Tokoh pergerakan Tan Malaka menggunakan “jembatan keledai” untuk menulis buku magnum opus-nya: Madilog. Madilog berasal dari jembatan keledai: yakni MAterialisme, DIalektika, dan LOGika.
Tan sebenarnya ingin seperti Leon Trotsky dan Mohammad Hatta. Keduanya bisa mengangkut berpeti-peti buku ke tempat pembuangan. “Saya menyesal karena tak bisa berbuat begitu dan selalu gagal kalau mencoba berbuat begitu,” tulisnya dalam Madilog.
Ketika kali pertama dibuang ke Belanda pada 22 Maret 1922, Tan hanya disertai buku-buku agama: al-Qur’an, kitab suci Kristen, Budhisme, Confusianisme, Darwinisme. Juga buku perkara ekonomi dan politik yang berdasarkan liberalisme, sosialisme, atau komunisme; riwayat dunia; serta buku sekolah dari ilmu berhitung sampai ilmu mendidik. Buku-buku itu terpaksa dia tinggalkan karena ketika pergi ke Moskow dia harus melalui Polandia yang memusuhi komunisme.
Baca juga: Aksi Massa karya Tan Malaka Disita Polisi
Karena Tan harus selalu meninggalkan atau membuang buku-bukunya, dia pun mengandalkan daya ingatnya. Dia memiliki daya ingat yang kuat, yang sudah dia latih sejak sekolah Raja di Bukit Tinggi. Dia menghafalkan dengan cara mengingat kependekan “intinya’’. Cara itu disebut “jembatan keledai’’ (ezelbruggece).
Tan menyontohkan, jika dua negara berperang, mana yang akan menang? Dia menggunakan “jembatan keledai” AFIAGUMMI. Huruf A berarti Armament (kekuatan udara, darat, dan laut). Huruf A bisa membawa “jembatan keledai’’ lain mengenai forces (tentara) seperti ALS, yakni Air (udara), Land (darat) dan Sea (laut). Sesudah membandingkan Armament kedua negara, dia menguji yang kedua, yakni Finance (keuangan). Sayangnya, dia tidak menjelaskan sisanya, IAGUMMI.
Baca juga: Tan Malaka dan Logika Mistika Kaum Sebangsa
Tan bilang telah membuat “jembatan keledai” dalam hal ekonomi, politik, muslihat perang, dan sains. “Kalau tidak beratus, niscaya ada berpuluh jembatan keledai di dalam kepala saya,” tulis Tan.
Jembatan keledai sangat membantu Tan. Karena itu, dia menganggap “jembatan keledai’’ penting buat pelajar. Lebih penting lagi bagi seseorang pelarian. Bukankah seorang pelarian politik mesti ringan bebannya, seringan-ringannya? Dia tak boleh diberatkan oleh benda yang lahir, seperti buku ataupun pakaian.