KURANG dari sepekan menjelang lebaran, KPK menangkap tangan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya terkait suap proyek jalan di Kabupaten Rejang Lebong. Dalam penangkapan tersebut KPK berhasil menyita uang Rp 1 milyar sebagai persekot dari total 4,7 milyar uang yang dijanjikan oleh pemenang proyek.
Tak hanya kali ini, perkara korupsi pun pernah terjadi di Bengkulu pada masa yang lalu. Korupsi yang menggejala di tengah-tengah kehidupan elite Bengkulu saat itu menurut sejarawan Agus Setiyanto dalam bukunya Elite Pribumi Bengkulu: Perspektif Sejarah Abad ke-19 disebabkan, “gaya hidup yang lebih mengutamakan status,” sehingga mengarah kepada “kehidupan yang boros karena mengeluarkan uang lebih banyak daripada pendapatannya sendiri,” tulis Agus. Praktik penyelewengan keuangan juga merebak di kalangan pegawai pemerintah kolonial Inggris.
Pada awal abad ke-19, Bengkulu adalah karesidenan yang berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada saat itu pemerintah Inggris di Benggala, India, sebagai pusat kekuasaan tempat Bengkulu menginduk, sudah memberikan perhatian khusus kepada pola pengelolaan keuangan residensi Bengkulu. Agus menulis, “Sistem manajemen Residensi yang tidak efisien tersebut ternyata membawa efek semakin tingginya tingkat korupsi dan kolusi di antara amtenar (pegawai pemerintah kolonial-Red.) dan kepala pribumi, baik dalam perdagangan maupun dalam peradatan.”
Berdasarkan catatan William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra, Bengkulu telah dikenal lama sebagai penghasil lada. Penjajahan Inggris atas Bengkulu kemudian mengupayakan penanaman lada dan kopi secara besar-besaran yang melibatkan pemerintah dan pemuka masyarakat setempat untuk mengumpulkan hasil panen lada dari para petani.
Kendati pemerintah kolonial Inggris melakukan pengawasan ketat, dalam praktiknya, menurut Agus, “terjadi korupsi dan kolusi di antara para amtenar, para pengusaha dan para kepala pribumi.” Mengutip catatan J. Kathirithamby-Wells dalam A Survey of the Effects of British Influence on Indigenous Authority in Southwest Sumatra (1685-1824), Agus menulis praktik penyelewengan itu terjadi dalam bentuk penimbangan palsu, pembayaran yang kurang tepat dan pemberlakuan harga komoditi yang sangat rendah untuk kemudian dijual dalam harga yang lebih tinggi.
Walhasil praktik koruptif dan pemerasan tersebut tak hanya merugikan pemerintah Inggris, lebih-lebih para petani. “Para petani kebun semakin terjerat oleh hukum perdagangan yang tidak jelas baik dilakukan oleh para amtenar maupun oleh para kepala pribumi yang cenderung korup,” tulis Agus.
Pemecatan pejabat pribumi yang ketahuan korupsi kali pertama terjadi pada Daeng Mabela. Mabela adalah pemuka masyarakat Bugis yang ada di Bengkulu. Dia diangkat sebagai kapten, jabatan yang lazim diberikan kepada pemimpin komunitas suku dalam masyarakat jajahan, sebagaimana pula kapten (kapiten) dalam masyarakat Tionghoa atau Arab di Hindia Belanda.
Pemecatan itu dilakukan oleh residen Thomas Parr yang bertugas di Bengkulu 1805-1807. Joana Cicely Fenell dalam tulisannya The Assasination of Thomas Parr, Resident of Bencoolen menyebutkan Thomas Parr adalah anak pasangan John Parr dan Sarah Walmesley. Keluarga Parr mengklaim masih keturunan Sir William Parr, saudara lelaki Katharine Parr, istri keenam Raja Henry VII. Sebelum dilantik jadi residen Bengkulu pada April 1805, Parr adalah usahawan senior yang banyak berhubungan dengan Kompeni Dagang Inggris untuk Hindia Timur.
Parr dikenal sebagai pejabat yang tertib dan keras hati memperjuangkan kepentingan Inggris di wilayah jajahannya. Ketika ditugaskan ke Bengkulu, Parr banyak melaporkan penyelewengan di kalangan pejabat pribumi dan juga amtenar Inggris, seperti yang terjadi pada Thomas Blair, residen Sillebar yang dinilainya kurang cakap menjalankan tugas.
Dalam kasus Mabela, Parr menuduh pemuka masyarakat Bugis di Bengkulu itu telah menyelewengkan uang yang semestinya digunakan untuk keperluan karesidenan. Menurut Agus, karena temuan kasus itu, “Daeng Mabela tidak saja dipecat dari kepegawaian kompeni Inggris sebagai kapten, tetapi juga didepak dari keanggotaannya di dewan pangeran, sebuah dewan yang paling bergengsi di antara dewan-dewan pengadilan pribumi yang lain.”
Pemberhentian tidak hormat tersebut merugikan sekaligus mempermalukan Mabela. Terlebih jabatan yang dipegangnya itu diperoleh secara turun temurun. Namun demikian cara Thomas Parr memerintah sebagai residen, yang terkenal ketat dan teliti atas nama kepentingan kompeni Inggris, pun menimbulkan kebencian di kalangan penduduk.
Semua kejadian itu kemudian terakumulasi dan memantik kemarahan masyarakat yang bermuara kepada peritiwa Mount Felix 23 Desember 1807. Dalam kerusuhan itu, Thomas Parr tewas dibunuh di kediamannya di Mount Felix (masyarakat Bengkulu menyebutnya Bukit Palik). Kepalanya dipenggal oleh sekelompok warga yang datang ke rumahnya pada malam hari saat ia tertidur.
Sebuah komisi yang bertugas menyelidiki pembunuhan tersebut kesulitan menemukan petunjuk siapa yang jadi dalang pembunuhan Parr. Dugaan semula mengarah kepada Mabela karena dinilai punya motif sakit hati atas pemecatanya. Tuduhan itu dilontarkan oleh Depati Sukarami, kolega Mabela, yang kemudian malah jadi tersangka utama dari pembunuhan Parr. Tuduhan bahwa Mabela dalang pembunuhan tak pernah bisa dibuktikan. Usai kasus pembunuhan tersebut, kendati sempat dipecat karena korupsi, Mabela kemudian mendapatkan kembali jabatannya.