Sindiran Lagu Hari Lebaran
Lagu ini menyikat perilaku orang-orang yang berlebihan merayakan Lebaran.
Idulfitri tiba. Ada banyak lagu yang mengetengahkan suasana Idulfitri tercipta. Misalnya saja lagu “Lebaran” (1959) yang dilantunkan Oslan Husein, “Lebaran Sebentar Lagi” (1984) karya Bimbo, dan “Selamat Lebaran” (2006) oleh grup musik Ungu. Namun, lagu “Hari Lebaran” karya Ismail Marzuki barangkali yang paling populer terdengar dan banyak didaur ulang para musisi.
Bahkan, pada 1977 seniman Malaysia, P. Ramlee, menyanyikan lagu ini dengan penyesuaian lirik berbahasa Melayu. Terakhir, lagu yang diciptakan Ismail pada 1950 itu dibawakan grup musik Sentimental Moods. Grup musik ini kembali membawakan versi pertama lagu “Hari Lebaran” untuk menyambut Idulfitri 2018.
Peneliti dan pengamat musik Michael Haryo Bagus Raditya mengatakan, lagu “Hari Lebaran” memadukan unsur jazz dan Melayu.
“Yang menarik bagiku, lagu itu bisa masuk tiga nuansa sekaligus, yakni religi, kritik, dan hiburan. Tiga tarikan ini yang membuat lagu tersebut ‘terjaga’,” kata Michael kepada Historia.
Menurut Michael, lagu ciptaan Ismail tersebut awalnya dilantunkan grup vokal Lima Seirama di Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1952. Namun, Ninok Leksono dalam bukunya Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman menulis, yang mempopulerkan pertama kali adalah Didi dengan iringan Orkes Mus Mualim.
Sentilan
Selain bertema perjuangan, romansa, dan kampung halaman, Ismail juga kerap menciptakan lagu bertema kritik sosial. “Hari Lebaran” salah satu contohnya. Bila melihat versi aslinya, lagu itu menyematkan kritik di bait ketiga, bagian reff, dan bait terakhir.
Menurut Ninok Leksono dalam Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman, apa yang ditulis Ismail dalam lagu bergaya sketsa yang dalam perspektif sejarah bisa memberi sedikit gambaran tentang apa yang pernah terjadi pada masa itu.
“Satu poin pada lirik lagu ini relevan dengan masa kini adalah ‘korupsi jangan kerjain.’ Ismail tampak punya obsesi khusus pada pemberantasan korupsi, yang di masa itu pun rupanya sudah ada dan ia pandang sebagai praktik jahat yang harus dibasmi,” tulis Ninok dalam Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman.
Sindiran perilaku korupsi itu Ismail sematkan di baris terakhir lagunya:
“Lan taun hidup prihatin.
Kondangan boleh kurangin.
Korupsi jangan kerjain.”
Rupanya semangat antikorupsi Ismail bukan hanya terdapat dalam “Hari Lebaran”. Dia pun menuangkannya dalam lagu “Yii”:
“Hilangkan hatimu yang dengki.
Nyahkanlah hawa nafsu korupsi.
Mari Bung marilah kembali.
Pada jalan yang suci.”
Serupa dengan “Hari Lebaran”, Ninok menyebut, lagu “Yii” juga diciptakan di awal 1950-an. Masalah korupsi pada awal 1950-an, disinggung Firman Basuki dalam bukunya Jakarta 1950-an. Dia menulis, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat bebas diberitakan suratkabar hingga permulaan 1958.
“Pada 1950-an, sogok-menyogok dan suap-menyuap sudah ada di Jakarta. Juga. terkenal para pokrol (pengacara) yang berkeliaran di kantor pengadilan, menjual jasanya untuk membantu mengurus perkara,” tulis Firman dalam Jakarta 1950-an.
Selain perihal korupsi, Ismail pun menyindir sejumlah perilaku masyarakat yang berlebihan menyambut hari kemenangan. Sang komposer menyindir perilaku hura-hura orang desa dan kota:
“Dari segala penjuru mengalir ke kota.
Rakyat desa berpakaian gres serba indah.
Setahun sekali naik trem listrik pere.
Hilir mudik jalan kaki pincang hingga sore.
Akibatnya tenteng selop sepatu teropeh.
Kakinya pada lecet babak belur berabe.”
“Cara orang kota berlebaran lain lagi.
Kesempatan ini dipakai buat berjudi.
Sehari semalam maen ceki mabuk brendy.
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri.
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate.
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri.”
Kemungkinan, sindiran di dalam lagu “Hari Lebaran”, menyoal orang desa dan kota, ada kaitannya dengan dua gap sosial yang lebar di Jakarta pada 1950-an. Firman Basuki menyebutnya dengan istilah orang gedongan dan orang kampung.
Menurut Firman, yang disebut orang gedongan adalah mereka yang berdomisili di rumah-rumah peninggalan zaman Belanda, seperti di Menteng, Gondangdia, Gambir, Petojo, Salemba, Matraman, Jatinegara, dan Kebayoran Baru.
Sedangkan yang disebut orang kampung adalah mereka yang tinggal di perkampungan, yaitu permukiman yang pembangunannya tidak direncanakan. Rumah tinggal mereka sangat sederhana, terbuat dari gedek, bambu, atau papan. Beberapa kampung sekitar Menteng, yakni kampung Kali Pasir, kampung sekitar Gang Ampiun, kampung Salemba, kampung Utan Kayu, kampung Menteng Atas, kampung Pedurenan, kampung Setiabudi, dan lain-lain.
Pada awal 1950-an, Ismail menangkap kebiasaan mereka saat Idulfitri. Ismail dengan cekatan menangkap suasana di zamannya, serta melihat perilaku dan situasi kota kelahirannya dengan lihai. Dia mampu membidik semua itu, dan dituangkan ke dalam lagu “Hari Lebaran.”
Meski begitu, lirik bernada sindiran tadi tak terdengar setelah didaur ulang sejumlah musisi setelah meninggalnya Ismail pada 1958. Michael tak bisa memastikan mengapa lirik lagu yang sarat sindiran sosial itu hilang ketika diaransemen ulang oleh banyak musisi, terutama semasa Orde Baru. Dia mengatakan, kemungkinan untuk kebutuhan lagu Idulfitri, jadi lirik tadi kurang pas jika disematkan.
Lebih lanjut, dia mengemukakan, ada sejumlah alasan mengapa lagu “Hari Lebaran” tak mati dimakan zaman. Pertama, karena lagu ini adalah lagu tentang Idulfitri yang pertama ada.
“Selain ada narasi yang dibangun tentang berpuasa, secara musikalitas bagus. Lagu itu utuh sebagai lagu pop yang bisa diaransemen dengan beragam cara,” kata Michael.
Sekian lama lagu “Hari Lebaran” diciptakan Ismail, nyatanya masih kontekstual hingga kini. Kita masih sering melihat perilaku berlebihan masyarakat, dalam hal ini konsumerisme, menyambut Idulfitri. Begitu pula perilaku korupsi yang makin menggila.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar