Undang-undang (UU) Keadaan Darurat yang memperbesar kekuasaan polisi, menangguhkan hak konstitusional warga negara, dan melegalkan sensor. Di bawah hukum ini pemerintah Mesir berhak menahan warga negaranya tanpa alasan jelas dan dalam jangka waktu tak terbatas.
Sepanjang pemerintahannya, rezim Mubarak memberlakukan UU itu. Alasannya, untuk melawan terorisme sekaligus mengontrol kelompok-kelompok Islam fundamentalis, termasuk Ikhwanul Muslim. Mubarak beralasan, tanpa UU itu, Ikhawanul Muslim dapat naik ke tampuk pemerintahan.
Mubarak berkali-kali terpilih sebagai presiden pada pemilihan umum (pemilu) 1987, 1993, dan 1999. Berdasarkan konstitusi, Dewan Rakyat punya peran kunci dalam memilih calon tunggal presiden Mesir. Barulah pada 2005, Mubarak “mendesak” parlemen untuk mengubah sistem dan mengizinkan pemilu dengan banyak kandidat. Namun, lagi-lagi, Mubarak keluar sebagai pemenang.
Para pengkritik curiga pemilu 2005 penuh kecurangan. Pegawai negeri diharuskan memilih Mubarak, sementara di wilayah miskin di Mesir ada indikasi terjadi pembelian suara. Ayman Nour, kandidat presiden dari Partai Al-Ghad, mempertanyakan hasil pemilu dan menuntut pemilu ulang. Nour malah didakwa melakukan pemalsuan dan dijatuhi hukuman penjara lima tahun pada 2005.
Kemampuannya menjaga hubungan dengan Barat membuat posisi Mubarak seolah tak tergoyahkan. Dia adalah penghubung “pilihan” dunia Arab dan Barat. Dia juga satu-satunya pemimpin Arab yang dipercaya Israel. Bagi Barat, Mubarak punya peran yang nyaris tak tergantikan. Inilah kenapa, menurut Jeremy Bowen –editor BBC untuk Timur Tengah–, Amerika terus menggelontorkan bantuan, sementara Inggris dan negara Eropa lainnya memberikan dukungan politik bagi Mubarak. Meski, di sisi lain, Barat menyadari bahwa rezim Mubarak terkenal korup, punya catatan panjang pelanggaran HAM, kerap memanipulasi pemilu, dan merepresi lawan-lawan politiknya.
Protes yang selama seminggu lebih terjadi di Mesir membuat Barat mempertanyakan seberapa strategis posisi Mubarak. Untuk meredam kemarahan massa, Mubarak mengganti seluruh kabinetnya pada 29 Januari lalu. Namun bagi Mubarak sendiri sepertinya tak ada kata mundur.
“Saya akan membela keamanan dan stabilitas Mesir, juga keinginan masyarakat luas. Sebab, itu adalah tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada saya, saat saya mengambil sumpah di hadapan Tuhan dan bangsa ini, untuk melindunginya,” ujarnya dalam sebuah pidato singkat, sebagaimana dilaporkan Reuters. [BBC/Guardian/Nytimes/Reuters]