Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Bung Hatta Murka

Tak menerima pengingkaran terhadap janji untuk memerdekaan Indonesia, Bung Hatta marah besar kepada petinggi militer Jepang.

Oleh: Hendi Johari | 14 Agt 2020
Mohammad Hatta. (Arsip Nasional Belanda).

Jakarta, 16 Agustus 1945. Mohammad Hatta baru saja berpisah dengan Sukarno, Sukarni dan Achmad Soebardjo selepas perjalanan panjang dari Rengasdengklok, Karawang. Rasa penat menjangkiti seluruh tubuhnya. Usai membersihkan diri dan akan memasuki kamar tidur, suara telepon berdering membatalkan niatnya untuk beristirahat sejenak.

“Malam itu juga jam 10, kami dipanggil menghadap Soomubucho (Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintah Militer Jepang di Indonesia) Mayor Jenderal (Otoshi) Nishimura…” kenang Hatta seperti dia tuliskan dalam Memoirs.

Setelah berkoordinasi dengan Sukarno, mereka berdua kemudian pergi ke rumah Laksamana MudaTadashi Maeda, kepala penghubung Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) dengan Rikugun (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang). Bersama Maeda, mereka berdua kemudian pergi ke tempat Nishimura.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sukarni Takut Kenpeitai

Malam menjelang puncaknya, saat dengan disertai Miyoshi (penerjemah dari Kaigun) mereka bertiga bertemu dengan Nishimura. Setelah berbasa-basi sebentar, Sukarno memulai pembicaraan. Isinya berkisar kepada rencana melanjutkan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sempat tertunda karena Sukarno-Hatta “diculik” kaum pemuda ke Rengasdengklok.

“Kalau dia tidak dapat menyatakan persetujuannya (secara) terbuka, setidak-tidaknya dia hendaknya bersikap netral,” ungkap Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (disusun oleh Cindy Adams).

Di luar harapan mereka, Nishimura menyatakan bahwa sikap seperti itu tidak bisa lagi dijalankan oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia. Menurutnya, Dai Nippon sudah tidak memiliki wewenang lagi, terlebih baru saja dia mendapatkan telepon dari Tokyo untuk mempertahankan status quo hingga tentara Sekutu datang ke Indonesia.

Baca juga: Kemerdekaan, Kado Ulang Tahun Hatta

“Kami sangat menyesal dengan janji-janji kemerdekaan yang telah kami berikan…Tentara Dai Nippon tidak lagi berdaya membantu Tuan,” ujar Nishimura dalam wajah muram.

Sukarno terus coba meyakinkan Nishimura untuk “tutup mata” dengan situasi yang terjadi di Jakarta. Sesekali Hatta pun ikut bicara. Dia mengingatkan Nishimura akan janji Tenno Heika (Kaisar Hirohito) lewat Marsekal Hisaichi Terauchi di Saigon beberapa hari sebelumnya bahwa Indonesia akan merdeka dan rapat PPKI harus segera dilaksanakan.

“Apabila rapat itu berlangsung tadi pagi, akan kami bantu. Tetapi setelah tengah hari, kami harus tunduk kepada perintah Sekutu dan setiap perubahan status quo tidak dibolehkan. Jadi sekarang rapat PPKI itu terpaksa kami larang,” jawab Nishimura.

Perdebatan pun terus berlangsung alot. Sukarno coba menyodorkan solusi kompromis: pemerintah militer Jepang setidaknya jangan menghalang-halangi upaya bangsa Indonesia yang ingin merdeka. Karena jika Jepang tidak mampu lagi menepati janjinya, maka bangsa Indonesia akan berupaya memerdekakan dirinya sendiri.  

“Kami bersedia mati untuk Indonesia merdeka…” ujar Sukarno.

Baca juga: Maeda Pasang Badan Demi Kemerdekaan Indonesia

Nishimura mengerti dan tidak ragu terhadap tekad itu. Namun sekali lagi dia mengatakan bahwa tentara Jepang di Indonesia hanyalah alat. Dengan situasi seperti itu, tidak ada jalan lain bagi mereka selain menuruti semua perintah yang datangnya dari Tokyo.

“Apakah tentara Jepang akan menembaki pemuda Indonesia jika mereka bergerak melaksanakan janji Jepang atas kemerdekaan Indonesia yang Jepang sendiri tidak sanggup menepatinya?” tanya Sukarno.

“Apa boleh buat…” jawab Nishimura.

Hatta yang sebenarnya sejak awal hemat berbicara dan berupaya tenang, tetiba menghentak:

“Apakah itu janji dan perbuatan seorang Samurai?! Dapatkah seorang Samurai menjilat musuhnya yang menang untuk memperoleh nasib yang kurang jelek? Apakah Samurai hanya hebat terhadap orang yang lemah di masa jayanya, tetapi hilang semangatnya waktu kalah? Baiklah, kami akan jalan terus, apapun yang akan terjadi! Mungkin kami akan menunjukan kepada Tuan, bagaimana jiwa Samurai seharusnya menghadapi situasi yang berubah!”

Baca juga: Hatta yang Sentimentil

Tak jelas benar, apakah murka Hatta itu dipahami oleh Nishimura. Namun yang jelas, kata Hatta, dia melihat Miyoshi gugup saat menerjemahkan kata-katanya itu.

“Aku duga ucapanku itu banyak “diperhalusnya”…” ujar Hatta.

Setelah hampir dua jam mereka berdebat, tak jua ditemukan kesepakatan. Akhirnya, Sukarno dan Hatta memutuskan untuk pergi meninggalkan Nishimura. Mereka bergerak ke rumah Maeda, yang diam-diam sudah lebih dahulu pulang. Sesampai di rumah Maeda, mereka disambut dengan wajah muram sang laksamana muda.

“Kelihatan Maeda geleng-geleng kepala,” ungkap Hatta.

Dia kemudia menyilahkan Sukarno dan Hatta untuk masuk. Di sana sudah hadir secara lengkap semua anggota PPKI, para pemimpin pemuda dan beberapa pemimpin pergerakan…Semuanya ada kira-kira 40-50 orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.

TAG

proklamasi mohammad hatta bung hatta

ARTIKEL TERKAIT

Rumah Proklamasi Respons Sekutu Usai Proklamasi Belanda Melarang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Kontroversi Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan Indonesia Siapa Pemilik Rumah Proklamasi? Sukarni dan Proklamasi Setelah Minta Maaf, Akankah Belanda Akui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia? Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Pecah Kongsi Pemuda Pasca Proklamasi