MENTERI Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan tidak akan pernah mengakui klaim Tiongkok atas wilayah Natuna. Pernyataan Retno terlontar sehubungan dengan adanya aksi kapal-kapal penjaga pantai Cina yang lancang memasuki kawasan Natuna. Menurutnya klaim sepihak Cina bertentangan dengan hukum internasional tentang batas teritorial laut sebagaimana telah diatur dalam konvensi UNCLOS pada 1982.
Sikap Retno ini justru berkebalikan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Kordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Prabowo mengatakan Tiongkok tetap negeri sahabat Indonesia sedangkan Luhut menghimbau agar persoalan ini tidak dibesar-besarkan. Prabowo dan Luhut terkesan lembek padahal keduannya adalah mantan jenderal yang merintis karier militer dari korps pasukan elite.
Di era Presiden Sukarno, Indonesia juga pernah memiliki menteri luar negeri yang berani bernama Soebandrio. Bila Retno Marsudi mengawali karier diplomatiknya sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Islandia dan Norwegia, maka Soebandrio merupakan Dubes RI pertama untuk Inggris. Soebandrio kemudian menjabat menteri luar negeri pada 1957 hingga 1966.
Baca juga: Memburu Soebandrio
Pada Maret 1958, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menyeret keterlibatan Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS yang saat itu dipimpin Presiden Dwight Eisenhower secara resmi menyatakan simpatinya kepada pemberontakan itu. Dukungan tersebut kemudian diikuti dengan bantuan materi berupa sokongan persenjataan, logistik, dan dana operasional. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengerahkan pasukan elite RPKAD dari Jawa Barat dan Banteng Raiders dari Jawa Tengah ke Sumatra Barat untuk menumpas PRRI.
Atas tindakan TNI tersebut, Sterling J. Cottrell datang tergesa-gesa menemui Menteri Luar Negeri Soebandrio. Sebagaimana tercatat dalam arsip Foreign Relations of The United States, 1958--1960, Indonesia, Volume XVII, Cotrell adalah seorang diplomat yang berposisi sebagai penasihat Kedutaan Besar AS di Indonesia. Cotrell bertugas di Jakarta sejak awal 1958.
Menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri Ganis Harsono, Cotrell menemui Soebandrio di kantor Departemen Luar Negeri dengan gaya angkuh. Kedua belah tangan bertolak di pinggang dan sebelah kakinya di atas meja koktail Soebandrio. Cotrell meminta agar anggota-anggota marinir Armada Ke-7 Amerika diizinkan mendarat di pantai sebelah timur Sumatra untuk melindungi jiwa dan kepentingan orang-orang Amerika, terutama yang bermukim di kompleks pertambanyak minyak Caltex, Riau.
Baca juga: Operasi Bersama Gempur Sumatera
Melihat lagak Cotrell, Soebandrio meradang. Tanpa panjang bicara, dia lantas membentak Cotrell persis di wajahnya.
“Keluar kamu! Sampaikan kepada Menteri Luar Negerimu (John Foster) Dulles, bahwa dua ratus pesawat udara Cina telah siap di Pulau Hunan untuk menyapu anggota-anggota marinirmu kalau dalam tempo empat hari Dulles tidak mengeluarkan pernyataan bahwa Amerika tidak hendak mencampuri soal-soal dalam negeri Indonesia,” jawab Soebandrio ditirukan Ganis sebagaimana terkisah dalam Cakrawala Politik Era Sukarno.
Hubungan Indonesia dengan Cina memang mulai rapat setelah Konferensi Asia-Afrika pada 1955. Dalam hajatan akbar yang diselenggarakan Indonesia itu, Cina mengutus delegasinya yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Chou En-Lai. Namun soal pesawat udara Cina yang siaga di Pulau Hunan (Hainan, provinsi Cina bagian paling selatan -red) untuk menyelamatkan Indonesia, dapat dipastikan hanyalah gertakan Soebandrio semata.
Baca juga: Gertak Sambal ala Timur Pan
Walau demikian, bualan Soebandrio ternyata dimakan oleh Cotrell. Sebelum tempo empat hari yang ditetapkan Soebandrio berakhir, John Foster Dulles dalam satu keterangan pers di Washington mengatakan bahwa AS tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Dilansir majalah Time 10 Maret 1958, sebagaimana dikutip Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953--1963, Dulles menyatakan bahwa “Washington lebih senang dengan pemerintahan (Indonesia) yang lebih konstitusional,” tetapi tanpa menyiratkan sedikit pun soal keterlibatan langsung AS. Pendapat Dulles tersebut didahului pernyataan Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh, Walter Robertson. Pada 4 Maret 1958 Robertson memberi kesaksian di hadapan Kongres mengenai bahaya komunisme di Indonesia namun tidak menyinggung soal campur tangan AS di Indonesia.
“Pada waktu itulah pemimpin-pemimpin pemerintah Amerika Serikat mulai menyadari, bahwa mereka telah salah pasang dalam pertaruhan,” ujar Ganis Harsono.