BANGUNAN di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta lebih ramai dari biasanya pada Selasa siang, 27 Oktober 2015. Pengunjungnya murid sekolah, wartawan, dan umum. Tiga ibu-ibu dari instansi pemerintahan asik berfoto di ruang tamu. Tuan rumah sibuk berbenah untuk memperingati Sumpah Pemuda dengan pameran bertajuk “Kisah Perjuangan SM Amin.”
Sekira 89 tahun silam, bangunan bergaya Eropa itu juga kedatangan banyak orang. Para pemuda dari berbagai daerah hadir mengikuti Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda.
Sejak 1925, rumah itu sudah ramai. Pemiliknya, Sie Kong Liang, menjadikannya tempat indekos mahasiswa. “Awalnya Jong Java, baru tahun 1927-an dari berbagai daerah. Mohammad Yamin, A.K. Gani kos di sini,” ujar Dwi Nurdadi, pekerja dan pemandu Museum Sumpah Pemuda. Dengan biaya sekira f.7,50 per bulan, mereka menempati kamar-kamar di bagian belakang.
Para anggota Jong Java yang kebanyakan mahasiswa STOVIA mendirikan grup kesenian Jawa Langen Siswo. Rumah itu menjadi markas dan tempat latihan menari Jawa. Sehabis makan malam bersama, mereka berdiskusi mengenai hal-hal di lingkungan masyarakat. Mereka kemudian mendiskusikan masalah politik dan pergerakan.
Seiring berjalannya waktu, jumlah mahasiswa yang kos di rumah itu bertambah. Mereka berasal dari berbagai daerah dan perguruan tinggi. Di antara mereka, sebagaimana dicatat dalam Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda, terdapat Moh. Yamin, Amir Sjarifuddin, Surjadi (Surabaya), Surjadi (Jakarta), Asaat, Abu Hanifah, AK Gani, Hidajat, F Lumban Tobing, Sunarko, Kuntjoro, Amir, Rusmali, Tamzil, Sumanang, Sambudjo, Urip, Mokoginta, dan Hasan.
Di rumah Kramat 106, mereka semakin aktif mendiskusikan masalah sosial-kemasyarakatan, politik dan pergerakan nasional. Pada 1928, mereka namakan rumah itu Indonesische Clubgebouw (IC) –nama populer lain, Indonesische Clubhuis.
Banyak pemuda-pelajar tertarik. Mereka bukan hanya mendapat banyak kawan dan wawasan, tapi juga ajang untuk mengasah diri. Amir Sjarifuddin salah satunya. “Seluruh aktivisme ekstra-kurikuler Amir berkembang dari Sekolah Hukum melalui Kramat 106, di mana para mahasiswa hukum dan kedokteran paling progresif tinggal,” tulis Gerry van Klinken dalam Lima Penggerak Bangsa yang Terlupakan: Nasionalisme Minoritas Kristen. Selain studi dan mengurus IC, kesibukan Amir antara lain adalah mengedit jurnal Indonesia Raja milik PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan mengajar di Universitas Rakjat di Gang Kenari.
Syarat menjadi pimpinan IC tidak mudah, yaitu harus berprestasi baik dalam studinya dan wajib mendekati rakyat. IC berjejaring dengan tempat lain yang menjadi basis pemuda pergerakan, seperti gedung milik Husni Thamrin di Gang Kenari dan Gedung Perguruan Rakyat di Salemba. Merekalah yang menggerakkan terselenggaranya Kongres Pemuda II pada 1928. Persiapan matangnya sering berlangsung di rumah itu. Kramat 106 pula yang menjadi tempat sidang ketiga Kongres Pemuda II, di mana untuk kali pertama W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya menggunakan biolanya. Biola itu dipajang di rak kaca yang berada di sebelah kiri museum. “Yang kita punya asli, itu biola WR Supratman. Jadi koleksi kita yang paling penting ya gedung sama biolanya,” ujar Dwi.
Kisah di Kramat 106 harus berhenti pada 1934 karena IC tidak mampu membayar sewa kepada Sie Kong Liang. Setelah mendapatkan pernyataan bersalah yang ditandatangani Roesmali, ketua IC, Sie Kong Liang membawa masalah itu ke pengadilan. IC menang berkat pembelaan Moh. Yamin dan Amir Sjarifuddin. Kong Liang naik banding. Atas saran Yamin dan Amir, para pengurus IC tak menghadiri sidang dan melarikan diri. Mereka pindah ke Kramat Raya 156 dan membalik nama IC menjadi CI dengan ketua AK Gani untuk menghindari endusan pemerintah kolonial. Sepeninggal IC, rumah itu bergonta-ganti penghuni sebelum akhirnya jadi bangunan cagar budaya dan Museum Sumpah Pemuda.
[pages]