Suasana “panas” meliputi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington, Amerika Serikat. Perang urat syaraf berlaku antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio dengan Duta Besar Belanda untuk PBB Herman van Rooijen. Keduanya merupakan ketua delegasi negara masing-masing dalam merundingkan sengketa Irian Barat (kini Papua). Pertemuan tersebut adalah lanjutan dari perundingan yang telah dihelat beberapa hari sebelumnya di kota Middleburg.
“Tanggal 25 Juli 1962, van Rooijen datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Washington, guna melaksanakan perundingan kedua,” kenang Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat. “Syukur bahwa van Rooijen bersedia datang ke Kedutaan Besar Indonesia.” Saat itu Soebandrio berhalangan datang ke tempat perundingan netral yang sedianya dilangsungkan di Middleburg. Soalnya, Soebandrio sedang dalam pemulihan pasca operasi infeksi kaki sehingga megalami kesulitan saat berjalan.
Baca juga: Soebandrio Menteri Cantengan
Tensi perundingan meninggi ketika Soebandrio melontarkan sejumlah tuntutan. Menurutnya akan mengkhawatirkan apabila Belanda semakin lama berkuasa di Irian Barat. Sementara di front militer, pasukan Indonesia yang diterjunkan ke Irian Barat telah siap tempur. Perkembangan terbaru menyebutkan serangkaian operasi infiltrasi telah mencapai daratan Irian Barat.
Soebandrio memperingatkan, jika Belanda tetap bertahan maka Indonesia terpaksa menggunakan senjata yang dibeli dari Uni Soviet untuk berperang. Tanpa ragu lagi Soebandrio meminta agar penyerahan Irian Barat kepada Indonesia dipercepat. Setelah mendengar uraian Soebandrio, van Rooijen memberikan jawaban tegas: tidak bersedia memenuhi tuntutan percepatan penyerahan kedaulatan.
Penolakan van Rooiijen cukup beralasan. Pemulangan warga dan aparatur Belanda di Irian Barat diperkirakan paling lama selesai pada akhir Oktober 1962. Adapun waktu yang tersisa bagi pemerintahan peralihan PBB sampai 1 Januari 1963 hanya dua bulan. Dapat dipastikan tidak ada yang bisa diperbuat dalam jangka waktu sesingkat itu. Karena tidak mendapat titik temu, perundingan itu pun ditangguhkan.
Keesokan harinya, perundingan dilanjutkan. Kali ini diplomat senior Amerika, Ellsworth Bunker ikut serta sebagai mediator. Soebandrio mengemukakan hal yang sama kepada Bunker seperti terhadap van Rooijen sebelumnya. Soebandrio meminta agar pada 1 Januari 1963, pemerintahan di Irian Barat sudah berada di bawah kedaulatan Indonesia. Keinginan itu juga bertemali dengan amanat Presiden Sukarno supaya bendera Merah Putih berkibar di Irian Barat sebelum tahun 1962 berakhir. Mengenai pelaksanaaan penentuan nasib sendiri rakyat Irian Barat, sebagaimana usulan Bunker, Soebandrio menganggapnya sebagai penghinaan dan harus ditolak. Dengan demikian, Soebandrio memberikan opsi terbatas bagi van Rooijen: bersedia mempercepat menyerahkan Papua atau konfrontasi militer.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Tuntutan Soebandrio ditanggapi secara dingin oleh van Rooijen. Dia justru mencela tuntutan delegasi Indonesia seperti hendak menyimpang dari formula Bunker. Saling silang ini sempat menyebabkan Soebandrio dan van Rooijen bersitegang. Soebandrio tersinggung dengan ucapan van Rooijen dan menyatakan bahwa Belanda-lah yang selalu curang dalam setiap perundingan mulai dari zaman Perjanjian Linggadjati.
“Saya kira, tidak perlu meneruskan perundingan. Besok saya dan Adam Malik akan pergi ke New York, tanggal 28 Juli langsung ke Jakarta,” ujar Soebandrio seperti termuat dalam memoarnya.
Melihat perundingan akan gagal, Ellsworth Bunker berinisatif untuk mempertemukan Soebandrio dengan Presiden John F. Kennedy. Pada malam hari tanggal 26 Juli, Kennedy menerima Soebandrio di Gedung Putih. Alih-alih tuntutannya diindahkan, Kennedy malah menumpahkan amarah pada Soebandrio. Bagi Kennedy tuntutan Soebandrio terasa tidak wajar dan tidak masuk akal.
Baca juga: Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat
“Aneh rasanya bahwa Indonesia mau menembaki sesuatu yang sudah ada di tangan,” kata Kennedy tersua dalam arsip departemen luar negeri Amerika yang yang dikutip sejarawan Baskara Tulus Wardaya untuk disertasinya Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963 (dialihbahasakan menjadi Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1959)
Menurut Kennedy seandainya secara prinsip tuntutan Indonesia dapat diterima maka tidak mungkin dilaksanakan secara teknis administratif. Lagi pula, kata Kennedy, Indonesia tampaknya mendapatkan hampir semua konsesi yang diinginkannya untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat. Sebaliknya, bila Indonesia tetap memilih menggunakan jalan kekerasan maka AS akan mengirimkan Pasukan Armada ke-7 untuk mengungsikan warga Amerika Serikat dari Indonesia.
Baca juga: Bentakan Menlu RI Buat Diplomat AS
Mendengar hardikan Kennedy, Soebandrio terdiam sambil berusaha tenang. Tidak cukup nyalinya untuk mendebat Presiden AS itu. Sebagaimana dicatat Baskara, Kennedy mendesak Soebandrio untuk mencari solusi yang bermartabat dan memuaskan untuk permasalahan yang ada. Selama kariernya menjadi menteri luar negeri, ini adalah ancaman serius kedua yang diterima Soebandrio, setelah pemimpin Republik Rakyat Tiongkok Mat Tse Tung mengancamnya pada 1959.
“Saya sadar ancaman Kennedy ini dan saya harus menelannya. Pertemuan selesai, dan saya tidak dapat kesempatan untuk memberikan jawaban apapun,”
Soebandrio pun menunda kepulangannya dan mengirim Letnan Jenderal Hidayat Martaatmadja ke Jakarta untuk memberi laporan kepada Presiden Sukarno. Perundingan dengan pihak Belanda kembali dilanjutkan di Middleburg pada 29 Juli. Dari sinilah kemudian dirumuskan penyelesaian sengketa Irian Barat yang berujung pada Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.