Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi perbincangan serius belakangan ini. Polemik berpangkal dari absennya KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) – organisasi Islam terbesar di Indonesia -- sebagai lema kamus tersebut. Tidak hanya bagi insan sejarah, kelalaian itu menjadi pemberitaan nasional.
“Hilangnya” sosok Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia, bagi banyak kalangan, terutama kelompok NU dianggap mereduksi peran tokoh ulama tersebut dalam sejarah bangsa. Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan Kemendikbud telah meminta maaf dan mengakui itu sebagai buah keteledoran. Pernyataan senada dikemukakan oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim. Selain menariknya dari peredaran (take down), Nadiem mengatakan akan merevisi total kamus tersebut.
Sejarawan kawakan Anhar Gonggong turut angkat bicara. Menurutnya agak aneh kalau tokoh seperti Hasyim Asy’ari terluput dalam Kamus Sejarah Indonesia. Anhar mempertanyakan sumber-sumber yang dipakai dalam penulisan kamus tersebut.
“Masak orang sehebat itu (Hasyim Asy’ari) tidak masuk didalamnnya? Lalu dia pakai sumber apa sebagai seorang sejarawan? Dia pakai seleksi apa? Dalam menulis sejarah, kan ada aturan-aturannya. Apalagi kamus,” kata Anhar dalam wawancara di salah satu televisi swasta.
Baca juga:
Tak Ada Lema KH Hasyim Asy'ari, Kamus Sejarah Picu Kontroversi
Kamus Sejarah Indonesia terdiri dari dua jilid. Jilid I meliputi periode 1900—1950 bertajuk “Masa Pembentukan Negara (347 halaman). Jilid II meliputi periode 1951—1998 bertajuk “Masa Pembangunan Negara” (340 halaman). Kamus ini diterbitkan pada 2017 yang dapat diakses bebas secara digital. Dalam kata pengantar, kamus ini ditujukan bagi guru-guru sejarah guna membantu informasi kesejarahan terkait istilah-istilah yang sukar dipahami.
Merujuk para penulisnya, kamus ini dikerjakan oleh sejumlah sejarawan maupun akademisi muda dari kampus ternama. Pembaca utamanya ialah Taufik Abdullah, yang disebut-sebut begawan sejarah Indonesia. Alih-alih pembelokan sejarah, cacat dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid 1 ini kiranya dimafhumi sebagai kealpaan belaka. Hasil revisinya seyogianya tetap dinanti dan disambut baik.
Dua Kamus Sejarah Indonesia
Mesti diakui, Kamus Sejarah Indonesia bikinan Kemendikbud ini masih belum representatif dan harus disempurnakan lagi. Daftar pustakanya memang mencantumkan sejumlah sumber namun kebanyakan sumber sekunder. Selain itu, tiap lema tidak dapat ditelusuri menggunakan sumber rujukan darimana; tidak ada referensi silang yang dapat memudahkan pembaca. Lagi pula, kamus ini bukanlah satu-satunya kamus sejarah yang patut dijadikan referensi ilmiah. Mari kita bandingkan dengan kamus sejarah yang lain.
Pada 1992, penerbit asal London, Scarecrow Press menerbitkan Historical Dictionary of Indonesia. Kamus setebal 663 halaman tersebut ditulis oleh Robert Cribb dan Audrey Kahin. Cribb merupakan sejarawan dari Austalian National University sedangkan Kahin sejarawan jebolan Cornel University. Boleh jadi, inilah kamus sejarah Indonesia pertama yang cukup komprehensif.
Baca juga:
Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Segera Direvisi
Historical Dictionary of Indonesia menyuguhkan informasi kesejarahan berupa akronim, kronologi, dan daftar lema sebagai sajian utamanya. Kamus ini ditutup dengan berbagai lampiran yang sarat data penting. Mulai dari daftar gubernur jenderal Hindia Belanda sampai statisik pemilihan umum di Indonesia dari masa ke masa. Menariknya, kamus ini dilengkapi dengan kode pustaka sehingga setiap lema bisa ditelusuri rujukannya.
Seperti contoh, lema "Raad van Indie" (Dewan Hindia), Cribb dan Kahin mendefinisikannya “Dewan senior untuk urusan Hindia, yang secara umum bertugas memberikan masukan bagi Gubernur Jenderal tentang masalah kenegaraan (0032, 0045, 0638). Jadi, untuk satu lema yang singkat ini, Cribb dan Kahin menggunakan tiga sumber sebagai rujukannya, antara lain (1) Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, 4 vols. and 4 suppls. The Hague: Martinus Nijhoff, 1917–1939; (2) Gonggryp, G. F. E. Geillustreerde encyclopedie van Nederlandsch-Indie. Leiden, The Netherlands: Leidsche Uitgeversmaatschappij, 1934; (3) Vandenbosch, Amry. The Dutch East Indies: Its Government, Problems and Politics, 3rd ed. Berkeley: University of California Press, 1942.
Dalam menyusun kamusnya, Cribb dan Kahin meneliti sekira 1400-an literatur ke dalam bibliografi. Sumber yang dipakai sebagian besar merupakan sumber primer atau buku babon. Ketika edisi pertama terbit, kamus ini tidak lantas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sejumlah lema-lema yang termuat didalamnya agak sensitif bagi pemerintah Orde Baru yang berkuasa pada saat itu. Beberapa diantaranya seperti: “Cukong”, "Cornell Paper", dan "Cendana Grup".
Baca juga:
Historical Dictionary of Indonesia kemudian diperbaharui pada edisi kedua yang terbit pada 2004. Baru pada 2012, kamus ini diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan Komunitas Bambu. Tentu saja dengan berbagai penambahan dan penyempurnaan sehingga bobotnya setebal 711 halaman.
Kamus Tematik
Selain Kamus Sejarah Indonesia, terdapat pula beberapa kamus berkonten sejarah yang disusun berdasarkan tematik. Pada 2003, penerbit Galang Press menerbitkan Kamus Getok karya Hersri Setiawan. Sang penulis kamus merupakan mantan aktivis Lekra dan eks tahanan politik (tapol) Pulau Buru.
Melalui kamus setebal 316 halaman ini, Hersri menginvetarisasi dan memberikan penjelasan tentang beragam lema seputar peristiwa G30S. Lema-lema tersebut diurai dengan mengacu pada hal ihwal yang terkait dengan fungsi yang dibebankan padanya. Kamus ini menjadi unik karena memuat konteks human interest didalamanya.
Baca juga:
Beberapa lema dalam Kamus Gestok menggambarkan sisi lain peristiwa G30S. Seperti misalnya pada lema “Pecut”. Hersri menulis pecut atau cambuk, istilah sandi yang digunakan para pemeriksa (interogator) dan penyiksa terhadap tapol G30S. Pecut alat penyiksa ini pecut khusus, yang terbuat dari ekor ikan pari. Kemudian pada lema “permak”. Bermuasal dari kata kerja bahasa Belanda, veermakt yang berarti mengubah, memperbaharui, mencocokan, yang lazim digunakan dalam hubungan dengan pakaian.
“Dalam kehidupan tahanan,” sebut Hersri, “’dipermak’ berarti disiksa atau dipukuli, sehingga bentuk rupa wajah atau tubuh menjadi berubah, penuh benjol-benjol dan biru memar, sampai tidak lagi menampak seperti bentuk dan rupa semula.”
Satu lagi, Kamus Kejahatan Orba karya Harsutejo. Kamus ini diterbitkan tahun 2010 oleh Komunitas Bambu. Seperti Hersri, Harsutejo juga merupakan mantan tapol. Sebelumnya, Harsutejo telah menelurkan karya berjudul G30S Sejarah yang Digelapkan terbitan Hasta Mitra tahun 2003.
Baca juga:
Kamus Kejahatan Orba memuat lema-lema yang berkaitan dengan rezim Orde Baru. Kamus ini menggunakan rujukan silang namun sumbernya kebanyakan sekunder. Penjabaran setiap lema cukup panjang lagi melebar. Tidak hanya memuat kata perkata, kamus ini juga mendefenisikan slogan yang acapkali menjadi kampanye pemerintah Orde Baru. Beberapa diantaranya seperti “Bersih Lingkungan”, “Cinta Tanah Air”, dan “Menanam Sejuta Pohon”.
Menurut Harsutejo dalam kata pengantarnya, selama berkuasa, rezim Orde Baru menciptakan kosakatanya sendiri, baik kosakata lama yang diberi muatan (politik) baru yang direkapaksa, termasuk sejumlah akronim. Hal itu menjadi bagian dari ideologi rezim militer Orde Baru yang dibangun selama tiga dekade. Oleh karena itu, kamus yang ditulisnya menjadi suatu upaya untuk melawan lupa praktik reifikasi zaman Orde Baru.