SUARA takbir menggema. Para tahanan politik (tapol) muslim di Kamp Plantungan sibuk menyiapkan zakat fitrah untuk penduduk sekitar kamp. Meski dalam kondisi serba kekurangan, mereka masih sanggup untuk berzakat. Mereka mengumpulkannya dari penjualan barang-barang produksi selama di kamp.
Kamp Plantungan memang dibuat agar para tapol bisa memproduksi kebutuhan sendiri. Lahannya yang luas di lereng Dieng membuatnya mudah ditanami. Itu dilakukan karena pemerintah kekurangan dana usai transisi kekuasaan sementara jumlah tahanan terlalu banyak akibat penangkapan membabi buta.
Paginya, para tapol menjalankan salat Idulfitri di lapangan dekat pohon tua. Konon pohon ini sudah ditanam sejak Ratu Yuliana lahir, 1909. Setelah selesai salat, mereka menggulug tikar dan kembali ke blok masing-masing. Di depan blok, mereka disambut para tapol Kristen dan Katolik yang sudah berbaris. Semua penghuni saling bersalaman dan mengucapkan selamat lebaran. Hari raya dilangsungkan bersama petugas kamp dan tahanan lain. Tak ada keluarga, tak ada sanak saudara.
Sebenarnya, Kamp Plantungan memberikan kesempatan pada keluarga untuk mengunjungi sanak saudara yang ditahan. Tapi mayoritas memilih tidak menggunakan kesempatan itu dan para tapol lebih memilih tak dikunjungi keluarga mereka.
“Para tahanan lebih memilih tidak dikunjungi lantaran khawatir nasib buruk akan menimpa anak mereka yang belum terjaring pemeriksaan Pemerintah Soeharto,” kata Amurwani Dwi Lestariningsih pada Historia.
Trauma para tapol dan keluarga tentang penangkapan dan pembataian 1965 masih kuat di benak mereka. Beberapa keluarga tahanan cukup berani untuk mengunjungi kerabat mereka. Namun, ada yang main kucing-kucingan seperti yang dilakukan Dokter Sumiyarsih Siwirini.
Dokter Sumiyarsih sering dimintai warga desa sekitar kamp mengobati mereka. Biasanya, anaknya menyamar sebagai warga desa yang akan berobat. Sumiyarsih pun menahan diri agar tidak ketahuan petugas kalau satu dari tamu-tamu yang berkunjung adalah anak kandungnya. Sumiyarsih khawatir kerabatnya akan ditangkap bila ketahuan memiliki hubungan dengannya.
Kesulitan bertemu dengan sanak saudara acap melahirkan keputusasaan. Beberapa tapol mengalami depresi berat. Mereka pesimis bisa kembali hidup bebas dan berkumpul dengan keluarga. “Di Plantungan sudah disediakan kuburan. Teman saya yang mati di sana ada 12 orang. Kalau hari raya kami mengirimkan bunga. Sudah tidak ada gambaran pulang, pasti mati di Plantungan. Di sini sampai mati,” kata Sukini, tapol asalah Purwodadi, Grobogan, seperti diceritakan Amurwani dalam bukunya Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan.
Namun, lebaran di Wirogunan lebih mengenaskan. Sehari sebelum lebaran pada 1967, makanan yang dibagikan adalah oyek apek dan berkutu. Tapol perempuan di Blok F dan tapol pria di Blok E sepakat mogok makan sehingga puasa dilanjut seharian. Pihak pengurus dapur akhirnya mengalah dengan memberikan grontol alias jagung rebus yang diberi parutan kelapa pada jam 9 malam.
“Heran, mengapa petugas-petugas itu senang sekali melakukan hal semacam itu. Tahun lalu jatahnya gathot beracun,” kata Mia Bustam dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp.
Sehari menjelang Lebaran 1966, jatah makan sore dari Wirogunan bukan grontol tapi gathot, singkong hitam yang diberi parutan kelapa. Namun, yang bisa dimakan hanya parutan kelapanya lantaran gathotnya sudah apek.
“Tahanan perempuan tidak memakan gathot itu, malah banyak yang menangis, nelangsa. Mau lebaran diberi makanan kok seperti ini,” kata Sumiati pada Josepha Sukartiningsih yang menulis “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”.
Sementara, tahanan pria di Wirogunan langsung memakan gathot apek itu. Tak berapa lama, terdengar suara orang muntah. Gathot itu sudah kadaluarsa dan beracun.
Di hari lebaran, para tahanan perempuan bisa salat Idulfitri bersama tahanan pria di halaman penjara. Kesempatan itu sering mereka gunakan untuk mencari sosok yang mereka rindukan. Ada perjumpaan kecil antara para tapol perempuan dengan suami maupun anak mereka yang juga ditahan. Namun mereka tak bisa saling tegur dan berbincang; hanya ada tatapan, anggukan, dan sedikit senyum dari kejauhan sebagai ucapan selamat hari raya.
Selesai salat, para tahanan diizinkan menerima kunjungan sanak saudara. Namun kesempatan itu sangat kecil. Antrean di Wirogunan berjubel lantaran baik keluarga tapol maupun tahanan pidana berebut untuk berkunjung. Hal itu membuat banyak tapol gagal bertemu keluarga mereka.
Mia mengalami hal itu. Dia hanya bisa melihat kerabatnya dalam antrean, lalu melambaikan tangan dari dalam sel. “Ketika mereka sampai di pintu los koper, waktu besuk sudah habis. Aku hanya bisa menerima kirimannya saja,” kata Mia. Lebaran tak melulu membawa kebahagiaan. Ada kalanya lebaran memupuk kepedihan ketika tak mungkin berkumpul dengan sanak saudara.
Baca juga:
Merdeka Kartu Lebaran
Sindiran Lagu Hari Lebaran
Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran
Ledakan Mercon Blanggur saat Ramadan dan Lebaran