Masuk Daftar
My Getplus

Ketidakadilan Mengancam Kemajemukan

Kemajemukan tak cukup hanya dirayakan. Ia selalu bagian dari suatu proyek politik dan ekonomi.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 10 Feb 2017
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

Indonesia merupakan negeri multikultural dan majemuk yang sedang menghadapi tantangan karena krisis sosial dan ekonomi. Masalah ini juga muncul di berbagai negara, terutama negara-negara yang justru merayakan multikulturalisme.

Brexit, munculnya pemerintah yang tidak lagi menghargai multikulturalisme, dan fenomena terakhir adalah Donald Trump,” kata Hilmar Farid, sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, dalam pidato sebagai pembicara kunci dalam “Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017” di Museum Nasional, Jakarta (2/9).

Oleh karena itu, menurut Hilmar, multikulturalisme dan kemajemukan tidak seharusnya dipersepsi secara lugu sebagai cita-cita tatanan sosial-budaya yang serba harmonis dan serba-baik. Tak mungkin hanya dengan merayakan kemajemukan dan berupaya membuat orang memiliki rasa toleransi, maka semua bisa teratasi. Multikulturalisme dan kemajemukan selalu merupakan bagian dari suatu proyek politik dan ekonomi.

Advertising
Advertising

Di Indonesia, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan yang dewasa ini kita kategorikan sebagai kebijakan multikultural.

Hilmar merujuk kepada kajian sejarah legal Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Van Vollenhoven Institute, 2014), untuk mengidentifikasi beberapa fase dalam perkembangan politik multikultural kolonial di Indonesia.

Fase awal dari era VOC sampai tahun 1870. Sejak VOC membuka kantor di Batavia dan Ambon, kepentingan awalnya bukanlah mengembangkan kekuasaan politik, melainkan kepentingan dagang dan penguasaan akses ke sumber daya alam. Oleh karenanya, VOC tidak berkepentingan untuk menyeragamkan atau menyatukan kemajemukan hukum adat masyarakat Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda pun meneruskan pendekatan semacam itu. Hal ini tampak dalam Regeringsreglement 1854 Pasal 75 Ayat 3 yang menyatakan bahwa untuk orang-orang pribumi akan diterapkan “hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi” (de godsdienstige wetten, instellingen en gebriuken der Inlanders). Inilah akar dari “multikulturalisme kolonial”.

Fase tengah dari tahun 1870 sampai tahun 1910. Pluralisme hukum itu mengalami perubahan arah pada tahun 1870. Regeringsreglement 1854 mencantumkan pasal tentang kemungkinan diberlakukannya toepasselijkverklaring (penerapan hukum Belanda untuk orang-orang pribumi). Kemungkinan itu ditindaklanjuti menjadi hukum khusus untuk orang-orang pribumi melalui pengesahan Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders pada 1870. Di dalamnya, antara lain, diatur tentang kewajiban para pekerja pribumi yang mengikat kontrak dengan majikan Belanda. Pada tahun yang sama diundangkan pula Agrarisch Wet yang memperkenalkan sistem hak milik (eigendom) dan hak guna usaha (erfpacht). Baik hukum yang mengatur ketenagakerjaan dan pertanahan ini bertentangan dengan kemajemukan pranata adat. Sebagai ganti kerja wajib, Belanda mengenalkan kerja upahan; sebagai ganti tanah adat yang dikelola secara komunal, Belanda mengenalkan tanah swasta. Kendati begitu, sebagian besar pranata adat yang tidak mengganggu jalannya liberalisasi dibiarkan bertahan.

Fase akhir dari tahun 1910 sampai tahun 1942. Usaha untuk mengunifikasi hukum Hindia Belanda tetaplah berlangsung setengah-setengah karena kebijakan pengakuan pada kemajemukan budaya dan pranata adat kaum pribumi masih diadopsi Belanda. Pengakuan itu justru mendapat angin dengan upaya kodifikasi hukum adat yang dibuat Van Vollenhoven dalam kitab kompilasi hukum adat terlengkap yang disusunnya pada 1910, yakni Adatwetboekje voor heel Indie. Pengakuan pada kemajemukan hukum adat (seperti dikodifikasi Van Vollenhoven) dan otoritasnya untuk menentukan putusan hukum diterima pada dekade 1920-an dan bertahan sampai dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Dengan begitu, Belanda mengkonsolidasikan Hindia Belanda ke arah “kolonialisme multikultural”.

Dari uraian tersebut, menurut Hilmar, tampak bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia tidak asing dari kebijakan multikultural. Yang terjadi justru pemanfaatan multikulturalisme untuk tujuan kolonial. “Dalam hal itu, kita dapat memotret keseluruhan proses kolonisasi sejak VOC sampai jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda sebagai proses peralihan dari multikulturalisme kolonial ke kolonialisme multikultural,” kata Hilmar. “Artinya, peralihan dari kebijakan kolonial yang membiarkan kemajemukan budaya Nusantara asal tidak mengganggu perdagangan, ke kebijakan kolonial yang secara aktif memanfaatkan kemajemukan budaya untuk mengkonsolidasi rezim kolonial.”

Perlu diingat bahwa Van Vollenhoven terinspirasi dari kajian antropologi Snouck Hurgronje, De Atjehers (1893), yang memperkenalkan untuk pertama kalinya istilah Adatrecht. Snouck Hurgronje, menulis kajian itu dalam rangka mencari solusi kultural untuk penundukan militer atas Aceh yang telah memakan biaya teramat besar, seperti Perang Diponegoro yang hampir membikin Belanda kolaps secara ekonomi. Jadi, dari situ dapat dibaca bahwa upaya Van Vollenhoven mengkodifikasi hukum adat dan mendorong pengakuan atasnya adalah tawaran solusi untuk konsolidasi kolonialisme yang lebih stabil dan murah. Dengan kata lain, tawaran untuk sebuah kolonialisme multikultural.

“Kolonialisme memang berdiri dari prinsip perbedaan. Ini yang memungkinkan ia hidup. Namun, kolonialisme tidak akan hidup jika prinsip keadilan ditegakkan. Saya kira transformasi dari masa kolonial sampai hari ini belum sepenuhnya terjadi,” kata Hilmar yang meraih gelar doktor di bidang kajian budaya di National University of Singapore pada 2014.

Dari uraian sejarah tersebut, lanjut Hilmar, tampak pula akar ekonomi politik dari multikulturalisme dan kemajemukan. Dalam situasi kekinian, akar ekonomi politik itu juga dapat kita temukan dalam gejala sektarianisme dan fanatisisme.

“Sektarianisme dan fanatisisme religius di kalangan kaum miskin perkotaan karena kesenjangan ekonomi yang begitu tajam memicu tumbuhnya harapan akan keadilan Ilahi. Itulah yang menyebabkan mengapa kaum miskin kota dengan cepat mengalami radikalisasi oleh isu agama,” kata Hilmar.

Sektarianisme primordial dan puritanisme religius di kalangan kelas menengah atas perkotaan disebabkan oleh persaingan kerja dan alienasi sosial akibat kapitalisme high tech memicu tumbuhnya kebutuhan atas identitas primordial dan cara beragama yang zakelijk. Inilah yang menyebabkan mengapa kelas sosial yang mapan justru menjadi pelaku utama sektarianisme dan puritanisme.

Sentimen rasis dan merebaknya kontroversi tentang isu “invasi pekerja Cina” yang begitu cepat diyakini orang-orang. Sumber sesunggguhnya terletak pada ketidakpastian kerja yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal global.

“Kemajemukan yang sehat hanya dapat diwujudkan apabila sumber masalah ketidakadilan ekonomi dibereskan terlebih dulu,” pungkas Hilmar.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia