AGUSTUS 1980, novel berjudul Bumi Manusia terbit di Jakarta. Novel ini mengisahkan seorang pribumi bernama Minke yang bertekad melepaskan diri dari keterjajahan kuasa kolonial dan feodalisme bangsanya sendiri. Penulisnya mengambil latar waktu awal abad ke-20 ketika Hindia Belanda baru saja melewati pergantian abad.
Sebagai anak bupati, sejak kecil Minke akrab dengan budaya Jawa. Namun pendidikannya di HBS menumbuhkan benih-benih kritis dalam dirinya. Rasionalitasnya berkembang. Kegetirannya menebal. Dia yakin ada yang salah dengan kondisi pribumi dan kebudayaan Jawa. Sejak lulus HBS, dia coba berjuang mengubahnya bersama Nyai Ontosoroh, ibu Annelies, perempuan yang dicintainya.
Itulah gambaran ringkas novel karya Pramoedya Ananta Toer. Pram, panggilan akrabnya, menulis novel itu selama berada di penjara Pulau Buru. Pram ditangkap sejak 1969 untuk satu alasan yang tak pernah terbukti: terlibat PKI. Selain Bumi Manusia, dia juga menulis Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat karya itu dikenal dengan sebutan Tetralogi Buru. Dan keempatnya dilarang pemerintah Orde Baru sejak Mei 1981 karena dituding mengandung gagasan pertentangan kelas.
Pelarangan itu membuat novel-novelnya menghilang. Persebaran karya Pram akhirnya harus melalui jalur bawah tanah. Meski begitu, karya Pram berhasil sampai ke tangan peneliti asing. Koh Young Hun, misalnya, mengenal karya Pram sejak 1981. Dia, yang sekarang menjabat guru besar pada Hankuk University, Korea Selatan, telah meneliti karya-karya Pram selama 30 tahun. Hasilnya: sebuah buku berjudul Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia.
Dalam acara “Peluncuran dan Diskusi Buku Pramoedya Menggugat” di Galeri Cipta III, TIM, Jakarta Pusat (19/1), Koh mengatakan alasan pelarangan Bumi Manusia tidak tepat. “Novel itu berisi kritik terhadap penjajahan dan kebudayaan Jawa tradisional,” katanya. Pendapat senada disampaikan Agus R. Sardjono, penyair yang membahas buku tersebut. “Sama sekali tidak ada pertentangan kelas. Yang ada adalah kritik sangat keras terhadap kebudayaan Jawa yang Feodal,” ujarnya.
Pemerintah telanjur mencap Marxis pada Pram tanpa membaca karyanya secara serius dan mendalam. Larangan membaca dan menyebarkan karya Pram bergulir. Ancaman dan intimidasi berupa penangkapan dilakukan pemerintah kepada mereka yang ketahuan bersentuhan dengan karya Pram. Kalangan intelektual mulai sedikit khawatir.
Maman Mahayana, sastrawan dan kritikus sastra, menilai keadaan itu mengakibatkan minimnya kajian terhadap karya-karya Pram dari peneliti dalam negeri. “Hampir tidak ada kajian mengenai Pram dan karyanya ketika itu,” tegas Maman yang berlakon sebagai moderator diskusi. Sebelum penelitian Koh, Savitri Scherer telah menulis kajian tentang Pram dan karyanya dalam bentuk tesis From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya Ananta Toer 1950-1965 di Australian National University pada 1981.
Koh yang sebenarnya berkeinginan mengambil studi doktoral di Universitas Indonesia harus mengurungkan niatnya karena pelarangan karya Pram. “Tidak ada orang yang mau menjadi pembimbing saya waktu itu. Takut ditangkap,” tutur Koh. Akhirnya, Koh memutuskan pergi ke Malaysia. Di sana dia menyelesaikan disertasinya, Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-Novel Mutakhirnya.
Koh mengaku kagum dengan gagasan-gagasan Pram. Dia menyepakati pendapat A. Teuuw, filolog asal Belanda, bahwa Pramoedya merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam tiap satu generasi atau satu abad. Koh menyebut Pram sebagai pengarang yang membawa warna baru dalam novel sejarah. Kegandrungan Pram terhadap sejarah itulah yang mendukung penulisan novelnya seperti Tetralogi Buru, Arus Balik, dan Arok Dedes.
Pram belajar sejarah bukan tanpa alasan. “Dia menggali sejarah karena ingin mengenal genealogi Indonesia. Dia ingin mengetahui mengapa bangsa Indonesia jadi kacau seperti ini,” kata Agus Sardjono. Pram memiliki wawasan luas mengenai sejarah. Sedikit sekali sastrawan Indonesia yang berhasil mengarang novel dengan menjadikan sejarah sebagai latar waktu dan peristiwa. “Beberapa nama yang kita kenal antara lain Umar Kayam, Mangunwijaya, dan Ahmad Tohari. Tetapi, Pram unik. Dia satu-satunya sastrawan Indonesia yang menggali sejarah lama,” tambahnya.
Tapi Agus tak lantas menyematkan atribut sejarawan kepada Pram. Meski Pram pernah menulis Kronik Revolusi Indonesia, Pram tak bisa disebut sebagai sejarawan. Koh juga berpendapat sama. Bagi Koh, Pram tetap sastrawan walaupun dia pernah mengajar sejarah untuk siswa SMA dan gemar mendokumentasikan berita-berita di koran semasa hidupnya. “Pram tidak pernah menjadi sejarawan. Dia adalah sastrawan. Sebab, dia pernah dinominasikan sebagai peraih Nobel Sastra beberapa kali dalam dekade 1980-an, meskipun gagal,” jelas Koh.
Koh merasa heran mengapa Pram gagal meraih Nobel Sastra. Dia mencari tahu alasannya. Setelah bergaul langsung dengan Pram dan mewawancarainya, Koh tahu bahwa pemerintah Indonesia sendiri yang berkeberatan kalau Pram dihadiahi Nobel Sastra. “Saya punya salinan surat diplomatik tersebut. Dan ini membuat saya heran,” kata Koh.
Karya-karya Pram hampir seluruhnya bertutur tentang kemanusiaan dan perjuangan lepas dari ketertindasan. Pram sendiri memiliki kharisma kuat sebagai pengarang. Tapi, itu tidak cukup untuk sebuah Nobel. Agus Sardjono melihat ada hal lain yang menjadi pertimbangan di luar sastra. Pertimbangan lain itu bisa bersifat politis.
Agus tak serta-merta mengecilkan karya Pram setelah dilindas tekanan politik. Menurutnya, karya Pram tetap nikmat dibaca kendati Orde Baru telah runtuh. Itu artinya, karya Pram memang mempunyai kualitas tinggi hingga bisa bertahan sampai sekarang. Koh dan Agus sama-sama mengakui kritik Pram dalam novelnya tetap relevan hingga kini. Hanya kekerdilan penguasa masa lampau yang membuat anak bangsa seolah melupakannya.
“Saya berterima kasih kepada Koh telah membawa pulang Pram yang tak begitu kami kenal,” kata Agus.
Selama puluhan tahun anak bangsa melupakan Pram; mengabaikan karyanya hingga Orde Baru runtuh pada 1998. Arus balik terjadi. Karya Pram kini dibaca dan dikaji dengan bebas. Tak hanya oleh peneliti asing, tapi juga khalayak intelektual dalam negeri.