Menjelang hari Lebaran, Panglima Kodam V Jaya Brigjen Amirmachmud mendapat tugas khusus. Perintah datang langsung dari atasannya: Panglima Kostrad merangkap pimpinan sementara TNI AD Letjen Soeharto. Sudah barang tentu Amir menyanggupi.
“Ketika itu beliau meminta agar saya menangkap Soepardjo pada hari Idul Fitri untuk dijadikan hadiah Lebaran bagi umat Islam Indonesia,” kenang Amir dalam otobiografinya H. Amirmachmud: Prajurit Pejuang.
Sang buronan adalah perwira berpangkat brigadir jenderal, pangkat tertinggi seorang tentara yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Bersama Letnan Kolonel Oentoeng Sjamsoeri dari Resimen Tjakrabirawa, dia dituding ikut merancang penculikan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Tercatat sejak Oktober 1965, Soepardjo telah masuk daftar buruan Kodim 0501 Jakarta Pusat.
Baca juga: Rekaman Sidang Letkol Untung di Mahmilub
Untuk meringkus Soepardjo secepatnya, Amir menggelar operasi intelijen. Tim khusus dibentuk dalam operasi bersandi “kalong”. Dinamakan demikian karena tim operasi bergerak malam hari, seperti kalong. Operasi Kalong dipimpin oleh Kapten CPM Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi bertugas mencari informasi persembunyian Soepardjo.
Pada 10 Januari 1967, sebagaimana dilansir majalah Angkasa vol.17, 1968, lokasi persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor Adnan Suwardi menampung Soepardjo dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusumah.
Soepardjo Terciduk
Pagi hari menjelang subuh 12 Januari 1967, Tim Operasi Kalong bergerak ke arah Halim. Pasukan memasuki komplek perumahan AURI pukul 05.30. Dalam penggeledahan, Soepardjo berhasil ditangkap di loteng rumah Kopral Udara Sutardjo. Soepardjo terpaksa turun dari loteng setelah seorang pasukan penangkap mengancam akan menembaknya. Selain Soepardjo turut terciduk Anwar Sanusi, seorang penulis buku pelajaran sejarah dan anggota PKI.
Kabar teringkusnya Soepardjo sampai kepada Amir Machmud pada siang hari. Berita itu dilaporkan Letnan Kolonel Soedjiman ketika Amir selesai sholat Ied di lapangan Banteng. Betapa gembiranya Amir sampai-sampai dia memeluk dan mencium Soedjiman berkali-kali. Keduanya kemudian sowan ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim melaporkan “hadiah Lebaran” tersebut.
Baca juga:
Drama Penangkapan Brigjen Soepardjo
Akhir pelarian Soepardjo yang berujung penangkapan diberitakan sebagai berkah. “Hadiah Lebaran Untuk Rakyat: Soepardjo, Anwar Sanusi berhasil dibekuk. ‘Kabut Halim’ akan semakin tersingkap,” tulis Kompas 16 Januari 1967. Dalam tajuk rencana pada hari yang sama, Kompas menanggapi penangkapan Soepardjo yang tepat jatuh pada hari Lebaran mengandung makna simbolik. Pada hari Lebaran itu umat yang berpuasa merayakan kemenangannya atas hawa nafsu yang dipatahkan selama sebulan berpuasa.
“Tertangkapnya eks Brigjend Soepardjo diharapkan mematahkan jaringan operasi fisik G30S/PKI yang selama ini masih menyelinap dimana-mana. Kita percaya tindakan pembersihan akan segera dilakukan di semua jaringan,” tulis Kompas.
Perwira Jujur
Apakah Soepardjo penjahat sebagaimana yang disangkakan? Dua bulan setelah tertangkap, Soepardjo dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Pengadilan mendakwanya bersalah atas tindakan makar dan menjatuhi vonis hukuman mati.
Ketika sama-sama dipenjara dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Oetomo, Oei Tjoe Tat, menteri Kabinet Dwikora mengungkap sisi lain sosok Soepardjo. Oei mengenal Soepardjo sebagai Panglima Komando Tempur dalam rangka konfrontasi Malaysia di Kalimantan Barat. Dari pengakuan anak buahnya, Soepardjo adalah pribadi yang disukai, seorang militer yang setia kepada Bung Karno.
“Jenderal Pardjo sebagai tahanan di RTM mendapat simpati, baik dari para petugas maupun para tahanan karena sikapnya,” ujar Oei dalam Memoar Oei Tjoe Tat : Pembantu Presiden Soekarno.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Menurut Oei Tjoe Tat, Soepardjo figur perwira yang jujur dan loyal. Kepada Oei, Soepardjo pernah menyampaikan tentang adanya golongan yang serius tentang konfrontasi dan ada golongan yang cuma pura-pura saja demi duit. Oei agaknya meragukan peran Soepardjo sebagai otak dibalik G30S atau setidaknya dia dijerumuskan. “Sekiranya benar, ia tidak berniat berontak terhadap pemerintahan Sukarno,” kata Oei.
Senada dengan Oei, John Roosa sejarawan University of British Columbia mengamati keganjilan keterlibatan Soepardjo dalam G30S. Roosa menyandarkan pendapatnya pada dokumen Soepardjo yang dicatat saat pelarian berjudul “Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer”.
Dokumen Soepardjo mengungkapkan bahwa dia bukan pimpinan gerakan dan juga tidak memimpin pasukan apapun dalam G30S. Sebagai seorang perwira militer, Soepardjo menulis kebingungannya oleh semua penyimpangan gerakan dari praktik baku kemiliteran. “Seandainya ia yang bertanggung jawab, orang dapat berharap bahwa aksi G-30-S akan menjadi operasi yang lebih profesional,” tulis Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
Baca juga: Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI
Menurut Roosa, Soepardjo bukanlah salah seorang pimpinan inti G30S. Perannya sebatas sebagai perwira yang mempunyai koneksi untuk berhubungan langsung dengan Presiden Sukarno. Soepardjo sama sekali tidak menghadiri rapat-rapat perencanaan pada pekan-pekan sebelumnya. Dia tiba di Jakarta hanya tiga hari sebelum aksi dimulai.
“Namun terlepas dari hal-hal yang tentu sangat mengecewakannya, ia telah menuliskan tentang G-30-S tanpa rasa dengki atau dendam,” tulis Roosa.
Harian Sinar Harapan 3 Oktober 1968 mewartakan keputusan Presiden Soeharto yang menolak permohonan grasi yang diajukan Soepardjo bersama empat orang gembong G30S lainnya. Perwira bintang satu bernama lengkap Mustafa Sjarief Soepardjo itu meregang nyawa dihadapan regu tembak pada 16 Mei 1970.