Masuk Daftar
My Getplus

Kemenangan yang Ternoda di Papua

Sejak awal masa integrasi, pemerintah Indonesia memberi kado pahit terhadap rakyat Papua.

Oleh: Martin Sitompul | 18 Agt 2016
Delegasi Penandatangan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962. Kiri-kanan: Soebandrio, U Thant, van Rooijen, Ellsworth Bunker, dan Schurmann. Foto: Departemen Penerangan RI.

MENTERI Luar Negeri Indonesia Soebandrio tersenyum sumringah. Para mediator, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) U Thant, dan diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker pun menunjukkan raut wajah kelegaan. Sementara wakil Belanda, Duta Besar Herman van Rooijen dan CWA Schurmann, terlihat tanpa ekspresi.

Hari itu, 15 Agustus 1962, di markas besar PBB di New York tercapai mufakat: Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia. Wilayah yang disengketakan sejak 1949 akhirnya dimenangkan Indonesia lewat Perjanjian New York (New York Agreement).

Dalam Perjanjian New York, Indonesia akan menerima kedaulatan atas Papua pada 1 Mei 1963 setelah Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA), pemerintahan peralihan bentukan PBB, menyelesaikan tugasnya. Selama masa transisi, sebanyak mungkin orang-orang Papua ditempatkan pada kedudukan-kedudukan administratif dan teknis. Sedangkan pejabat Belanda atau Indonesia, bila diperlukan, bisa diperbantukan atas seizin Sekjen PBB.

Advertising
Advertising

Di tengah euforia yang terjadi di Indonesia, terselip memori kelam bagi rakyat Papua. Sejak November 1962, orang-orang Indonesia mulai berdatangan ke Papua. Pasalnya, infiltrasi tentara Indonesia yang dipersiapkan dalam operasi Trikora sebagian besar telah menjangkau daratan Papua. Menyusul kemudian pegawai-pegawai eselon bawah, guru, maupun sukarelawan dari Jawa. Pendatang Indonesia ini kemudian disebut sebagai Kontingen Indonesia (Kontindo).

“Waktu masih ada UNTEA sebenarnya Indonesia sudah ada. Mereka sudah mondar-mandir, terutama mereka yang bertindak atas nama korps diplomatik. Mungkin di luar pengetahuan Belanda, Amerika Serikat, dan PBB,” ungkap Dolf Faidiban, kepala distrik di Bintuni, dalam Bakti Pamong Praja Papua: Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia suntingan Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey.

Menurut Pieter J. Drooglever, sejarawan Belanda, masuknya pegawai-pegawai dan tentara Indonesia tidak sesuai rencana. Mereka beroperasi dan menjalankan tugas sebelum waktunya. Dalam perudingan di Middleburg, AS,  Juli sebelumnya, sudah disepakati kedatangan orang Indonesia secara besar-besaran dimulai sesudah berakhirnya fase pertama periode UNTEA.

“Hal ini (kedatangan Kontindo) hanya akan mungkin apabila Sekjen PBB di New York memberikan persetujuannya secara eksplisit. Ketika meneliti arsip-arsip PBB, tidak ditemukan indikasi bahwa hal itu sudah terjadi,” tulis Drooglever dalam Pilihan Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Suyatno Hadinoto dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat menyebut kedatangan Kontindo yang lebih cepat bertujuan menghadang terbentuknya gerakan-gerakan separatis anti-Indonesia: Negara Papua yang telah dilengkapi polisi Papua dan batalion Papua.

“Kontingen Indonesia yang terdiri dari Angkatan Bersenjata Indonesia yang telah hadir sebenarnya bertugas untuk menggagalkan semua itu,” tulis Suyatno.

Masyarakat Papua terkena dampaknya. Para pegawai pamongpraja Papua dikirim dan disekolahkan ke Jawa atau dikursuskan ke Jayapura. Mereka ditatar tentang ketatanegaraan Indonesia. Pendatang-pendatang dari Indonesia mulai mendominasi, sementara rakyat lokal tersubordinasi. Sedangkan orang-orang Belanda yang masih tersisa dipaksa angkat kaki. 

Kontindo, menurut Drooglever, mulai mendominasi sejak kedatangan Komisaris Besar Polisi Drs. Legowo, orang kepercayaan Sukarno yang menjabat Sekretaris Kordinator Urusan Irian Barat. Pengiriman kelompok terdidik Papua ke Jawa dan pengusiran orang-orang Belanda diduga prakarsa Legowo.

Di berbagai wilayah Papua, Kontindo menjadi kalap. Disaksikan rakyat setempat, mereka melakukan perbuatan memalukan. 

“Begitu tentara Indonesia dan pegawai-pegawai Indonesia datang, saya melihat yang terjadi hanya penjarahan saja. Mereka menjarah semua rumah. Mereka pulang membawa kopor-kopor besar berisi barang-barang yang ditinggalkan oleh Belanda. Tentara dan pegawai-pegawai Indonesia datang untuk menjarah saja. Kami menjadi heran juga,” ujar Dorus Rumbiak, saat itu pejabat kontrolir di Wamena.

“Kami marah-marah karena semua yang dianggap penting dibawa pergi oleh orang-orang Indonesia. Ya, apakah itu namanya kemenangan dalam peperangan?” keluh Dorius termuat dalam Bakti Pamong Praja Papua.

Hal yang sama disaksikan Amapon Jos Marey, orang Papua yang diperbantukan sebagai kepala imigrasi UNTEA di Jayapura. “Setelah kedatangan kontingen-kontingen pegawai dan militer  dari Indonesia, ada kejahatan terhadap manusia, pencurian, dan perampokan di kota setiap hari.”

Di Papua, banyak orang Indonesia menjabat posisi penting. Sedangkan pegawai birokrat Papua di masa Belanda terpaksa menanggalkan jabatan dengan alasan harus mengikuti pendidikan. “Muncullah korupsi di mana-mana. Orang Papua tidak bisa menegur karena akan dituduh separatis,” ujar Dolf Faidiban.

Keadaan demikian tentu bertentangan dengan Pasal 22 Perjanjian New York yang menyangkut hak-hak penduduk: “UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak penduduk daerah tersebut, termasuk hak-hak bebas bicara, bebas bergerak, dan hak berkumpul dan bersidang.” Sampai sekarang, komitmen tersebut masih menjadi utang pemerintah Indonesia yang belum dilunasi.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi